Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya mengatakan Mahkamah Konstitusi mempunyai nalar konstitusional dalam menetapkan putusan menghapus ambang batang pencalonan presiden atau presidential threshold.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Warga NU kalau dikasih kesempatan nyoblos ya kami coblos saja. Soal siapa yang boleh nyalon atau tidak itu domain dari aktor-aktor politik kelembagaan yaitu partai, DPR, dan lainnya,” kata Gus Yahya -sapaan Yahya, dalam konferensi pers di Kantor PBNU, Jakarta Pusat, Jumat, 3 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gus Yahya mengaku yakin MK memiliki pertimbangan yang panjang dalam memutuskan menghapus presidential threshold. Di sisi lain, Gus Yahya mengatakan NU tetap menginginkan sistem demokrasi yang baik. “Tapi harus ada pertimbangan tentang hal itu, dan saya kira ini menjadi gagasan para pemimpin politik,” ujarnya.
Lebih lanjut, Gus Yahya mengatakan masyarakat perlu memberikan kepercayaan terhadap partai politik. Sebabnya, kata dia, partai politik merupakan kunci berjalannya demokrasi.
Gus Yahya mempersilakan jika ada warga NU umemanfaatkan potensi untuk maju menjadi calon presiden atau calon wakil presiden. “Ya silakan saja, tapi jangan sampai tiba-tiba bikin partai hanya untuk mencalonkan diri. Kasihan yang nyoblos,” ujarnya.
Seperti diketahui, MK secara resmi menghapus ketentuan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden 20 persen. Hal tersebut berdasarkan pembacaan putusan nomor perkara 62/PUU-XXII/2024 pada Kamis, 2 Januari 2025.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta pada Kamis.
Penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden ini membuat setiap partai politik dapat mengajukan calonnya tanpa harus membuat koalisi partai. Selain itu, Hakim MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 mengatakan pedoman melakukan rekayasa konstitusional dapat dipertimbangkan pembentuk undang-undang dalam merevisi UU Pemilu agar jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak membeludak.
“Jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak belum menjamin berdampak positif bagi perkembangan dan keberlangsungan proses dan praktik demokrasi presidensial Indonesia. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang, dalam revisi UU Nomor 7 Tahun 2017, dapat melakukan rekayasa konstitusional dengan memperhatikan hal-hal berikut,” kata Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025, seperti dikutip dari Antara.
Raihan Muzakki berkontribusi pada artikel ini.
Pilihan editor: MK Wajibkan Pendidikan Agama Diterapkan di Sekolah