INILAH Sekolah Indonesia di luar negeri yang paling mentereng. Dikelola oleh Kedutaan Besar RI di Singapura, gedung Sekolah Indonesia Singapura (SIS) itu dibangun dengan biaya Rp 8 milyar dan Sabtu pekan lalu diresmian oleh Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri Soedarmono. Di antara tamu yang hadir tampak bekas Menlu Mochtar Kusumaatmadja. Namun, kompleks SIS yang megah di kawasan Siglap, Changi, itu tidak menggerogoti anggaran pemerintah RI. Bangunan dengan atap mirip joglo itu dibangun pengusaha Singapura. Ini berawal dan tukar-menukar lokasi. Lokasi SIS sebelumnya di kawasan elite "Holland Hill", dan diincar banyak cukong. Gedung SIS yang baru ini berlantai tiga dibangun di atas tanah seluas 8.000 m2 di lokasi lama hanya 3.000 m2. "Untuk ukuran Indonesia, terus terang sekolah ini termasuk mahal," kata Rais Abin, Duta Besar RI untuk Singapura, kepada Linda Djalil dari TEMPO. Tapi, yang agaknya perlu diingat, pembangunan gedung itu benar-benar memperhitungkan standar kelayakan sebuah sekolah di singapura. Yakni menyangkut keamanan siswa, ketenangan lingkungan, dan memenuhi syarat-syarat akustik. Fasilitas yang disediakan juga komplet, meliputi laboratorium fisika, kimia, biologi, bahasa, pertukangan, komputer, jahit-menjahit, dan sarana olah raga. Juga dilengkapi bangunan multifungsi. "Ruang ini bisa dimanfaatkan untuk acara keseman, pertemuan masyarakat Indonesia, dan acara lain yang sifatnya tidak formal," ujar Rais lagi. Tidak tertutup kemungkinan untuk pesta perkawinan. SIS berdiri 1969 dengan nama Embassy School. Mula-mula hanya menerima murid TK. Setahun kemudian dibuka SD, muridnya bekas TK tadi. Menyusul SMP pada 1971. Baru pada 1974, SIS yang kini memiliki 150-an siswa itu membuka SMA. Dan siswa yang diterima pun tak terbatas anak-anak diplomat, tapi juga anak karyawan dari BUMN, seperti Pelni, Pertamina, dan Garuda. Semua Sekolah Indonesia yang dikelola KBRI berstatus swasta. Namun, tidak berarti sekolah tersebut lepas dari pengawasan dan perhatian pemerintah. "Sejak 1973 ada Daftar Isian Kegiatan pemerintah yang mencantumkan mata anggaran untuk sekolah Indonesia di luar negeri," kata Soedarmono Sekjen Deplu. Ada 18 Sekolah Indonesia di luar negeri, dan pemerintah lewat anggaran Deplu menyediakan subsidi sekitar Rp 300 juta setahun. Setelah dibagi, subsidi itu tak seberapa besar dibanding biaya operasi yang harus dikeluarkan setiap sekolah. Sebagai contoh, anggaran tahunan Sekolah Indonesia Bangkok (SIB) mencapai Rp 150 juta. Sementara itu, Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT) berkisar antara Rp 50 dan Rp 60 juta tiap bulan. "Subsidi dari Jakarta sedikit sekali. Hanya cukup untuk menggaji guru dan sekadar anggaran pemeliharaan rutin," kata Rais Abin. Untuk menutup kekurangan itulah setiap pelajar ditarik bayaran cukup tinggi. Di SIS, SPP yang dikenakan per bulan pada jenjang TK dan SD sekitar Rp 40 ribu. Lalu Rp 60 ribu untuk SMP, dan SMA Rp 80 ribu. Sementara itu, di Jepang, yang mata uang yennya begitu kuat terhadap dolar dan rupiah, lebih mahal. TK Rp 130 ribu, SD Rp 170 ribu, SMP Rp 190 ribu, dan SMA Rp 210 ribu, per bulan. Mahal? Kalau dibandingkan menyekolahkan anak di American School, Singapura, misalnya, yang menarik bayaran 10,5 juta rupiah per tahun, maka SIS masih murah. "Memang mahal bila dibandingkan uang sekolah di Indonesia. Tapi masih lebih murah dari sekolah swasta di negara lain," kata Soedarmono lagi. Ketika bertugas di Filipina, Soedarmono mengeluarkan US$ 270 per bulan untuk ketiga anaknya yang bersekolah di Sekolah Indonesia Manila dan itulah yang termurah. Pada prinsipnya, kurikulum sekolah yang jauh dari tanah air itu tak berbeda dengan sekolah-sekolah di Indonesia. Mereka menerima rapor seperti biasa, juga mengikuti Ebtanas, -- yang soalnya dikirim dari Jakarta. Hanya di Jepang ada "muatan lokal" yakni sejak kelas 3 SD wajib belajar bahasa Jepang dua jam seminggu. Problem utama sekolah jenis ini, seperti yang dikatakan Rais Abin, adalah mencari guru. "Untuk memperoleh tenaga guru yang berbobot susahnya setengah mati," katanya. Tak heran bila sebagian besar tenaga pengajar SIS yang berjumlah 27 orang itu sudah mengajar sejak sekolah itu berdiri. Untuk mengatasi kesulitan guru, banyak staf KBRI yang diangkat begitu saja untuk jadi guru, walau tak punya latar belakang pendidikan guru. Itu misalnya terjadi di Sekolah Indonesia Kuala Lumpur (SIK). "Mereka sebenarnya perlu ditatar, tetapi mendatangkan tenaga penatar biayanya mahal," kata Fuad Salim, Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Kuala Lumpur itu, kepada Ekram H. Attamimi dari TEMPO. SIK sudah 19 tahun berdiri dan punya gedung sendiri di Jalan Tun Dr. Ismail, Kuala Lumpur. Semua guru di Sekolah Indonesia itu statusnya swasta. Kadang mereka mengajar rangkap di SD, SMP, atau SMA. Tetapi, kepala sekolah didrop Departemen P dan K dan statusnya pegawai negeri. Harap maklum, sekolah ini dari TK hingga SMA merupakan satu kesatuan. Jadi, kepala sekolah hanya seorang. Guru nonkepala sekolah biasanya dikontrak tiga tahun, boleh memperpanjang boleh tidak. Seleksinya dilakukan oleh Deplu dan sama sekali tak melibatkan P dan K. Gaji guru kontrakan ini bervariasi dari Rp 350 ribu hingga Rp 600 ribu plus fasilitas pemondokan yang cukup representatif. Di Sekolah Indonesia London (SIL) para pengajar menerlma uang transpor rata-rata ? 100 per minggu. "Uang sebesar itu di London tidak ada artinya. Terus terang sulit bagi kami untuk menaikkan gaji mereka, sebab kami tidak mendapat anggaran sama sekali. Semua penghasilan bersumber dari uang sekolah anak-anak," kata Drs. N.T. Damen, Sekretaris KBRI London sekaligus menjabat Kepala SIL. SIL didirikan pada saat Roesmin Nuryadin menjadi dubes di London, 1970. Mula-mula menempati Wisma Siswa Merdeka, lalu pindah ke Wisma Samudra. Baru pada tahun 1982 atas bantuan pemerintah Inggris, SIL mendapat lokal kendati masih nebeng di Aylestone High School. "Kami dikasih gratis 10 ruangan dan bebas memakai semua fasilitas yang ada," kata Damen kepada Yudhi Soerjoatmodjo dari TMro. Tapi itu dengan catatan, hanya bisa digunakan setiap hari Sabtu, saat murid sekolah di Inggris libur. Dan di situlah uniknya. Sekolah Indonesia yang lain belajar lima hari seminggu -- Sabtu umumnya libur -- sebaliknya SIL yang saat ini baru memiliki SD dan SMP belajar hanya sehari seminggu pada hari Sabtu. Tapi, menurut Damen, tak ada murid SIL yang "ketinggalan" dibandingkan murid sekolah lain setingkat, bahkan dibandingkan yang di tanah air sendiri. "Terbukti hasil Ebtanas bagus semua dan lulus 100 persen," kata Damen dengan nada bangga. Uniknya lagi, SIL yang memiliki 60 siswa dan 14 pengajar -- semuanya sarjana -- boleh dikatakan kelas jauh dari Sekolah Indonesia Nederland (SIN). Akibatnya, sekolah ini belum "terdaftar" di Indonesia, itu sebabnya tak menerima subsidi dan tak ada droping kepala sekolah. Ulangan biasa, baik ujian kuartal maupun semesteran, apalagi Ebtanas, disiapkan oleh SIN. Guru pengawas pun didatangkan dari Belanda. Uang SPP di SIL berkisar dari ? 10 hingga ? 30 per bulan. Itu sebabnya, Damen menyebutkan, memimpin sekolah ini ada seninya. Yang ia banggakan, peminatnya tak terbatas di London. Orang Indonesia yang tinggal di Oxford, Cambridge, dan Irlandia, misalnya, memasukkan anaknya ke SIL. Bahkan baru-baru ini ada dua anak pengusaha Malaysia ingin masuk SIL. "Tapi masih kami pikir-pikir. Sebab, bagaimana nanti dengan pelajaran PMP, diberikan apa tidak pada anak itu?" ujar Damen. Lain lagi problem yang dihadapi Sekolah Indonesia Manila (SIM). Gedungnya menumpang di KBRI, menempati lantai IV yang luasnya hanya 200 m2. Ruangan itu disekat-sekat menjadi 15 ruangan kecil untuk menampung 69 siswa dari jenjang SD sampai SMA. SIM punya 17 pengajar. "Ruang perpustakaan dan laboratorium sekaligus dijadikan ruang belajar," kata Drs. Rosman Yunus, Kepala SIM, kepada Didi Prambadi dari TEMPO. SIM yang didirikan tahun 1965 itu kini juga punya kelas jauh, yakni di Davao. Kelas jauh ini justru yang lebih hebat, karena punya gedung sendiri yang dibangun secara swadaya oleh orang Indonesia di sana. Sekolah Indonesia yang tergolong maju adalah Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT). Terletak di daerah Meguro, Tokyo sekolah yang sudah beroperasi sejak 1963 ini memiliki semua sarana penunjang pendidikan. Mulai dari laboratorium hingga perpustakaan. "Tapi, terus terang, koleksi kami memang agak ketinggalan, terutama buku-buku karya sastra," kata Dra. Aizur Husin yang sudah sepuluh tahun mengajar di SRIT. Muridnya sekarang ada 110 orang yang diajar 16 guru. Ada tambahan pelajaran bahasa Jepang. "Agar memudahkan komunikasi dengan anak-anak Jepang" kata Pratiwi Sumitro, Kepala SRIT, kepada Seiichi Okawa dari TEMPO. Soalnya, setahun sekali SRIT mengadakan tukar-menukar siswa dengan sekolah Jepang di daerah-daerah. Adapun SPP yang mahal itu -- seperti yang sudah disebut -- karena murid SRIT punya banyak kegiatan nonkurikuler, antara lain renang, menari, piano, gitar, elektone, dan kempo. Sebenarnya, tak ada keharusan bagi anak-anak diplomat -- atau warga Indonesia yang bertugas di luar negeri -- untuk belajar di Sekolah Indonesia. Mereka bisa saja memilih sekolah setempat yang memang lebih mahal. Tapl masalahnya bukan murah atau mahal. Dengan memilih Sekolah Indonesia, anak itu tak perlu lagi menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan nasional, jika sewaktu-waktu pulang ke tanah air karena orangtuanya ditarik kembali. Dia bisa pindah sekolah dengan mudah. Yusroni Henridewanto dan koresponden-koresponden
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini