Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Sapi Beranak, Traktor Tidak

Masalah pertanian tidak bisa dipecahkan dengan traktor penggunaan traktor di daerah-daerah padat akan mendesak tenaga kerja. para wakil subak se-Bali dalam kesempatan bertemu agar presiden tidak memberi traktor.

11 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN Soeharto dengan tersenyum memahami kesulitan petani. Ketika ngobrol dengan para wakil subak seluruh Bali di Desa Rejasa, (Kahupaten Tabanan) akhir bulan kemarin, Presiden banyak mendengar keluhan dan berbagai permintaan. Ada yang minta perbaikan irigasi. Ada pula yang mengungkapkan traktor Jepang lebih cepat rusak ketimbang traktor Amerika. Ada suara menarik: I Gusti Ngurah Ceger, 58 tahun, memberanikan diri menyampaikan saran agar Presiden tidak memberi traktor melainkan membantu sapi. Pekaseh (pimpinan subak) Desa Tinjak Menjangan di Mengwi, yang mewakili 159 subak se Kabupaten Badung itu, nampaknya sangat berpengalaman. Dengan lancar ia menguraikan manfaat sapi mengolah sawah ketimbang traktor. "Traktor itu mahal -- harganya sekitar Rp 2 juta lebih. Kalau dibelikan sapi dapat 16 ekor. Lagi pula traktor cepat rusak, sedang sapi kalau beranak bisa menambah keuntungan. Ceceran oli traktor di sawah juga merusak tanah, sedang kotoran sapi bisa menjadi pupuk" kata Ngurah Ceger. Presiden, yang sebelumnya meresmikan irigasi Caguh di Desa Payuh Bangkah, Tabanan, mengangguk-angguk, ia setuju. "Kalau tenaga manusia memang mencukupi, petani tak usah menggunakan traktor," kata Presiden. Apalagi kalau sawahnya kecil. Misalnya para petani di sekitar irigasi Caguh yang rata-rata hanya memiliki sawah 20 are atau 0,2 ha. Tak Usah Traktor Traktor masuk Bali sejak 1970. Kini diperkirakan jumlahnya tak kurang dari 200 buah. Seperti halnya daerah lain, traktor tersebut merupakan bantuan Presiden lewat Setdalopbang (Sekretariat Pengendalian Operasional Pembangunan), pimpinan Solihin G.P. Menurut Solihin (dalam setiap kesempatan) traktor diturunkan karena semakin langkanya tenaga kerja manusia dan sapi atau kerbau. Namun petani tua seperti Ngurah Ceger mampu membuktikan bahwa hanya dengan tenaga sapi, 123 ha sawah di desanya mampu memproduksi rata-rata 6 ton setiap ha. Dengan bibit unggul R-36 hasilnya dapat dipanen 3 kali setahun. "Petani bukannya tak mau maju. Tapi dengan traktor belum tentu hasilnya lebih baik," kata Ceger. Di desanya pemilik sawah dan buruh tani tentu tidak banyak yang mampu membeli traktor. Dan yang mampu pun, "sebelum kreditnya lunas, mesinnya sudah rusak," tambahnya. Celakanya lagi, sawah yang pernah ditraktor, tanahnya menjadi keras. Ceger lantas menghitung-hitung harga traktor yang Rp 2 juta lebih itu senilai dengan 16 ekor sapi. Sepasang sapi biasanya mampu menggarap 20 are. Jadi 16 sapi berarti bermanfaat untuk 320 are. "Itu pun hanya bekerja setengah hari dari pagi sampai siang." Belum lagi kalau diperhitungkan bahwa sapi jantan niscaya lebih kuat bekerja ketimbang yang betina. Sedangkan traktor hanya mampu menggarap 40-60 are selama sehari penuh. Untuk menyelesaikan areal 320 are, dengan begitu, "sapi peminum solar" itu membutuhkn waktu 6 hari. Itu juga berarti penambahan ongkos kerja. makan 3 kali sehari, plus makanan kecil kopi, rokok. Untuk memelihara traktor nampaknya belum banyak yang cukup trampil. Tapi rata-rata petani Bali memang enggan memeliharanya. Banyak yang mengeluh. Seperti Wayan Nuaja petani dari Desa Kapal di Kabupaten Badung. Setiap hari ada yang menyewa traktorna. "Memang tidak dipungut pajak, tapi hasilnya tipis," katanya. "Sekali saja rusak, ratusan ribu rupiah dikuras untuk memperbaikinya. " Petani dari desa lain seperti di Sanur Penatih, Kuta, Kesiman, Caguh, memang mengakui keampuhan traktor. Tapi kalau mereka lebih suka memilih sapi atau kerbau. Alasannya umumnya sama dengan Ngurah Ceger. Beberapa areal sawah di subak Timpag, Ngis dan Kesiut yang kebagian aliran irigasi Caguh sebagian memang bisa .iikerjakan dengan traktor -- karena tanahnya berbatu kerikil. Tapi ketika dihadapkan pada pilihan antara sapi dan traktor, petani sana memilih sapi. "Pernah hendak dikasih traktor. Tapi setelah saya pikir-pikir akhirnya tidak jadi karena tidak ada yang bisa memelihara," ujar Made Sandri, 58 tahun, pekaseh subak Kesiut. Sawah-sawah di kawasan lain,termasuk sekitar irigasi Caguh, tanahnya terjal, hingga sulit membawa Iraktor ke tempat seperti itu. Pendapat petani Bali boleh merupakan pembenaran pendapat para ahli penggunaan traktor di daerah-daerah padat akan mendesak tenaga kerja. Sebuah penelitian di Jawa Barat (Prisma, Juni 1980) menunjukkan semakin merosotnya kesempatan berburuh tani akibat adanya traktor. Di Indramayu menurun 51% di musim hujan dan 29% di musim kemarau. Di Cirebon menurun 34% (penghujan) dan 28% (kemarau). Bahkan kalau dihitung, keuntungan penggunaan traktor sama sekali tidak dinikmati oleh petani. Keuntungan dinikmati pemilik traktor, pemilik tanah luas, penjual traktor, pedagang bahan bakar dan .... buruh pabrik penghasil traktor di luar negeri. Sampailah pada kesimpulan Dr. Ir. Rudolf S. Sinaga, ahli pertanian dan dosen IPB Bogor, "masalah pertanian kita idak harus dipecahkan dengan traktor."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus