BANJIR dan angin badai yang menyapu kawasan Kabupaten Aceh Barat
bulan Mei lalu -- kemudian terjadi pula sebulan kemudian --
masih meninggalkan ekor. Hampir 3.000 kepala keluarga (KK) dari
40.000 kk korban banjir kehilangan harta milik. Untuk sebagian
akibat-akibatnya telah teratasi. Tapi di wilayahwilayah
terpencil seperti Teunom, Seunagan dan Beutong belum lagi.
Bantuan-bantuan berupa uang, beras sawah dan bibit memang sudah
disebar sedapat-dapatnya. Tapi kesulitan pengangkutan di
wilayah-wilayah pedalaman, apalagi bergunung, tampaknya masalah
terberat. Salah satu akibat yang segera tampak tentu saja
harga-harga yang mcloncat di wilayah terpencil itu. Sampai
perkngahan bulan ini misalnya, hargam minyak tanah per-botol
kecil mencapai Rp 50 dan Rp 100 untuk sebotol bir. Sebelumnya
sebotol kecil hanya Rp 20. Tak mengherankan jika di beberapa
kecamatan penduduk telah menggunakan damar untuk lampu. Sekarang
penjual-penjualnya terdiri dari agen-agen liar.
Aceh Barat memang sudah beberapa kali mengalami krisis minyak
lampu. Karena sistem penyaluran yang tak teratur. Seorang agen
tunggal Pertamina, H, yang menjadi penyalur resmi, banyak
ditunjuk sebagai penyebab kekacauan penyaluran itu. Bahkan pihak
DPRD Aceh Barat pernah melakukan sidang khusus dan mengecam
penyalur itu. Tapi tak mempan. Sehingga perlu dibentuk sebuah
tim penanggulangan bahan bakar minyak.
Jalan-jalan juga rusak. Jalan Banda Aceh -- Meulaboh masih
hancur dan menelan waktu berhari-hari untuk sampai ke tujuan.
Karena itu Bupati Aceh Barat, T. Usman Mahmud yang baru 6 bulan
bertugas di sini, tak malu-malu menjerit: "Penduduk kabupaten
ini ada harapan kelaparan." Dan, tambahnya, "jika irigasi di
Kecamatan Beutong dan Seunagan tak diperbaiki, bencana kelaparan
itu pasti terjadi." Ia pun membawa tim dari PU Propinsi Aceh
melihat tempat-tempat irigasi yang hancur oleh banjir.
Tarif Bis
Belum lagi perkara penyakit dan persediaan bahan pangan di
daerah bekas banjir itu. Meskipun belum terdengar ada wabah
busung lapar, tapi harga beras juga melompat terus. Tapi
tanda-tanda penyakit itu sudah jelas. Misalnya di Desa
Keleumbah, di dekat Sungai Woyla yang ganas itu. Ketika banjir
menyerang bulan Mei itu, ada 18 buah rumah hanyut di desa itu.
Seorang penduduknya mengakui mereka mengunsi ke bukit dan
selama 3 hari 3 malam hanya makan umbi tumbuh-tumbuhan hutan dan
pisang muda.
Kerusakan jalan terus menjadi masalah pokok di Propinsi Aceh
pada umumnya. Jarak antara Banda Aceh -- Tapak Tuan (Aceh
Selatan) yang 445 km itu nasih ditempuh 4 hari. Kalau diguyur
hujan akan lebih lama lagi. Kerusakan ini tak hanya menyebabkan
harga kebutuhan terus meningkat, tapi juga dengan sendirinya
menaikkan tarif angkutan. Jika resminya jarak kedua kota tadi
cukup dengan tarif bis (atau truk) Rp 2.000 menjadi Rp 3.000
sekitar Juni lalu. Tapi para pengusaha bis tak tahan, biaya
perjalanan terlalu tinggi. Maka secara diam-diam tiap penumpang
dikutip Rp 4.500. Protes pun terdengar.
Belum sempat terdengar tanggapan pihak Organda, tiba-tiba
jembatan Gogo di Teunom (Aceh Barat) dan jembatan Babah Rot di
Aceh Selatan lenyap ditelan banjir. Perjalanan harus secara
estafet. Onkos sudah tak terkendalikan lagi. Entah sampai
kapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini