Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
PT Anzawara Satria, satu dari puluhan perusahaan tambang batu bara di Tanah Bumbu yang mengalami tumpang-tindih dengan perkebunan sawit dan usaha tambang perusahaan lain.
Kasus kekerasan dan konflik tambang menjadi bukti lemahnya penindakan kejahatan lingkungan dan sumber daya alam oleh aparat.
Pemerintah pusat dan setempat didesak segera membenahi sistem peruntukan lahan.
JAKARTA – PT Anzawara Satria disebut-sebut menjadi korban adanya aktivitas tambang ilegal di wilayah konsesi mereka sendiri. Konflik lahan di Kecamatan Angsana, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, ini meletup ketika advokat perusahaan, Jurkani, diserang orang tak dikenal setelah memeriksa lahan yang diserobot para penambang ilegal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah pegiat lingkungan menilai kejadian yang dialami PT Anzawara merupakan imbas semrawutnya tata kelola peruntukan lahan di Kabupaten Tanah Bumbu. Peneliti dari Direktorat Informasi dan Data Auriga Nusantara, Yustinus Seno, mengatakan PT Anzawara Satria hanya satu dari segelintir pemilik konsesi yang mengalami tumpang-tindih peruntukan lahan. Perusahaan itu semula mendapat izin usaha pertambangan (IUP) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Kecamatan Angsana sejak 2015 dengan luas 2.412 hektare. "Perusahaan tersebut membentang di antara pesisir Laut Jawa," ucap Yustinus kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, PT Anzawara juga berkonflik soal hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit. Lahan konsesinya ditindih tiga perusahaan sawit, antara lain perusahaan berinisial PT GMK, PT BKB, dan PT SH. Lahan sawit tersebut tepat berada di atas tambang batu bara yang sedang dikeruk oleh Anzawara. Data ini diperoleh pegiat lingkungan melalui analisis citra satelit yang ditampal IUP terbitan bupati, gubernur, dan pemerintah pusat.
Nama PT Anzawara mencuat ke publik kala mereka berkonflik dengan penambang ilegal batu bara di Kecamatan Angsana sejak Juli lalu. Perusahaan ini kemudian melaporkan kasus tersebut ke Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan. Mereka juga melaporkan penambang ilegal ke Badan Reserse Kriminal Polri.
Pada 14 Oktober lalu, penyelidik Bareskrim Polri meninjau lokasi konsesi tambang milik Anzawara yang dijarah oleh penambang ilegal. Kepolisian memasang garis polisi untuk menghentikan segala aktivitas penggangsiran fosil nabati tersebut. Namun penambang ilegal memaksa melanjutkan aktivitas hingga sempat terlibat cekcok dengan Jurkani, advokat PT Anzawara. Puncaknya, Jurkani diserang orang tak dikenal yang ditengarai sebagai penambang liar. Jurkani menderita luka bacok di bagian lengan dan kaki.
PT Anzawara juga diketahui berkonflik dengan sejumlah perusahaan yang mendapat izin bodong dari Bupati Tanah Bumbu. Pada April 2015, Pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu menerbitkan IUP tahap operasi produksi untuk PT SPP seluas 640 hektare. IUP milik PT SPP tersebut bodong dan seharusnya menjadi area konsesi milik PT Anzawara.
Penampangan citra satelit luasan izin usaha pertambangan milik PT Anzawara Satria yang berkonflik dengan penambang ilegal di Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Dok. Kementerian ESDM
Kementerian ESDM pada Juli 2021 memperbaiki data konsesi tambang di area milik Anzawara dengan memasukkan area 640 hektare yang sebelumnya diklaim PT SPP. Kini luasan konsesi milik PT Anzawara bertambah menjadi 3.062 hektare di Kecamatan Angsana. Namun lahan Anzawara tersebut justru diserobot oleh penambang liar yang menggunakan ratusan alat berat di area konsesi.
Manajer Eksternal PT Anzawara Satria, Romeir Emma Rivilia, tak memungkiri bahwa area konsesi perusahaan sempat diserobot sejumlah perkebunan sawit. Namun permasalahan tersebut dapat diselesaikan. Konsesi mereka juga sempat diserobot oleh PT SPP, perusahaan tambang batu bara yang ditengarai bodong. "Itu izin usaha pertambangan bodong, padahal di kawasan itu memang punya Anzawara," ujar Emma ketika dimintai konfirmasi.
Yustinus mengatakan bahwa Anzawara hanya satu dari puluhan perusahaan tambang batu bara di Tanah Bumbu yang mengalami tumpang-tindih dengan perkebunan sawit dan pertambangan lain. Auriga Nusantara mencatat pemerintah daerah dan pusat menerbitkan 68 IUP di Tanah Bumbu dengan luas 126.160 hektare atau mencapai 25,7 persen dari total luas wilayah Kabupaten Tanah Bumbu. Puluhan perusahaan tersebut mengalami tumpang-tindih satu sama lain.
Luas izin pertambangan itu terbagi dua, yakni tahap eksplorasi dengan luas 1.349 hektare dan tahap operasi produksi dengan luas 124.810 hektare. Izin-izin tersebut juga diperuntukkan ke dalam beberapa jenis pertambangan, antara lain tambang batu bara, emas, batu gunung, bijih besi, dan tanah lempung.
Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang, Melky Nahar, menyebutkan konflik tumpang-tindih di Tanah Bumbu sudah lama terjadi. Biasanya konflik terjadi antara perusahaan tambang dan perkebunan sawit, antara konsesi tambang legal dan ilegal, ataupun konflik di antara pemegang konsesi tambang. "Pemerintah memang tampak membiarkan. Dalam konteks ini, membiarkan tidak tertibnya alokasi pemanfaatan ruang di Tanah Bumbu," tutur Melky.
Menurut Melky, serangan terhadap Jurkani merupakan potret konflik perusahaan tambang dengan penambang ilegal. Menurut dia, kepolisian mestinya mengusut kasus kekerasan tersebut. Dia khawatir pembacokan itu berhubungan dengan konflik tambang yang dihadapi oleh Anzawara dengan penambang ilegal.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono, mengatakan kasus kekerasan dan konflik tambang di wilayah konsesi Anzawara merupakan bukti lemahnya penindakan kejahatan lingkungan dan sumber daya alam oleh penegak hukum. "Negara selama ini abai dan gagap ketika menangani kasus kejahatan lingkungan hingga membuat seorang advokat jadi korban," tutur Kisworo.
Kisworo juga mengingatkan pemerintah daerah dan pemerintah pusat membenahi sistem peruntukan lahan di Tanah Bumbu. Menurut dia, persoalan tumpang-tindih harus diselesaikan karena dapat memicu konflik meluas. Dia juga menghendaki adanya investigasi menyeluruh untuk mengusut aliran produksi dan hasil penambangan ilegal di area konsesi PT Anzawara.
AVIT HIDAYAT | DIANANTA SUMEDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo