KRISIS Teluk Persia ternyata telah membelah umat Islam di sini. Ada yang menentang serbuan Irak terhadap Kuwait, sebagian lain bisa menerimanya. Untuk memantaunya, pekan lalu TEMPO menyebarkan angket. Ada 44 yang khusus dibagikan kepada peserta Munas MUI di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, pekan lalu. Sedang yang 855 disebar ke masjid, kampus, asrama mahasiswa, sampai ke pondok pesantren. Diedarkan di Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Bandung, Yogya, Solo, Semarang, Kudus, dan Surabaya, termasuk pesantren di desa sekitar kota-kota besar tadi. Semua responden beragama Islam. Partisipasi yang diberikan ternyata sangat bagus. Tak kurang dari 841 daftar isian dianggap layak untuk diolah datanya, selain dari 44 yang khusus diisi para ulama tadi. Ada dugaan, suara para ulama, yang sebagian besar berusia di atas 45 tahun, mungkin akan berbeda dengan kalangan awam, yang sekitar separuhnya berusia di bawah 45 tahun. Alasannya, para ulama itu selain dianggap lebih matang, pengetahuan mereka juga dianggap lebih dalam dibanding orang awam. Pada beberapa hal, asumsi ini ternyata benar. Ketika diminta menjawab pertanyaan "Mana di antara negara-negara yang terlibat konflik (dengan pilihan Arab Saudi, Irak, Palestina, Mesir, dan Tidak Tahu) yang mereka anggap mewakili semangat Islam", diperoleh jawaban: 46% memilih "tidak tahu". Arab Saudi mendapat 19% suara, sedangkan Palestina dan Irak cuma 3%. Bagaimana Mesir? Ternyata cukup besar, tercatat ada 16% yang menganggap Mesir "mewakili semangat Islam". Suara dari umat tentang ini sedikit berbeda. Sebagian besar dari mereka masih menganggap Arab Saudilah yang paling mewakili semangat Islam. Tak kurang dan 37% responden berpendapat begitu. Mesir juga mendapat dukungan yang lumayan, 17%, meskipun yang bingung dan menjawab "tidak tahu" juga cukup besar, 24%. Sedangkan Irak, sang peletus konflik, ternyata cukup disukai. Bahkan lebih besar dari Palestina, yang cuma menghimpun simpati 8% penjawab. Irak dipilih oleh 14% responden. Bahwa hampir separuh ulama yang ditanya memilih "tidak tahu" buat negara yang dianggap mewakili semangat Islam, boleh jadi hal itu mencerminkan memudarnya citra Arab Saudi di mata mereka. Apakah tragedi Mina, atau kehadiran tentara Amerika di sana, mempengaruhi opini mereka, tidak bisa dipastikan. Sebaliknya, dengan memperoleh 37% suara kalangan awam, agaknya citra Arab Saudi sebagai lokasi kota suci Mekah dan Madinah masih bertahan. Namun, patut dicatat bahwa Irak memperoleh 14% suara -- suatu jumlah yang cukup berarti. Lantas, apa jawaban atas pertanyaan: "Bagaimana pendapat Anda tentang pendudukan Irak terhadap Kuwait"? Pada umumnya, langkah Irak tak mereka sukai. Tapi yang menganggapnya "patut dikutuk" dari kalangan umat ada 20%, sedangkan ulama 16%. Mayoritas responden lebih suka memilih ungkapan "tidak bisa dibenarkan". Suara umnat di sini mencapai 57%, sedangkan dari ulama lebih besar, 79%. Adakah yang mendukung langkah dahsyat Saddam Hussein itu? Ada 3% umat yang bilang langkah itu "patut didukung". Misalnya saja dari Pondok Genggong, Probolinggo, Ja-Tim. Iskandar Hidayat, seorang santri yang juga aktivis mahasiswa Institut Agama Islam Zainul Hasan, menilai Saddam ada benarnya karena Kuwait disebutnya terlalu menguntungkan pihak Barat. Sayangnya, menurut Iskandar, "Langkah itu bikin geger dan memecah belah Islam." Sedangkan para ulama tidak ada yang sependapat dengan cara Saddam ini. Persoalan berikut adalah soal ancaman terhadap kota suci Mekah dan Madinah, yang oleh Arab Saudi dijadikan alasan untuk mengumpulkan dukungan. Benarkah kedua kota suci Mekah dan Madinah terancam oleh serbuan Irak? Para responden terpecah dua hampir sama besar untuk soal ini, baik di kalangan ulama maupun umat. Hampir separuh suara umat, 49%, berpendapat bahwa kedua kota suci itu terancam, sementara 43% menganggapnya tidak terancam. Dari kalangan ulama, per bandingan juga mirip, tapi lebih besar yang berpendapat tidak terancam, 48%. Sedangkan yang menilai terancam 44%. Bagaimana dengan kesediaan masyarakat untuk menjadi sukarelawan perang seandainya kesempatan untuk itu ada? Ternyata di kalangan responden hal ini tak populer. Tak kurang dari 70% umat dan 86% ulama menolak untuk menjadi sukarelawan. Uniknya, di kalangan ulama yang siap untuk menjadi sukarelawan untuk Kuwait, Irak, atau Arab Saudi, jumlahnya sama besar, masing-masing ada dua orang. Sedangkan dari umat, minat menjadi sukarelawan buat Arab Saudi ternyata 15%. Untuk Irak tercatat tepat 10%, sedang Kuwait mengumpulkan 6%. Di tengah sedikit perbedaan di sana-sini ada satu soal yang bisa dianggap arus besar pendapat ulama maupun umat. Tentang Amerika Serikat. Tepat separuh suara umat dan ulama menilai Amerika sebagai "Pihak yang mengambil manfaat paling besar dari krisis Teluk." Israel adalah pihak paling untung yang lain. Ia dinilai demikian oleh 24% umat dan 27% ulama. Kesimpulan terakhir, yang mungkin paling menarik, adalah soal sikap Indonesia menghadapi krisis Teluk ini. Walaupun ada yang mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan segala, ternyata hampir semua orang setuju dengan langkah pemerintah untuk tidak mengirim pasukan kecuali atas permintaan PBB untuk menjaga perdamaian. Tercatat 92% suara umat dan 93% suara ulama mendukung sikap pemerintah itu. Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini