KETIKA Prof. Harsja Bachtiar bicaratentang R.A. Kartini awal Desember tahun lalu, banyak orang kaget. Berbicara kepada para wartawan mengenai pemilihan tokoh-tokoh yang dianggap pahlawan, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan Departemen P dan K itu antara lain menyinggung Kartini, yang dianggapnya tidak cocok dengan wanita zaman kini. "Carilah wanita yang bisa ditokohkan, yang sesuai dengan perjuangan wanita saat Ini," katanya waktu itu. Pernyataan Harsja ini kontan mengundang polemik dari berbagai tokoh wanita. Seperti hendak menegaskan kembali pendapatnya tentang R.A. Kartini, Harsja Bachtiar Sabtu dua pekan lalu bagaikan mengulang pernyataannya. Harsja, dalam ceramah di gedung Perpustakaan Nasional Jakarta itu, mengajak semua pihak untuk meluruskan sejarah anak putri bupati Jepara itu. Di mata Harsja, masih ada tirai mitos yang menyelubungi Kartini. "Mitos memang mengandung unsur-unsur kebenaran, tapi sebagai keseluruhan, banyak hal yang tak sesuai dengan kenyataan," ujarnya. Harsja tak keberatan orang mengagungkan mitos Kartini, "asal memenuhi tiga syarat." Yang pertama, tak menganggap bahwa kemajuan wanita Indonesia sematamata disebabkan oleh R.A. Kartini. Kedua, tak mengecilkan arti tokoh wanita lain yang juga berjasa, malah berbuat jauh lebih banyak dari yang sesungguhnya dilakukan Almarhumah dalam upaya memajukan wanita Indonesia. Ketiga, tak mengingkarikenyataan bahwa kemajuan wanita Indonesia didorong oleh pemikiran dan tindakan amat banyak wanita yang tak dikenal dan yang tak tahu-menahu tentang wanita yang ditokohkan, termasuk Kartini. Pamor Kartini, menurut Harsja, terangkat dalam catatan sejarah-berkat publikasi pendekar politik Belanda J.H. Abendanon dan Mr. C. Th. Van Deventer. Upaya Abendanon membukukan sebagian surat-surat Kartini itu tak lepas dari garis perjuangan kelompok ethic Belanda, yang memang berniat memajukan warga Hindia Belanda. Agaknya, Harsja berharap agar itikad Abendanon menerbitkan buku itu tak dibiarkan lebih lama menjadi teka-teki. Anggapan bahwa pemikiran R.A. Kartini itu luar biasa, kata Harsja, "hanya didasarkan pada reputasi Kartini itu sendiri, bukan atas penkaiian atas tulisan Kartini sendiri." Bahkan sosiolog senior ini mempertanyakan sebuah konsideran dari SK pengangkatan Kartini sebagai pahlawan nasional, yang dikeluarkan Presiden Soekarno 24 tahun lalu. Konsideran itu pada pokoknya mengatakan bahwa Kartini karena terdorong rasa cinta tanah air mencoba menentang penjajah Belanda. "Fakta sejarah tak mendukung anggapan bahwa beliau melakukan kegiatan menentang penjajah," kata Harsja. Bahkan sahabat-sahabat karib putri Jepara itU kebanyakan adalah klit putih. Tak semua orang tentu setuju dengan pendapat Harsja. "Kalau kumpulnya dengan orang Jawa saja, ya, tidak maju-maju," ucap Siti Soemandari Soeroto, bekas wartawati yang pernah menulis biografi Kartini. Soemandari tentu tak rela Harsja mengecilkan pemikiran Kartini tentang pendidikan yang memadai bagi kaumnya. "Pikiran itu sangat maju untuk jaman itu," tambah Soemandari. Tentang tiga syarat yang diajukan Harsja, Soemandari setuju. Namun, ia agak berang mendengar Harsja mempersoalkan skala perjuangan Kartini yang terbatas pada perjuangan kedaerahan. "Diponegoro, Imam Bonjol, dan Cut Nyak Dien pun kedaerahan. Paham keindonesiaan 'kan baru muncul setelah Sumpah Pemuda," ujarnya. Namun, ada satu hal yang perlu dicatat. Raden Ajeng Kartini, menurut Soemandari, tak punya sentimen kesukuan. "Beasiswanya ke Belanda diberikannya pada Agus Salim," katanya. Itu karena tahu bahwa Agus Salim adalah lulusan terbaik dari HBS tahun itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini