Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerobak hijau diparkir di Supermarket Sakinah, Keputih, Surabaya. Bentuknya mirip trapesium terbalik, dengan simbol jamur besar di atasnya. Di bagian bawah gerobak terdapat tulisan "Ada doa petani jamur di setiap gigitannya". Gerobak itu menawarkan Sego Njamoer atau nasi jamur. Tentu saja bukan nasi berjamur lantaran basi yang ditawarkan, melainkan nasi bercampur jamur tiram.
Sego Njamoer berukuran sekepalan tangan berbentuk segitiga. Lapisan pertama diberi jamur tiram yang sudah dibumbui, lalu ditumpuk dengan lapisan nasi kedua. Pembeli bisa memilih beras wangi atau beras merah. Nasi merah dijual lebih mahal Rp 1.000 daripada nasi wangi, yang hanya Rp 4.000. Masing-masing tersedia dua rasa: original atau spicy bagi mereka yang suka pedas. Variasi menu lainnya adalah Pentol Njamoer dan jamur crispy.
Ukuran nasi jamur yang hanya sekepalan tangan-mirip nasi kucing-membuatnya sangat praktis. Itu pula yang menjadi tagline Sego Njamoer: "praktis, bergizi, dan murah". Melalui kemasan, penjualnya menjamin makanan ini tidak bikin pembelinya terjangkit "kanker" alias kantong kering.
Sego Njamoer kreasi enam mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Mereka adalah Rizki Aris Yunianto dari Teknik Elektro, Mahendra Ega Higuitta (Teknik Fisika), Dega Adi Pratama (Teknik Lingkungan), M. Baarik Khoiruman (Teknik Fisika), Eka Rizkiah Septianti (Teknik Kimia), dan Ola Dwi Sandra Hasan dari Teknik Fisika. Kini mereka sudah menyelesaikan kuliah, kecuali Rizki yang masih menyelesaikan tugas akhir.
"Awalnya ikut lomba program kreativitas pada 2010," kata Rizki, Ahad dua pekan lalu. Ide dasarnya adalah memenuhi kebutuhan makan bagi mahasiswa yang praktis tapi bergizi. Sering mahasiswa terburu-buru berangkat kuliah sehingga tidak sempat makan. Selain itu, Rizki cs ingin bisa menyerap hasil panen petani jamur sekaligus menuai untung. Menurut Rizki, para petani jamur kerap kesulitan memasarkan hasil panennya. Padahal hampir setiap hari mereka panen.
Saat itu, Sego Njamoer masih dalam tahap trial and error. Mereka baru pede setelah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan dan Business Plan ITS. Mereka terus mengembangkan bisnis meski sebatas berjualan secara sederhana di kampus. Pada 10 Oktober 2010, mereka pun mulai membuat gerobak dan membungkus Sego Njamoer dengan kemasan yang menarik.
Mereka mengikuti sejumlah kompetisi dan meraih prestasi, di antaranya ikut Program Mahasiswa Wirausaha 2010 serta menjadi juara favorit dalam Shell Live Wire Business Start-Up Award 2011 di Malaysia dan juara I Young Business Competition, yang diadakan produsen teh kemasan pada 2011.
Untuk memperkenalkan produk, menurut Rizki, Sego Njamoer sering mengikuti pameran dalam kegiatan mahasiswa. "Dari situ Sego Njamoer mulai dikenal. Tidak hanya di ITS, tapi juga kampus lain," ujar lelaki 24 tahun asal Mojokerto itu.
Pada 2011, Rizki dkk mencoba menggunakan sistem kemitraan. Cara ini efektif. Gerai yang hanya dua pada 2010 meningkat menjadi 11 pada 2011, 30 gerai pada 2012, dan 56 gerai pada 2013.
Sego Njamoer baru mendapatkan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan pada 2014. Sejak itu, Sego Njamoer memberlakukan sistem waralaba. Kini 65 gerai waralaba Sego Njamoer tersebar di 19 kota di Jawa, Madura, dan Bali. Gerai terbarunya dua di lingkungan Universitas Airlangga dan satu di Jakarta. Segmen pembeli pun tak terbatas pada mahasiswa, tapi juga masyarakat umum.
Calon mitra waralaba cukup menyediakan modal Rp 15,3 juta untuk mendapatkan gerobak. Sedangkan jamur bisa dipasok dari mana saja. Di Jawa Timur, jamur bisa didapat dari petani di Sidoarjo, Jember, Bangil, Batu, dan Lamongan. Di luar Jawa Timur, pasokan jamur didapat dari daerah terdekat.
Pasokan jamur ada yang didapat dari petani langsung, seperti di Lamongan. Tapi sebagian besar melalui pengepul. Pasokan bergantung pada kebutuhan di tiap daerah. Surabaya, misalnya, membutuhkan 100 kilogram jamur per hari. Harganya Rp 11-13 ribu per kilogram. Sistem pembayaran bisa dilakukan per hari, mingguan, atau bulanan. Saat pergantian musim biasanya pasokan jamur menipis. "Tapi kami siap dengan petani cadangan," kata Rizki.
Yang tidak kalah penting dalam bisnis waralaba adalah bumbu makanan. Bumbu jamur tiram yang digunakan Sego Njamoer adalah racikan sendiri. Mitra waralaba akan lebih dulu dilatih memasak Sego Njamoer berikut dengan bumbu khasnya. "Sebelum jualan, kami ajari dulu cara memasaknya."
Untuk mempertahankan cita rasa, manajemen Sego Njamoer rutin melakukan survei rahasia yang dilakukan mahasiswa, bentukan manajemen. Hampir semua aspek disurvei, dari kebersihan, rasa, sampai pelayanan. "Kalau ada yang tidak sesuai, kami beritahukan kepada mitra," ucap Rizki.
Dengan 65 gerai, Sego Njamoer beromzet Rp 150 juta per bulan. Tiap gerai rata-rata mendapatkan Rp 500 ribu per hari. Bahkan ada yang mencapai Rp 1,5 juta per hari, seperti outlet di Surabaya, Yogyakarta, Jember, dan Kediri.
Namun, karena pasar utamanya mahasiswa, omzet tinggi didapat di lingkungan kampus pada masa kuliah aktif. Saban hari sebanyak 125 pembeli datang membeli 4.000-5.000 bungkus. Wilayah Jabodetabek biasanya bisa menjual sekitar 5.000 bungkus Sego Njamoer. Sedangkan di Jawa Timur rata-rata 4.000 porsi Sego Njamoer terjual per hari.
Angka penjualan Sego Njamoer menurun pada libur kuliah dan bulan Ramadan. Tapi Rizki cs punya kiat untuk mendongkrak penjualan. "Kami titipkan ke sekolah-sekolah." Alhasil, penurunan angka penjualan tidak terlalu drastis. Penjualan di kampus yang anjlok lebih dari 50 persen bisa dikejar dengan penjualan di sekolah. Maka, pada masa libur kuliah, rata-rata penurunan angka penjualan sekitar 30 persen.
Dalam beberapa tahun terakhir, Sego Njamoer juga mulai intens diperkenalkan melalui Twitter dengan akun @SegoNjamoer. Tiap daerah memiliki akun Twitter sendiri. Yang penasaran karena memantau Twitter makin banyak yang ingin mencoba. Tidak jarang respons lucu dari pembeli bermunculan. "Pernah ada yang upload kucing terus sekelilingnya banyak Sego Njamoer. Dikasih judul kucing mabuk Sego Njamoer," ujar Rizki.
Rasa penasaran juga yang mengantar Artika, alumnus ITS Surabaya, mencicipi Sego Njamoer. Ia mencoba pertama kali pada 2012 melalui gerobak di kawasan Gunung Anyar, Surabaya. "Untuk ukuran pingin makan nasi tapi enggak pingin ribet, Sego Njamoer sangat pas. Tangan juga enggak kotor karena dilengkapi sendok kecil." Artika bisa habis dua bungkus sekali makan.
Namun, menurut Artika, Sego Njamoer masih kalah dibanding makanan cepat saji lain karena tidak semua orang suka jamur, bahkan ada yang alergi. "Kenapa juga orang harus makan jamur?" Kritik lain, kata Artika, variasi menu Sego Njamoer masih minim.
Endri Kurniawati, Agita Sukma Listyanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo