SEBUAH surat pekan lalu dilayangkan ke alamat Presiden Soeharto. "Mereka tidak tahu lagi harus berbuat apa, karena seolah-olah mereka berhadapan dengan orang yang kebal hukum," begitu antara lain bunyi surat yang dikirim Pengacara Amir Syamsuddin. Ia mewakili 1.703 kk warga desa Kelurahan Pesawahan dan Kangkung, Kecamatan Telukbetung, Bandarlampung. Warga perkampungan nelayan itu memang tengah resah. Pasalnya, permukiman mereka di atas teluk terkepung proyek reklamasi pantai Telukbetung yang dikerjakan PT Bina Bumi Sagara. Akibat pengurukan, daerah itu seperti danau mati yang kumuh, berbau busuk, berdebu, dan bising oleh bunyi alat-alat berat proyek itu. Padahal, jauh sebelum proyek bernilai Rp 20 milyar itu dilaksanakan, warga desa di atas air itu tinggal turun ke perahu dan berlayar mencari ikan atau hasil laut lainnya. Sejak empat tahun lalu, laut, yang merupakan halaman rumah mereka, ditimbuni batu-batuan besar sedalam 2-3 meter. Areal seluas 255 ha ini dimaksudkan untuk menghubungkan pantai Telukbetung dan Pulau Pasaran bagi perluasan kota. Akibatnya, permukiman para nelayan di ujung teluk makin terdesak. Sebetulnya, warga kampung nelayan itu bersedia pindah. Gubernur Lampung telah membentuk Tim Pembina Pembebasan Tanah, September 1983, tiga bulan setelah izin Proyek Penimbunan Pantai Laut Telukbetung dikeluarkan. Kelompok yang dikenal dengan "tim sembilan" ini bertugas mencatat jumlah tanah dan bangunan, taksiran ganti rugi, dan pembayaran ganti rugi tersebut. Ternyata, sampai pekan ini, entah mengapa, tim itu belum melangkah lebih jauh. Datangnya tim sembilan ini tetap berupa janji. "Padahal, kami bersedia menjual permukiman kami. Tapi harus ada kesepakatan kalau belum, hendaknya proyek ini dihentikan dulu," kata Aziz Amrullah, salah satu dari empat juru bicara warga Telukbetung. Para nelayan belum sepakat pada harga yang ditentukan oleh PT BBS, yaitu pukul rata tiap bangunan diganti Rp 400 ribu. "Ganti rugi sebesar itu tidak wajar," kata Ambo Arief, wakil yang lain. Alasannya nilai bangunan itu berbeda-beda. "Ada yang bertiang cor dan berdinding tembok," tuturnya. Dengan gemas, karena tak puas dengan penentuan sepihak itu, pernah ratusan warga menumpang truk menuju kantor Wali Kota Madya Bandarlampung. Atas pengaduan ini, Wali Kota Madya 2 Juni lalu telah memberi peringatan pada PT BBS untuk menghentikan kegiatannya sementara. Ternyata, proyek reklamasi tersebut jalan terus. Kemudian, akhir Juni silam, empat wakil penduduk Telukbetung itu ke Jakarta menemui Amir Syamsuddin. Membawa uang Rp 50 ribu, mereka minta pertolongan lewat jalur hukum. Maka, dua surat dilayangkan lagi ke PT BBS dari pengacara ini. Isinya: peringatan agar PT BBS menghentikan kegiatan sampai persoalan ganti rugi dan lokasi permukiman diselesaikan. Dasarnya, UU Nomor 4 tahun 1982, tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Apa jawab pimpinan PT BBS ? "Proyek ini mempunyai izin yang lengkap dari pihak berwajib. Akan saya tunjukkan kalau ada polisi, aksa, atau tentara yang menanyakan," kata Tjik Din Singalaga. Ia tak peduli dengan peringatan dari pengacara itu. "Saya tidak bekerja untuk pembela itu. Biarkan saja surat teguran itu," ujarnya lagi. Istilah ganti rugi juga tidak bisa diterima Tjik. "Yang ada hanyalah jual-beli bangunan rakyat. Kalau mereka mau menjual, kita boleh berunding," katanya. Soal penyediaan lokasi untuk permukiman yang baru dianggap bukan bagiannya. Katanya, "Itu urusan pemerintah."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini