SADIK, guru SD dan guru mengaji di Desa Donan, 40 km barat
laut Bojonegoro (Ja-Tim) mendadak sakit ingatan. Tak lama
kemudian Sahar, juga guru SD merangkap guru ngaji di desa itu
gila pula. Dua tahun lalu, Jaif, remaja 16 tahun yang dikenal
amat rajin bersembahyang dan mengaji, mendadak meninggal dunia.
Kiai Kustur yang mengajar mengaji di Donan sejak 1940 juga
meninggal mendadak setelah sebelumnya menderita sakit ingatan.
Kejadian-kejadian itu rupanya membuat penduduk Desa Donan yang
100o', heragama Islam itu mempercayai takhyul bahwa mengaji dan
bersemballyang memperpendek umur, paling sedikit gila.
Kepercayaan semacam itu rupanya berpangkal pada cerita mengenai
Ki Nerang Kusuma yang makamnya ada di dekat desa itu dan
dikeramatkan penduduk.
Ki Nerang Kusuma konon pelarian dari Kerajaan Pajang,
Ja-Teng, yang dikejar-kejar Kompeni. Menetap di Donan, ia
dikenal alim, suka mengaji, juga suka menanggap wayang kulit.
Lantaran disegani pengikutnya, tak seorang pun berani ikut-ikut
melakukan hal-hal yang dilakukannya seperti mengaji dan
sembahyang serta beternak sapi, domba atau itik.
"Siapa yang berani menyamai apa yang dilakukan Ki Nerang
Kusuma, bakal ditimpa musibah," cerita seorang penduduk. Karena
itu selain pantang bersembahyang dan mengaji, penduduk desa ini
juga tabu memelihara ternak hewan .
Karena itu ketika seorang dari luar desa ingin membayar
nazar dengan menyerahkan seekor kambing kepada juru kunci makam
Ki Nerang Kusuma, sang juru kunci tidak berani menerimanya.
Kambing itu akhirnya berkeliaran di Desa Donan (Kecamatan
Purwosari). Akibatnya penduduk panik. Mereka beramai-ramai
menggiring binatang itu keluar desa.
Tak lama kemudian angin kencang menyerang desa itu. "Sampai
sekarang kambing lewat pun tidak boleh," ujar Kepala Desa Donan,
Supadman, 50 tahun.
Tapi empat tahun lalu Lurah Supadman memberanikan diri
membelikan sepasang sapi, lantas diserahkan kepada Suwadji,
kamituwo (ketua RT) untuk dipelihara. Hasilnya enam bulan
kemudian Suwadji sekeluarga pergi ke Jakarta tanpa pamit. Di
kota besar itu kabarnya ia jadi linglung, lalu menjadi
gelandangan. Dan beberapa bulan kemudian sapisapi itu mati.
Meskipun Supadman sendiri tidak mengalami musibah apa-apa,
kejadian itu makin memperkuat ketakutan penduduk untuk
memelihara ternak.
Menurut modin desa, Sidik, 60 tahun, sebenarnya sudah lama
penduduk ingin sembahyang. "Tapi mereka selalu dihantui ol-eh
musibah yang dialami oleh orang-orang yang salat ," katanya.
Kepala Kantor Urusan Agama Purwosari, Maruki, juga sudah
mengadakan pendekatan-pendekatan lewat kepala desa, tapi belum
sempat memberi penyuluhan atau da'wah.
Hasib & Zaini
Untunglah, dua bulan lalu datang Abd. Hasib dan Moh. aini,
dua mahasiswa Fakultas Da'wah IAIN "Sunan Ampel" Surabaya
ber-KKN (kuliah kerja nyata) di Desa Donan. "Malah kebetulan,
rencana jadi klop," kata Marzuli. Tapi untuk mendekati
penduduk,cukup repot. "Mereka mau diajak salaman, tapi mukanya
dipalingkan," cerita Abd. Hasib.
Namun kedua mahasiswa itu tak mau mundur. Dengan bekal
gambaran keadaan desa yang sudah mereka dapatkan dari kecamatan
dan kabupaten sebelumnya, keduanya menyusun rencana.
Satu-satunya surau yang berukuran 6 x 5 meter di desa itu,
sejak didirikan 1965 tak pernah digunakan. Kotor dan berantakan.
Hasib dan Zaini, dua mahasiswa tadi, menjadikan surau ini
sebagai sasaran kerja pertama. Keduanya menata dan membersihkan
tempat ibadah itu. Penduduk yang menyaksikan kerja kedua
mahasiswa itu tampaknya tak begitu peduli.
Tapi ketika Hasib dan 7.aini membersihkan jalan dan
gang-gang di desa itu, penduduk datang membantu. Dan malam hari,
dengan bantuan kepala desa, mereka dikumpulkan. Kedua rnahasiswa
itu menjelaskan maksud kedatangan mereka, di samping juga
membicarakan beberapa hal tentang desa. Dua dari tiga penduduk
pedukuhan menerima kegiatan mahasiswa itu dan bersedia menyuruh
anak-anak mereka diajari mengaji dan bersembahyang. Tapi satu
dukuh lainnya tetap enggan belajar mengaji dan bersembahyang.
Mereka hanya menerima kegiatan non-agama dan mengajak kedua
mahasiswa itu membangun jembatan.
Pekan lalu sudah 125 penduduk desa bcrsembahyang jamaah,
sehingga surau desa yang kecil itu penuh sesak. Kepala KUA
Purwosari, Marzuki, yang menjadi khatib dan imam. Bupati
Bojonegoro Drs. Soejono sudah dua kali bersembahyang Jumat
bersama para pejabat kecamatan di Desa Donan.
Takut Sembahyang
Soejono malah menjanjikan membangun sebuah masjid yang lebih
besar. "Kami sudah siapkan tanahnya," kata Supadman. Yang
dibutuhkan kini seorang guru agama. "Saya sudah menyediakan dana
untuk itu," kata Marzuki. "Dan saya sanggup menyediakan
perumahan," tambah Supadman menimpali.
Anak-anak di desa itu kini diajari mengaji oleh Sumarno. Ia
berasal dari Sumberejo, desa tetangga Donan. Kebetulan ia
menikah dengan gadis Donan. Tapi sebelum bertemu dengan Hasib
dan 7aini, ia sendiri ikut-ikutan tidak berani mengaji dan
bersembahyang.
Kepala desa dan modin Desa Donan juga mengaku baru
bersembahyang lagi setelah kedatangan kedua mahasiswa IAIN itu.
Begitu pula puluhan penduduk lainnya. "Padahal di sini banyak
penduduk yang berpuasa dan membayar zakat fitrah," kata Modin
Sidik.
Adapun kedua mahasiswa IAIN itu, setelah sebulan ber-KKN di
Donan, kini hanya seminggu sekali sempat menjenguk jamaahnya.
Tapi ada beberapa penduduk desa itu yang ingin memperdalam soal
agama dengan cara berkunjung ke pondokan Hasib dan Zaini di
Surabaya.
Dengan luas 4 km persegi, desa itu memiliki 216 ha sawah dan
40 ha tegalan, areal selebihnya berupa hutan milik Perhutani.
Semua penduduknya yang berjumlah 1.710 jiwa (330 kk) mengaku
beragama Islam. Mata pencaharian warganya sebagian bertani,
sebagian lagi buruh tani. Di sini hanya ada sebuah SD. Satu SD
lagi masih dalam persiapan pembangunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini