KONON inilah pendidikan tinggi pertama di dunia -- yang khusus
mendalami ilmu-ilmu Al-Quran. Didirikan di Jakarta, April 1971,
bulan kemarin PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu-Ilmw Al-Quran)
merayakan diesnya yang ke 9. Menarik: di mimbar berdiri Dr. H.
Ibnu Sutowo, bekas Dirut Pertamina dan ternyata sponsor
terpenting sekolah ini, memberi kata sambutan.
Semula PTIQ yang lahir dari induk yang sama dengan MTQ
(Musabaqah Tilawatil Quran) -- yakni sebuah kongres persatuan
para seniman-baca dan penghafal Quran (Jami'iyatul Qurraa wal
Huffazh) di tahun 1968 -- dibiayai dengan dana TR (Nikah-Talak
Ruju') dari Departemen Agama. Hanya setahun kira-kira. Begitu
KHM Dahlan tak lagi jadi menteri agama, kesulitan muncul.
Lalu sekolah swasta itu diambil oper oleh lembaga bernama
Yayasan Pendidikan Al-Quran (YPA), diketuai Ibnu Sutowo.
Termasuk dalam daftar badan pendiri yayasan juga Hasjim Ning,
H.A. T hahir, dan H.M. Jusuf, Direktur Hilton Hotel. Bahkan Ibnu
dan Haji Thahir adalah wakil ketua Dewan Kurator PTIQ periode
1972-197i -- dengan ketua KH M. Dahlan. (Ketua Baru Prof. Dr
Hamka, dengan anggota antara lain Letjen H. Alamsjah, KH
Masjkur, Ismail Sunny).
Cuci Pakaian Gratis
Dari yayasan itulah dana mengalir ke kompleks 5.000 meter
persegi di Pasar Jumat itu -- tidak besar, sekitar Rp 50 juta
per tahun. Dari uang itu sekolah masih mengongkosi mahasiswanya
(sekarang 118 orang): makan-minum, asrama dan cuci pakaian
gratis, plus uang jajan Rp 1,5 ribu per bulan. Menarik: sebagian
mahasiswa juga dikirimi uang oleh gubernur daerah asal mereka,
selain dari orangtua.
Sebab sekolah ini berbau resmi juga: mahasiswa dikirim sebagai
wakil tiap provinsi -- dari Pemda atau lembaga pendidikan
setempat -- yang kemudian dites lagi di Jakarta. Seleksi
terhitung ketat. Tiap tahun hanya diterima maksimum 35 mahasiswa
baru, yang akan menempuh pendidikan 3« tahun untuk sarjana muda
dan 6« tahun sarjana lengkap. Kesempatan mengulang ujian hanya di
tingkat III dan V. Di tingkat lain, sekali tak naik, keluar.
Tapi apa yang dikerjakan anak-anak ini?
Paling penting menghafal Quran. Calon sarjana muda harus hafal
18 juz' (bagian), dan sarjana lengkap komplit 30 juz' (540
halaman, ukuran standar). Sepanjang ini saja memang tak aneh
cukup banyak perguruan menghafal Quran di Indonesia, dan
diperkirakan ada puluhan ribu hafizh (penghafal seumur hidup) di
tanah air.
Tapi letak ilmu-ilmu Qur'an terutama tak di situ. Sekolah ini
punya fakultas ushuluddin (theologi) dan syari'ah (hukum),
hampir sama dengan IAIN. Hanya ada tambahan ilmu Qiraah
(aliran-aliran pembacaan Quran), Nagharn (ilmu lagu) di samping
Tilawah (melagukan) sendiri. Bahkan ada Metodologi Riset dan di
Ushuluddin Publisistik/Jurnalistik. Bentuk itulah yang kemudian
konon ditiru di Madinah, Arab Saudi, sejak tiga tahun lalu.
Sedang sebuah institut yang hampir serupa kemudian didirikan
lagi di Jakarta, khusus untuk wanita.
Pengajaran tergolong mewah: 1 orang dosen untuk 2« mahasiswa. Di
antara dosen terdapat Dr. Harun Nasution dan Prof. Kasman
Singodimejo sebagai guru besar, di samping dosen dari Mesir. Di
bawah Rektor KH Syukri Ghozali, PTIQ kemarin mengirimkan dua
mahasiswanya mewakili Indonesia ke lomba lagu dan menghafal
Qur'an internasional di Mekah. Salah seorang menjadi juara ke-7
untuk lagu, sedang yang lain, Muhajir, mendapat medali emas dan
uang sekitar Rp 2 juta sebagai juara ke-1.
Lumayan, ah, sesudah Indonesia tak jadi juara apa-apa --
sesudah kalah di dunia bulutangkis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini