ADA pengeras suara di depan rumahnya. Juga tulisan "Awas copet!" Ada polisi dan hansip. Pengunjung pun berjubel. Suasananya meriah. Jangan salah tebak. Ini bukan hajatan. Itu rumah dukun cilik Suliyono, 8 tahun, yang suka meramal kode KSOB/TSSB di Dukuh Genenan, Desa Parangargo, Kecamatan Wagir, Malang. Bocah kurus anak ke-2 dari empat bersaudara pasangan Paidi-Surati itu dipoklamasikan jadi dukun tujuh bulan lalu. Waktu itu ia menghadapi peristiwa yang mengguncangkan hatinya: ayahnya hendak dibunuh pamannya. Sejak itu sikapnya sulit dimengerti. "Ia mengalami guncangan batin," kata Taip, Kepala Dukuh Genengan. Ia mulai doyan rokok, dan tak mau bergaul dengan teman sebayanya. Karena sikapnya yang aneh itu, warga pun beranapan lain. Mereka percaya Suli telah digerakkan tenaga gaib. Ada yang sakit encok, disuwuk, disembur dengan mulutnya. Sembuh. Sakit gigi pun diobati begitu. Kontan lenyap. Warga desa mana yang tak kagum. Padahal, duduk di bangku SD saja cuma sampai kelas I, itu pun hanya enam bulan. Jadi, ia tak bisa baca tulis. "Anak itu sebenarnya kurang normal," kata Samini, guru Suliyono di SD Parangargo II. Di sekolah ia memang sering jadi bahan ejekan. Tapi pecandu KSOB/TSSB tidak mengejeknya, malah mengamatinya. Segala polah tingkah Suli diamati, dijabarkan, dan kemudian dicocokkan dengan buku tafsir primbon mimpi. Edan? Belum tentu. Tapi ini sekadar gambaran orang masa kini, di tengah semerbaknya asap KSOB dan TSSB di persada Nusantara. Para pecandu itu datang dari kota-kota di Jawa Timur, Jawa Tengah, bahkan ada yang dari Padang, Sumatera Barat. "Saya minta dibelikan seruling," kata Suli, yang pelit membuka mulut itu suatu hari. Tamu-tamunya pada bingung. Lho, ini 'kan permintaan aneh. Ramai-ramai tamu itu membuka buku primbon Seribu Tafsir Mimpi. Kata "seruling" itu, setelah diutak-utik, menjadi angka 44. Angka itu kemudian memang keluar sebagai buntut TSSB. Pekan lain Suli minta topeng harimau. Dijabarkan dari tafsir mimpi menjadi angka 08. "Ternyata, setelah ditomboki, nomor itu keluar," kata Surati, ibu Suli, yang tampak kurang tidur, kuyu, tapi tetap berusaha ramah pada tamunya. Rumah Suli yang gedek itu memang jarang sepi pengunjung. Terutama pada hari Kamis dan Minggu, tamunya luar biasa. Harap maklum, Kamis malam adalah waktu penarikan TSSB sedang Minggu malam adalah buat KSOB. Ada jam dinding menempel di rumah itu. Batu bata, kayu meranti, dan pasir teronggok di halaman. Semua pemberian orang. Jika ramai tamu, paling tidak uang Rp 10 ribu masuk ke kantung keluarga petani ini. Dukuh Genengan juga kecipratan rezeki. Dari uang parkir, dalam sehari pernah diterima Rp 30 ribu. Lumayan untuk tambah beli pakaian hansip dan perbaikan jalan, kata Taip, Kepala Dukuh Genengan. Saking membludaknya pengunjung, Suli pernah diamankan di kantor polisi Wagir. Itu saja yang bisa dilakukan Kapolsek Wagir, Sersan Mayor Tondo S. Mau melarang tamu berkunjung, kok tidak masuk akal. Wong KSOB dan TSSB bukan barang larangan. Lagi pula, kata Tondo, Suliyono tidak memberi nomor kode, tapi pengunjung sendiri yang meramal. Tondo benar. Ketika TEMPO mengunjunginya, di rumah Suli antara lain telah nongkrong Mulyadi, 25 tahun, pengecer KSOB dari Pare, Kediri. Ia sudah menginap di situ tiga hari. Ia lakukan itu, katanya, karena disuruh pecandu KSOB dari Pare. "Segala biaya dan transpor diganti mereka," kata Mulyadi. Tiga hari di situ, Mulyadi belum merasa mendapat petunjuk apa-apa. Sebab, Suli selalu gentayangan ke mana-mana, dikuntit banyak orang, kayak bintang film saja. Hari itu Suli singgah di rumah Taip, si kepala dukuh. Ia menyetel tape recorder. Lagu Jawa klenengan. Tampaknya, ia sangat asyik karena kepalanya digeleng-gelengkan. Seorang tamu, yang mencoba mengusik dengan menanyakan kode KSOB yang akan keluar pekan ini, diusirnya mentah-mentah. Tapi ketika ia melihat notes TEMPO bergambar monyet, Suli tertarik. Ia menunjuk notes gambar kera itu, berkali-kali. "Oh . . . yang dimaksud pasti kera," celetuk tamu itu. Buku tafsir mimpi dibuka, ketemu angka 23. "Nomor ini bisa dibolak-balik, Pak," kata tamu dari Malang itu yakin. Akankah nomor itu keluar? Dan kemenangan bakal di tangan? Yakin bakal menang, itu pula yang membuat Bernhard Manahan Hasiholan Siregar, 30 tahun, menyikat uang Kantor Pos dan Giro Besar I, Jakarta Barat, tempat ia mengabdi selama ini. Jumlah yang dikorup tak kepalang tanggung, Rp 1,4 milyar. "Jumlah terbesar pembobolan dalam sejarah pos di Indonesia," kata sumber TEMPO di Polda Metro Jaya, yang memeriksa kasus Bernhard Siregar ini. Seperti umumnya penjudi, Bernhard mula-mula main Porkas alias KSOB kecil-kecilan. Merasa kepalang basah, Bernhard main habis-habisan, hingga ketagihan. "Kalau dia membeli Porkas, nggak tanggung-tanggung, sampai jutaan rupiah," kata Andai, karyawan agen besar KSOB/TSSB di Jalan Percetakan Negara, dekat rumah Bernhard Siregar. Ia pernah membeli 400 buku (per buku 25 lembar). Terpaksa banyak karyawan melayaninya untuk menuliskan huruf dan angka yang sama. Menang? "Dia pernah dapat hadiah sampai Rp 6 juta. Tapi uang itu habis lagi untuk beli kupon," kata Andai lagi. Padahal, dalam melakukan aksinya itu, Bernhard dibantu tujuh orang dukun, enam dukun Porkas dan seorang dukun dari Banten yang bertugas menyantet atasannya. Sebab, tanpa "melumpuhkan" atasannya, Bernhard belum tentu bisa membobol Rp 1,4 milyar. Bendaharawan itu melakukan pembobolan kantornya dari Januari sampai November 1987. Caranya: mengerjai register D, buku kas untuk catatan keluar-masuk uang. Buku kas pembelian peralatan pos dan biaya rutin operasional itu diubah angkanya. Misalnya, pengeluaran yang hanya Rp 50 juta, ditulisnya Rp 150 juta. Atasannya konon meng-ACC saja. Maka, malang-melintanglah si Bernhard ini. Selama periode itu, 70 kali ia melakukan manipulasi. Tapi sepandai-pandai tikus mengerat, taring Bernhard ketahuan juga. Ketika dilakukan sidak pada Desember lalu, ulah Bernhard kelihatan belangnya. Sayangnya, ketika hendak ditangkap, ia kabur sembari membawa salah seorang dukunnya ke Hong Kong dan Macao. Uang Rp 400 juta ikut digondolnya. Tuluannya untuk apa lagi kalau bukan judi. Sebulan di sana, dukun dari Banten itu kurang tuah. Uangnya ludes, dan Bernhard Siregar kembali ke Jakarta. Sempat pulang ke kampungnya di Desa Muara, 500 kilometer dari Medan, akhirnya ia tertangkap di rumahnya di Johar Baru, Jakarta Pusat, 11 Februari silam. Kini Bernhard mendekam di Rutan Salemba. Berkasnya sudah sampai di tangan kejaksaan dua pekan lalu. "Kasus ini menarik. Kelihatannya judi, Porkas, dukun, dan korupsi jadi satu," ujar sumber TEMPO di Polda Metro Jaya. Melihat perawakan Bernhard yang kecil, ia terkesan cerdik. Lulusan Akademi Pos dan Giro Bandung itu tetap membungkam mulut ketika ditemui TEMPO. "Saya tidak mau diwawancarai saat ini. Tunggu saatnya akan saya ceritakan kepada Anda," katanya berkelit. Ia hanya bilang hidup dalam penjara itu tak enak. Ia tidak mengakui bahwa Porkas dan judilah yang menjebaknya ke penjara. Lain bagi Sahran bin Podo, 37 tahun, yang Senin pekan lalu diadili di Pengadilan Negeri Bogor. Ia mengaku jera main KSOB/TSSB. "Saya kapok, Pak. Kasihan anak-istri saya kelaparan," katanya kepada TEMPO. Rumah tangganya semula tenteram. Maklum, ia dipercaya mengelola 14 buah becak millk Imam Heryantin. Hasilnya lumayan. Sebab, per bulan ia cuma diminta menyetor Rp 78.400. Lalu, Sahran yang berasal dari Kudus itu kepingin cepat kaya. Ia pasang KSOB. Sekali pasang 40-60 kupon. Hasilnya blong. Pasang la gi, juga tak nyangkut. Terpaksa, uang setoran becak dipakainya. Uang setoran itu juga ludes. "Saya penasaran. Becak itu saya jual, setiap bulan satu, selama lima bulan," tutur Sahran, yang tubuhnya kurus tinggi. Ia pasang kupon KSOB tidak ngawur, "Pakai usaha," ceritanya pekan lalu. Hampir semua makam keramat yang ada di Jakarta dan Bogor sudah dijamahnya, tuturnya. Dan, bagaimana tak penasaran, katanya. Ketika ia bertapa di makam Cinere, dapat wangsit kode 2908. Ditombokinya 60 lembar kupon. "Eh, yang keluar 5908, apa nggak penasaran, Pak," kata Sahran bersemangat menggambarkan hadiah yang bakal diraupnya. Kemudian, karena penasarannya itu, ia mengundang pocong di makam Kebon Kosong Pangkalan Jati. Itu dilakukan dengan bertapa telanjang bulat. Dalam keadaan setengah sadar, pocong itu datang. "Saya nekat. Pocong itu langsung saya buka. Biasanya dalam pocong itu tergambar angka-angka," ceritanya. Tak masuk akal, 'kan? Tapi itulah kegilaan Sahran. Cerita selanjutnya? Nomor yang didapat hasil tapanya: 5100. Yang keluar 7100. Kecewanya luar biasa. "Selisih angka yang sedikit itu membuat saya penasaran terus-menerus," tutur bapak beranak dua yang tak pernah mengenal bangku pendidikan ltu. Ia mengaku memasang kode itu sejak Porkas dibuka, sampai Maret lalu. Dan tak pernah menang. "Saya berdosa, Pak, karena istri saya tak saya empanin. Kemarin istri saya datang ke pengadilan bilang dikejar-kejar pemilik rumah kontrakan. Dia butuh uang kontra kan...," katanya terbata-bata. Karena Porkas pula pemegang Kas BRI Unit Desa Gunung Tua, Padangsidempuan, Rahmad Syah Lubis, harus meringkuk di penjara dua tahun, plus denda Rp 500. ribu. Ia, oleh Jaksa A. Karim Akil, S.H., dituduh mengkorup Rp 15 juta lebih uang setoran Ongkos Naik Haji, setoran Simpedes, Tabanas, dan uang kas lain sejak 1985 sampai 1987. "Sebagian besar uang itu dibelikan Porkas, dengan harapan kalau Porkasnya kena dia bisa mengganti uang yang dikorupnya," kata Jaksa Karim Akil. Ternyata, kebiasaannya itu malah mencekiknya. Pasangannya selalu blong. Uang kas pun digerogotinya terus. Rahmad lantas bingung. Ia bermaksud menutup kas itu. Tapi caranya malah menjebaknya sendiri. Ia mengirim surat kepada atasannya, Pimpinan BRI Unit Gunung Tua, Lelo Hasibuan. Isinya mengabarkan kepergiannya ke Medan untuk meminjam uang kepada familinya buat menutupi kas BRI yang tekor. Tekor untuk apa? Lelo Hasibuan penasaran dan kemudian memeriksa buku kas yang dipegang Rahmad. Dari penelitiannya, kekurangan uang kas Rp 4 juta lebih. Namun, ketika disimak lebih jeli, terungkaplah uang yang diselewengkan Rahmad Rp 15 juta lebih. Rahmad pun ditahan. Kepada pcmeriksa ia mengaku tiap minggunya membeli KSOB dan TSSB Rp 100 - Rp 200 ribu. Hati dan mata Rahmad baru terbuka setelah ia meringkuk di tahanan. Anaknya masih kecil-kecil. Istrinya meninggal selagi ia ditahan. TSSB dan KSOB ternyata tak hanya menggebuk para pecandunya. Suami-istri Karno Hadikusumo, yang selama ini jadi pengecer KSOB/TSSB, di daerah Nusukan, Solo, terpaksa angkat tangan tak mau menjual kupon itu lagi. "Sava kapok jual kupon KSOB," kata Karno serius. Padahal, menurut pengakuan, setiap minggunya, hasil membuka agen KSOB itu mencapai Rp 200 ribu -- setelah dipotong gaji lima karyawannya. Ceritanya, pada penarikan KSOB ke-22 tanggal 29 Mei lalu, ada seorang membeli 4 kupon a Rp 600 dengan tebakan A-K-G-I-M. Tebakan itu jitu dan pemenangnya memperoleh hadiah Rp 8 juta. Karena statusnya sebagai pengecer, Karno membawa kupon itu ke Tjing Kiat, Kepala Agen AD-28. Setelah meneliti keabsahannya, Tjing Kiat meng-ACC. Tapi berhubung Tjing Kiat baru punya uang Rp 6,5 juta, maka kekurangannya ditomboki dulu oleh Karno. Nanti diperhitungkan belakangan, begitu kata Tjing Kiat. Yang penting, si penebak menerima hadiahnya. Karno setuju, hadiah dibayarkan. Sore harinya, Tjing Kiat menemui Karno dan mengatakan nomor yang cocok itu tindasannya selip. Artinya, hilang. Karno ngotot. Kupon itu jelas bukan selip di rumahnya, tapi di tempat lain. "Tugas saya, tindasan kupon yang cocok sudah saya serahkan pada agen," kata Karno, 39 tahun, kepada TEMPO. Karena tak ada kata sepakat, mereka -- Tjing Kiat, Karno, dan istri -- pergi ke Perwakilan KSOB Semarang di Jalan Majapahit. Di situ, suami-istri Karno malah dituduh memalsukan kupon. Pertengkaran tak terhindarkan. Buntutnya, "Buah dada saya diremas. Saya ditempeleng dan dibanting," cerita istri Karno. "Saya dihajar beramai-ramai hingga pingsan," tambah Karno. Suami-istri ini akhirnya diangkut ke rumah sakit Rumani, Semarang, dan kemudian dialihkan lagi dengan ambulans ke RS di Solo. "Seminggu saya terbaring di rumah sakit," kata Karno. Akhir kisah, Karno dan istri, lewat Pengacara Pramudya, S.H., akan menggugat Perwakilan KSOB di Semarang dan Kepala Agen AD-28. Ia berjanji tak akan menjadi agen KSOB/TSSB lagi, walaupun langganannya mendesak terus. Ia kembali ke profesi semula, membuka toko bahan bangunan lagi. Malunya, itu, . . . lho! Widi Yarmanto, Laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini