Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Setahun pandemi Covid-19, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan sebagai upaya menekan laju penularan. Berbagai kritik juga mewarnai setiap kebijakan tersebut. Berikut aneka kebijakan pemerintah dan kritiknya selama setahun pandemi virus corona.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1. Penetapan PSBB Terlalu Birokratis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebulan setelah pandemi melanda, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar. Tindakan PSBB ini meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan juga pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai cara pemerintah melakukan penetapan PSBB terlalu birokratis.
Untuk merekomendasikan suatu daerah bisa PSBB atau tidak, menteri harus membentuk tim yang melakukan kajian epidemiologis, politik, ekonomi, sosial budaya, agama, pertahanan, dan keamanan. Tim kajian juga harus berkoordinasi dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Seteah itu, tim kajian juga ditugaskan memberi rekomendasi kepada Menteri Kesehatan. Kontras menilai alur yang berbelit-belit hanya membuat penanganan virus corona lambat atas nama administrasi.
Jokowi menjawab kritik tersebut. Ia mengatakan pemerintah membuat peraturan sedemikian rupa agar semua prosedur dilakukan dengan tepat dan tidak hanya cepat. "Dalam kondisi seperti ini, jangan sampai kita salah mengambil keputusan. Semuanya harus hati-hati dan tidak grasa-grusu," ujar Jokowi lewat telekonferensi dari Istana Merdeka, Jakarta pada Kamis, 9 April 2020.
2. Keluarkan Perpu Covid-19
Presiden Jokowi mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang mengatur tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Sesaat setelah diterbitkan pada akhir Maret 2020, Perpu tersebut digugat oleh tiga pemohon ke Mahkamah Konstitusi. Ketiganya adalah Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan kawan-kawan, Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais dan kawan-kawan, serta aktivis Damai Hari Lubis. Perpu tersebut dinilai menciptakan impunitas bagi pejabat pengambil keputusan dan menutup kewenangan BPK untuk memeriksa dan mengaudit penggunaan anggaran.
3. Stimulus Pariwisata
Sebelum ditemukan kasus pertama Covid-19 di Indonesia, pemerintah telah menyiapkan insentif dengan memberikan alokasi tambahan sebesar Rp 298,5 miliar. Stimulus itu ditujukan untuk maskapai penerbangan dan agen agar bisa memberikan diskon khusus kepada pelancong. Total insentif diskon tiket pesawat ini senilai Rp 98,5 miliar. Sisanya dialokasikan untuk promosi sebanyak Rp 103 miliar, kegiatan pariwisata sebesar Rp 25 miliar, serta relasi media dan jasa pemengaruh (influencer) sebesar Rp 72 miliar.
Direktur Riset Center of Reform on Economy (Core), Piter Abdullah, mempertanyakan insentif fiskal yang terlalu berfokus kepada sektor pariwisata. Menurut dia, selama virus corona mewabah, maka potongan harga berapa pun tidak bakal bisa menggaet wisatawan asing untuk datang. Kunjungan wisata secara alami akan kembali pulih apabila wabah penyakit itu telah berhasil diatasi.
4. Pembentukan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional.
Jokowi membentuk komite ini pada Juli 2020 untuk menggantikan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Sejumlah pengamat menilai fungsi pembentukan komite tidak jelas karena komposisi keanggotaannya yang tak jauh beda dari kabinet pemerintahan.
Menurut Direktur Riset Center of Reform on Economics Indonesia Peter Abdullah, keberadaan KPC PEN bakal membingungkan koordinasi antar-kementerian. Sebab, semua hal berkaitan dengan penanganan Covid-19 harus dilaporkan lebih dulu kepada Menteri BUMN Erick Thohir selaku Ketua Pelaksana Harian Komite. Padahal dalam kabinet Jokowi sudah ditetapkan fungsi-fungsi koordiasi antar-kementerian.
5. Penerapan PPKM
Pemerintah menerapkan PPKM di Pulau Jawa dan Bali mulai 11 hingga 25 Januari 2021, yang diklaim berbeda dengan PSBB. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto beberapa waktu lalu menyebutkan PPKM membatasi kegiatan masyarakat di titik-titik yang dianggap sebagai zona merah.
Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, menanggapi sikap pemerintah yang acap menggunakan istilah berbeda-beda saat menetapkan kebijakan terkait penanganan Covid-19. Faisal menilai pemerintah bersilat istilah seusai kebijakan baru, yakni pembatasan kebijakan masyarakat atau PPKM, diterapkan.
“Pemerintah lagi-lagi "bersilat istilah": PSBB (pembatasan sosial berskala besar), PSBB transisi, micro lockdown, dan terakhir PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat),” tutur Faisal melalui Twitter resmi pribadinya, Sabtu, 9 Januari 2021. Faisal kemudian mempertanyakan penggunaan istilah yang gonta-ganti tersebut. “Apakah untuk menghindari "berskala besar" yang bertujuan menyelamatkan ekonomi?” ucapnya.
6. Kartu Prakerja
Pelaksanaan program janji kampanye Jokowi yang diubah menjadi jaring pengaman sosial bagi warga terdampak Covid-19 ini ditengarai sarat penyimpangan. Program Prakerja mulai ramai dikritik setelah ketahuan melibatkan Ruangguru, perusahaan milik mantan Staf Khusus Presiden Jokowi, Adamas Belva Syah Devara sebagai penyedia layanan pelatihan daring.
7. Sanksi Bagi Pelanggar Protokol Kesehatan
Presiden Jokowi meminta kepala daerah membuat aturan turunan dari Inpres Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19, dan memuat sanksi bagi pelanggar. Dalam pelaksanaan peraturannya, Jokowi meminta TNI-Polri mengerahkan kekuatan untuk mengawasi pelaksanaan protokol kesehatan di masyarakat.
Raja Keraton yang juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono atau Sultan HB X tak sepakat dengan langkah Jokowi terkait pemberian sanksi tersebut. Sultan menilai sepanjang penegakan protokol pencegahan masih bisa ditempuh dengan cara dialog maka sanksi tak perlu diterapkan.
Ia menilai, di masa setahun pandemi yang masih berlangsung seperti ini, seharusnya masyarakat tetap ditempatkan sebagai subyek dalam kebijakan yang dibuat pemerintah. Sehingga kebijakan bisa berjalan efektif.
FRISKI RIANA
Baca Juga: Setahun Pandemi, Epidemiolog: Indonesia Butuh 2 Tahun Lagi Perang Lawan Covid-19