ISA, 22 tahun, kini cuma bisa menyesal. Keyakinannya semula, bahwa semua orang yang dianggap kafir harus dibantai, telah rontok. Rabu pekan lalu, remaja buta huruf yang dituntut hukuman pidana 7 tahun itu menyampaikan pembelaannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kepada TEMPO, mualaf yang sempat nyantri di Kampung Bulak, Ciledug, itu mengaku. "Sebenarnya, saya diperintahkan membunuh Duta Besar Amerika Serikat," katanya polos. Perintah itu datang dari tuan guru yang di Beutong Ateuh, Aceh. Maksudnya, Tengku Bantaqiyah, yang pada Mei lalu mencuat namanya karena sejumlah murid pesantrennya dengan memakai jubah putih melakukan pawai. Untuk itu, "Saya ikhlas berkorban nyawa, harta, dan jiwa untuk menegakkan kalimah Allah." Tapi berhubung kesulitan teknis, sasaran dialihkan kepada siapa saja, asal orang asing. Kini di kamar nomor 3 blok N Rutan Salemba, pemuda asal Desa Lambaru, Lempang Tiga, Sigli, ini sadar ajaran Bantaqiyah yang itu sesat. "Saya dijerumuskan Iskandar. Maka, nanti sekeluar dari Salemba, saya mau sikat dia," tutur pemuda berkulit hitam dan bercambang lebat itu. Iskandar kini ditahan pihak yang berwajib di Aceh karena keterlibatannya memimpin pawai pasukan berjubah itu. Isa, yang hanya sempat mengecap madrasah ibtidaiyah (setingkat SD) hingga kelas 2, semula datang ke Jakarta untuk belajar agama. Entah kenapa, ketika jadi tukang parkir di Cililitan, ia "diboyong" Ja'far kini tahanan di Polres Meulaboh dalam kasus jubah putih -- ke Kampung Bulak, 1986. Di situlah ia pertama kali kenal Iskandar dan Ismail Ahmad -- kini ditahan di Polres Sigli dalam kasus jubah pula. Mereka ditampung di rumah Syahnan Dalimunthe. Di situlah, sambil belajar mengaji tenaganya dimanfaatkan untuk ikut membangun masjid dan madrasah yang dicukongi oleh seorang bernama Heri. Rupanya, diam-diam Iskandar -- orang kepercayaan Tengku Bantaqiyah -- mempersiapkan pasukan berani mati. Sasarannya: membantai orang yang dianggap kafir. Yang dijadikan simbol dan sasaran pertama: Dubes AS di Jakarta. Pertemuan-pertemuan rahasia dilakukan, tanpa diketahui Kiai Dalimunthe. Setelah Iskandar kembali dari Aceh, Oktober 1986, rencana pun disusun. Dua hari kemudian, dengan berbekal golok, Isa, Iskandar, Ismail Ahmad, Nurdin, dan dua orang lagi yang dipanggil Tengku mendatangi rumah Dubes AS, 21 Oktober 1986. Rupanya, sang dubes tak kelihatan. Apa boleh buat, mereka berenam dipecah menjadi tiga. Mereka sepakat: hari itu darah harus tumpah. Isa dan seorang Tengku yang tak dikenalnya mendapat bagian ke blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di Jalan Melawai IX, di depan toko sepatu Bata, Isa melihat sepasang turis Belgia, Derious Werner dan Kooperberg Sophia. Sembari memekikkan Allah Akbar, ia pun mengayunkan goloknya, mengenai jari Sophia. Tebasan lain merobek perut kanan Derious Werner. Seorang satpam Pasaraya Sarinah Jaya, Soepardjo, pun dilukainya. Malah menurut Jaksa R.T.S. Siburian, Isa mencoba merebut tas milik Sophia. Tak ayal lagi, ia sebagai copet, dihajar massa. Di persidangan, Jaksa Siburian menilai, Isa sengaja melakukan percobaan pembunuhan. Dengan fanatisme aliran agama yang sesat, tingkah lakunya itu dianggap mengarah kepada penyesatan agama. Apalagi, penuntut umum menemukan fakta persidangan bahwa aliran ini bermuara pada aliran Bantaqiyah, yang telah dilarang Kejaksaan Tinggi Aceh, 1984. Agaknya, jaksa tidak mengaitkan kasus ini dengan peristiwa jubah putih di Sigli dan Meulaboh, Mei lalu. Bahkan, Iskandar pun tak pula ditampilkan sebagai saksi. "Kami kurang menemukan bukti kuat yang mengarah ke kasus itu. Maka, kami ajukan tuntutan pidana umum, bukan subversi," kata sumber TEMPO di kejaksaan. Agus Basri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini