Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sebuah gagasan lama

Gagasan penjualan saham konglomerat kepada koperasi sudah diungkapkan Soeharto pada tahun 1975 untuk mewujudkan pasal 33 uud 1945.Kini, 31 pengusaha sebagian besar nonpribumi harus ikut gagasan tersebut.

14 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IDE Pak Harto agar konglomerat menjual sahamnya ke koperasi, ternyata, bukan gagasan baru. Mensesneg Moerdiono mengungkapkan, "Sekitar tahun 1975, dalam sebuah acara di Istana Merdeka, Presiden Soeharto sudah pernah berbicara tentang idenya yang sekarang ini." Pak Harto, katanya, punya komitmen untuk menjalankan UUD 1945. Ini berarti, di antaranya, ia harus menegakkan sistem ekonomi sesuai dengan pasal 33, yaitu koperasi menjadi sokoguru ekonomi Indonesia. Tentu ada alasannya mengapa konglomerat yang harus mengalihkan sahamnya. "Bukankah perusahaan yang besar-besar sekarang ini dulu menjadi besar karena ada kebijaksanaan negara. Perusahaan jadi besar karena dimungkinkan oleh pemberian kredit yang disubsidi oleh negara. Dan itu dilakukan dengan sadar," kata Moerdiono. Apalagi diakui oleh Pak Harto bahwa ada kesenjangan sosial. "Bila hal ini tidak diatasi, bisa menghambat pembangunan kita sendiri," kata Moerdiono lebih lanjut. Upaya Pak Harto untuk memajukan koperasi juga tercermin tatkala ia mengangkat Menteri Muda Koperasi dalam Kabinet Pembangunan III (1979-1983). Dan di Kabinet Pembangunan IV (1983-1988), status Menteri Muda Koperasi ditingkatkan menjadi menteri penuh, yang dijabat oleh Bustanil Arifin. Dalam otobiografinya, Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, Pak Harto juga tegas-tegas menyatakan komitmennya terhadap koperasi, seperti pembahasannya dalam bab ke-59 yang berjudul Pertumbuhan Ekonomi Kita Memuaskan. Sekalipun Presiden lega atas perkembangan ekonomi nasional, soal koperasi masih mengganjal. "Adalah panggilan bagi kita semua untuk menggalakkan koperasi. Dalam jangka panjang, koperasi ini harus menjadi sokoguru ekonomi nasional kita." Lalu, dalam bab ke-60, Pak Harto mengingatkan soal kaya dan miskin. "Masih ada orang yang melarat, sementara di pihak lain sudah ada yang jadi kaya. Tetapi ini memang proses. ... Misalnya terus langsung melakukan pemerataan, mana ada orang yang bermodal yang mau bekerja mati-matian tanpa melihat bakal untung banyak. Orang yang bermodal ingin menikmati keuntungan. Kalau hal itu juga yang kita laksanakan, langsung pemerataan, modal akan lari ke luar negeri." Setelah proses penikmatan keuntungan itu berlangsung cukup lama, rupanya ide pemerataan itu pun perlu dipahami. Kata Pak Harto, "Kita anjurkan dan kita desak kaum bermodal untuk herpikir pula tentang orang lain. Kita akan berkata kepada mereka, 'Kamu boleh dan ikut serta menanam modal, boleh menikmati hasilnya, tetapi yang didirikan itu sudah harus pula dinikmati oleh rakyat Indonesia.' Umpamanya saja mengenai pabrik tekstil yang didirikan oleh satu orang atau beberapa orang. Dari usaha itu mereka mendapat keuntungan. Mereka kelihatan kaya. Dengan ini seolah-olah Indonesia dewasa ini membiarkan orang menjadi kaya sendiri". Segaris dengan ide pemerataan, para pemilik modal tadi tak bisa dibiarkan menjadi semakin kaya. "Kita tidak akan lagi membiarkan.... Saham-sahamnya itu nanti harus dijual kepada umum. Jadi, modal-modal yang sekarang dimiliki hanya oleh satu atau beberapa orang saja nanti akan dimiliki oleh masyarakat. Tetapi belum sekarang. Sekarang ini (1986) masih belum memungkinkan." Dalam bab ke-64, lagi-lagi Pak Harto menunjukkan keprihatinannya soal koperasi yang masih tergencet. "Kita tempa pengertian kerja sama antara swasta, pemerintah, dan koperasi. Ketiga unsur ini harus saling menunjang dan bukan saling memusuhi atau saling mematikan. Bahkan swasta dan pemerintah yang mempunyai potensi yang lebih besar itu harus melindungi koperasi dan bukan sebaliknya." Dalam sidang paripurna terakhir Kabinet Pembangunan IV, 30 Desember 1987, Presiden juga melontarkan gagasan untuk mewujudkan amanat pasal 33 UUD 1945 itu. "Kita masih saja belum benar membentuk tiga pelaku ekonomi nasional kita itu, terutama koperasi itu. Jalannya koperasi masih turun naik." Munculnya deregulasi ekonomi di awal tahun 1980-an membuat perusahaan swasta semakin berkibar-kibar. Sedangkan koperasi praktis tak bisa memanfaatkan iklim deregulasi. Ironisnya, perusahaan swasta yang sedang naik daun itu ternyata dikuasai oleh kelompok nonpri Pak Harto tak menyembunyikan kenyataan ini seperti yang ditulisnya dalam otobiografinya, bab ke-66, "Saya pun melihat, modal orang-orang Tionghoa itu berkembang di sini dengan cepat. Memang mereka mempunyai kemampuan pula. Kita manfaatkan hal ini untuk kepentingan pembangunan ekonomi nasional kita. Jangan salah terka! Pemerintah kita mempunyai kekuasaan untuk memanfaatkan dan mengatur. Mengapa mesti takut?" Pemanfaatan dan pengaturan itu pun mulai bergulir tatkala Pak Harto mengumpulkan 31 pengusaha yang sebagian besar adalah keturunan nonpribumi di Tapos, awal Maret 1990 lalu. Di situ Presiden meminta para konglomerat menjual 25% sahamnya kepada koperasi. "Saya mengajak Saudara, supaya kemungkinan gejolak sosial itu kita cegah sedini mungkin," kata Pak Harto. Soal gejolak yang disebabkan karena adanya kecemburuan sosial inilah yang juga menjadi latar belakang pidato Pak Harto di depan DPR, 4 Januari lalu. Di Tapos, Presiden cuma mematok angka 25% saham yang harus dijual kepada koperasi. Namun, sebenarnya Pak Harto menginginkan lebih dari itu. Dalam otobiografinya, pada bab ke-96, ia menulis, "Pemerintah bisa menentukan, supaya setiap perusahaan swasta menjual sahamnya sampai 50% kepada koperasi-koperasi unit desa." Agaknya, Pak Harto tak menutup mata akan masih banyaknya kelemahan pada koperasi. Tapi diingatkannya, "Kita harus kukuh dalam memperjuangkan hidupnya dan bangunnya koperasi kita. Ingat, ini adalah amanat UUD '45. Tidak bisa lain, kita harus terus memperjuangkannya." Tampaknya, kalau saja para bos konglomerat itu mau menyimak ide Pak Harto sejak dulu, tentu mereka tak perlu kalang kabut seperti sekarang ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus