PRESIDEN Soeharto dengan tersenyum memahami kesulitan petani.
Ketika ngobrol dengan para wakil subak seluruh Bali di Desa
Rejasa, (Kahupaten Tabanan) akhir bulan kemarin, Presiden
banyak mendengar keluhan dan berbagai permintaan. Ada yang minta
perbaikan irigasi. Ada pula yang mengungkapkan traktor Jepang
lebih cepat rusak ketimbang traktor Amerika.
Ada suara menarik: I Gusti Ngurah Ceger, 58 tahun, memberanikan
diri menyampaikan saran agar Presiden tidak memberi traktor
melainkan membantu sapi. Pekaseh (pimpinan subak) Desa Tinjak
Menjangan di Mengwi, yang mewakili 159 subak se Kabupaten Badung
itu, nampaknya sangat berpengalaman. Dengan lancar ia
menguraikan manfaat sapi mengolah sawah ketimbang traktor.
"Traktor itu mahal -- harganya sekitar Rp 2 juta lebih. Kalau
dibelikan sapi dapat 16 ekor. Lagi pula traktor cepat rusak,
sedang sapi kalau beranak bisa menambah keuntungan. Ceceran oli
traktor di sawah juga merusak tanah, sedang kotoran sapi bisa
menjadi pupuk" kata Ngurah Ceger.
Presiden, yang sebelumnya meresmikan irigasi Caguh di Desa Payuh
Bangkah, Tabanan, mengangguk-angguk, ia setuju. "Kalau tenaga
manusia memang mencukupi, petani tak usah menggunakan traktor,"
kata Presiden. Apalagi kalau sawahnya kecil. Misalnya para
petani di sekitar irigasi Caguh yang rata-rata hanya memiliki
sawah 20 are atau 0,2 ha.
Tak Usah Traktor
Traktor masuk Bali sejak 1970. Kini diperkirakan jumlahnya tak
kurang dari 200 buah. Seperti halnya daerah lain, traktor
tersebut merupakan bantuan Presiden lewat Setdalopbang
(Sekretariat Pengendalian Operasional Pembangunan), pimpinan
Solihin G.P. Menurut Solihin (dalam setiap kesempatan) traktor
diturunkan karena semakin langkanya tenaga kerja manusia dan
sapi atau kerbau.
Namun petani tua seperti Ngurah Ceger mampu membuktikan bahwa
hanya dengan tenaga sapi, 123 ha sawah di desanya mampu
memproduksi rata-rata 6 ton setiap ha. Dengan bibit unggul R-36
hasilnya dapat dipanen 3 kali setahun. "Petani bukannya tak mau
maju. Tapi dengan traktor belum tentu hasilnya lebih baik," kata
Ceger.
Di desanya pemilik sawah dan buruh tani tentu tidak banyak yang
mampu membeli traktor. Dan yang mampu pun, "sebelum kreditnya
lunas, mesinnya sudah rusak," tambahnya. Celakanya lagi, sawah
yang pernah ditraktor, tanahnya menjadi keras.
Ceger lantas menghitung-hitung harga traktor yang Rp 2 juta
lebih itu senilai dengan 16 ekor sapi. Sepasang sapi biasanya
mampu menggarap 20 are. Jadi 16 sapi berarti bermanfaat untuk
320 are. "Itu pun hanya bekerja setengah hari dari pagi sampai
siang." Belum lagi kalau diperhitungkan bahwa sapi jantan
niscaya lebih kuat bekerja ketimbang yang betina.
Sedangkan traktor hanya mampu menggarap 40-60 are selama sehari
penuh. Untuk menyelesaikan areal 320 are, dengan begitu, "sapi
peminum solar" itu membutuhkn waktu 6 hari. Itu juga berarti
penambahan ongkos kerja. makan 3 kali sehari, plus makanan kecil
kopi, rokok.
Untuk memelihara traktor nampaknya belum banyak yang cukup
trampil. Tapi rata-rata petani Bali memang enggan memeliharanya.
Banyak yang mengeluh. Seperti Wayan Nuaja petani dari Desa Kapal
di Kabupaten Badung. Setiap hari ada yang menyewa traktorna.
"Memang tidak dipungut pajak, tapi hasilnya tipis," katanya.
"Sekali saja rusak, ratusan ribu rupiah dikuras untuk
memperbaikinya. "
Petani dari desa lain seperti di Sanur Penatih, Kuta, Kesiman,
Caguh, memang mengakui keampuhan traktor. Tapi kalau mereka
lebih suka memilih sapi atau kerbau. Alasannya umumnya sama
dengan Ngurah Ceger.
Beberapa areal sawah di subak Timpag, Ngis dan Kesiut yang
kebagian aliran irigasi Caguh sebagian memang bisa .iikerjakan
dengan traktor -- karena tanahnya berbatu kerikil. Tapi ketika
dihadapkan pada pilihan antara sapi dan traktor, petani sana
memilih sapi. "Pernah hendak dikasih traktor. Tapi setelah saya
pikir-pikir akhirnya tidak jadi karena tidak ada yang bisa
memelihara," ujar Made Sandri, 58 tahun, pekaseh subak Kesiut.
Sawah-sawah di kawasan lain,termasuk sekitar irigasi Caguh,
tanahnya terjal, hingga sulit membawa Iraktor ke tempat seperti
itu.
Pendapat petani Bali boleh merupakan pembenaran pendapat para
ahli penggunaan traktor di daerah-daerah padat akan mendesak
tenaga kerja. Sebuah penelitian di Jawa Barat (Prisma, Juni
1980) menunjukkan semakin merosotnya kesempatan berburuh tani
akibat adanya traktor. Di Indramayu menurun 51% di musim hujan
dan 29% di musim kemarau. Di Cirebon menurun 34% (penghujan) dan
28% (kemarau).
Bahkan kalau dihitung, keuntungan penggunaan traktor sama sekali
tidak dinikmati oleh petani. Keuntungan dinikmati pemilik
traktor, pemilik tanah luas, penjual traktor, pedagang bahan
bakar dan .... buruh pabrik penghasil traktor di luar negeri.
Sampailah pada kesimpulan Dr. Ir. Rudolf S. Sinaga, ahli
pertanian dan dosen IPB Bogor, "masalah pertanian kita idak
harus dipecahkan dengan traktor."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini