BEN Mboi harus bekerja lebih keras. ~Gubernur Nusa Tenggara
Timur ini menghadapi tantangan keras keadaa~n alam yang tidak
menguntungkan. Ada 10% dari 20 juta ha tanah kritis di Indonesia
terletak di daerahnya. Itu berarti 2 juta ha atau 40% dari
49.377 kmÿFD luas wilayah NTT.
Hanya 3 kabupaten -- Manggarai, Sumba Barat dan Ngada -- yang
bisa disebut "sedikit subur" sedang 9 kabupaten lain dinyatakan
rawan. Itulah sebabnya Ben gandrung pada penghijauan. Menyadari
tanah di wilayahnya sulit ditumbuhi tanaman pangan, ia
menganjurkan rakyat menanam tanaman perdagangan seperti kelapa,
kapuk, kemiri, jambu mente, coklat, cengkih.
Dengan tanaman keras yang bisa diperdagangkan, Ben berharap daya
beli rakyat bisa agak lebih tinggi, ia juga tak henti-henti
mengajak warganya bekerja keras. Tapi dengan ajakan tadi,
akhir-akhir ini muncul pembicaraan di NTT tentang adanya semacam
"kerja rodi" gaya Ben Mboi. Gubernur ini mencanangkan wajib
tanaman perdagangan bagi lembaga-lembaga pemerintah, lembaga
sosial, keagamaan dan pendidikan, juga perorangan. saik di
halaman rumah, kebun atau tanah kosong lainnya. Ini diperkuat
dengan Peraturan Daerah yang disetujui DPRD akhir bulan lalu.
Bahkan juga disetujui untuk membagikan bibit tanaman keras
kepada rakyat dengan cuma-cuma.
Persediaan Bibit Dimakan
Begitu pentingnya penghijauan di NTT, hingga Pekan Penghijauan
Nasional ke-19 dipusatkan di NTT dan dibuka Presiden Soeharto 17
Desember, 3 hari sebelum ulangtahun ke-21 provinsi ini. Kegiatan
ini dipusatkan di desa Bismar, antara Kupang-Baun di Kecamatan
Amarasi, Kabupaten Kupang. Sebelumnya, pertengahan bulan lalu,
dalam Kursus Penyuluhan Penghijauan di Nule, semua bupati juga
sudah wanti-wanti dipesan bahwa penghijauan, di samping
koperasi, merupakan syarat konduite baik bagi mereka. Setiap
desa dalam Pelita III ini juga, setiap tahun harus menghijaukan
30 ha tanahnya. "Dengan begitu, mudah-mudahan luas tanah kritis
di NTT sudah hijau dalam tempo 20 tahun," kata Gubernur. Jumlah
desa di sana 1.720 buah.
Malangnya, ada daerah yang sulit dihijaukan. Misalnya Kecamatan
Sabu Barat. "Masyarakat di sini percaya, bahwa menanam kembali
pohon lontar bisa mengakibatkan kematian anggota keluarga,"
keluh Camat Sanusi. Untunglah ada kepala desa yang menyumbangkan
tanah 25 ha untuk dihijaukan dengan turi, kelapa, pepaya.
Keadaan alam yang keras seperti itu merupakan penyebab.
kekurangan pangan yang parah, seperti yang lagi-lagi muncul
bulan lalu karena kegagalan panen akibat hama tikus awal tahun
ini. Hujan juga enggan turun. Bahkan di Sumba Timur, sampai
bulan ini masih kehausan. Di Kecamatan Lewa bibit padi
kekeringan dan hampir di seluruh daerah persediaan bibit padi
ludes buat dimakan sehari-hari.
Bantuan pangan sebagai penanggulangan bahaya kelaparan jangka
pendek, memang sudah berdatangan. Malangnya, untuk
menyampaikannya ke pelosok terlambat. Banyak jalan yang hanya
bisa dicapai dengan jalan kaki atau berkuda. Memang tidak mudah
mengajak rakyat bercocok tanaman pangan. Selain cara bercocok
tanam seperti di Jawa misalnya merupakan hal baru, masih banyak
kepala suku atau kepala adat enggan membagi tanah buat rakyat
kecil.
Hujan di NTT cuma 80 hari alias 3 bulan, selebihnya kemarau
panjang. Repotnya pula, studi mengenai tanah kering yang agak
lama menjadi gagasan pihak Universitas Nusa Cendana, sampai kini
belum ada hasilnya, sebab memang belum dimulai. "Studi itu akan
kami mulai tahun depan, sebab masih terbentur kesulitan tenaga
pengajar," kata Frans E. Likadja, Rektor Undana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini