Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR setiap hari Hendarman Supandji pulang larut malam. Begitu pula Selasa dua pekan lalu. Lelah dikuras kerja bertumpuk, Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu menyalakan televisi di kamar tidur, sambil menunggu kantuk.
Hingga tengah malam, mata Hendarman belum terpejam. Tiba-tiba, siiirrr…, ada butiran kecil jatuh ke atas rambutnya. ”Paling juga kerikil,” pikir Jaksa Agung Muda Pidana Khusus di Kejaksaan Agung itu.
Dia tak peduli. Eh, jatuh lagi di bahu, di lengan, di mana-mana. Tapi kantuknya juga semakin berat. Dia tak begitu acuh. Cuma, kok aneh, benda jatuh itu terasa hidup, menggeliat, menjalar….
Hendarman menoleh. Astaga! Benda jatuh itu ternyata ulat, belatung sebesar kepala korek api. Beberapa ekor bahkan sudah menari dan menggeliat di lengan dan bahunya. Alamak!
Pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah, itu terkejut dan menepiskan makhluk melata yang biasanya suka merubung bangkai itu. ”Dari mana asalnya?” ia berpikir. Begitu memandang plafon kamarnya, Hendarman melompat dari tempat tidur. Di sana sudah bergelayutan ratusan, mungkin ribuan, belatung yang siap ”menetes” ke kasur.
Mula-mula Hendarman masih berusaha mengibaskan ulat-ulat itu ke sana kemari. Lama-lama dia kewalahan, pindah ke kamar lain, dan syukurlah, bisa tidur dengan aman. Pria 58 tahun itu memang tinggal sendirian di rumah dinas Kejaksaan Agung di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, itu sejak delapan bulan lalu.
Istrinya, Dr Sri Kusumo Amdani, dan anak-anaknya memilih tinggal di rumah pribadinya. ”Pekerjaan saya menumpuk, tidak mungkin saya selesaikan jika berkumpul keluarga,” kata Hendarman.
Di rumah dinas itu ia ditemani delapan pengawal, yang disediakan negara untuk menjaganya dari segala jenis teror. Tapi, menghadapi teror belatung ini, toh mereka tak berdaya.
Esoknya, Hendarman memanggil pengawal. ”Coba periksa kamar saya dan plafonnya,” katanya. Beberapa pengawal langsung melongok kamar tidur. Seorang di antaranya naik ke atas plafon: siapa tahu ada bangkai tikus yang memancing belatung. ”Bersih, Pak, tidak ada apa-apa,” pengawalnya melapor. Pasukan belatung itu lenyap tak bersisa.
Aneh, memang. Plafon dari tripleks itu jelas rapat tak berlubang. Tapi Hendarman tak ambil pusing. ”Toh, ini bukan yang pertama kali,” katanya. Lho, sudah pernah sebelumnya? Hendarman ogah bercerita. Dia bahkan mengaku menyesal keceplosan menceritakan kejadian itu kepada wartawan.
Usai bertemu Presiden melaporkan langkah-langkah pemberantasan korupsi, seorang wartawan bertanya apakah dia pernah mendapat ancaman. ”Saya kok ya keceplosan ngomong soal belatung itu,” katanya.
Setelah cerita itu dimuat di berbagai media, Hendarman menyesal. Ada pihak yang memberi sokongan agar dia kuat, tetapi ada juga yang mencemoohnya. ”Sepertinya kok saya cengeng menghadapi begitu saja,” katanya.
Hendarman tetap menolak kejadian aneh itu dianggap sebagai santet yang dikirim untuk menerornya. Padahal, banyak juga yang mengaitkan ”operasi belatung” itu dengan sepuluh kasus korupsi besar yang sedang ditanganinya.
Sebetulnya, Hendarman tak perlu merasa cengeng berbagi cerita aneh ini kepada publik. Kejadian tak masuk akal seperti itu banyak dialami para jaksa lain selama bertugas. Sekretaris Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Barman Zahir, misalnya, membagi pengalaman anak buahnya saat bertugas sebagai jaksa tinggi di Jambi.
Kejadiannya dua tahun lalu, ketika Basyuni, anak buah Barman, menangani kasus korupsi pejabat Pemda Muara Tuwo, Jambi. Basyuni mengaku setiap tengah malam didatangi, kemudian dicekik, makhluk setinggi loteng rumahnya. Kejadian itu terus berulang selama hampir tiga bulan.
Basyuni merasa terancam terus. Setiap datang ke kantor, wajahnya pucat karena kurang tidur. Akhirnya, ”Kami rapatkan, lalu Basyuni saya pindah ke Bandung,” Barman bercerita. Di tempatnya yang baru, makhluk itu tak lagi muncul—entah karena kehilangan alamat Basyuni.
Barman sendiri pernah mengalami hal aneh ketika bertugas sebagai jaksa tinggi di Bali, setahun lalu. Setiap masuk kantor, dia merasakan gerah dan bulu kuduknya berdiri. Paranormal yang diundangnya menemukan abu yang ditebar di kursi kerjanya.
Menurut analisis sang paranormal, sih, pengirim abu tidak bermaksud mencelakakan Barman. ”Cuma supaya saya punya belas kasihan terhadap kasus yang dihadapi pengirim abu itu,” kata Barman, mengulangi ”tesis” sang paranormal.
Ketakutan terhadap ancaman yang tak kasatmata itu membuat aparat kejaksaan sering kali menolak santapan atau minuman yang tersedia di kantor. Barman tak sampai begitu. Tapi dia bertindak ekstrahati-hati, termasuk ketika memesan makanan dari luar. ”Yang kita suruh membeli harus orang yang kita percaya,” katanya.
Kisah-kisah di luar nalar di lingkungan kejaksaan pernah juga dialami Marzuki Darusman, Jaksa Agung pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Menurut orang dekatnya saat itu, hawa ruang kerja Jaksa Agung menjadi supergerah. Pendingin ruangan pun tak berhasil menyejukkan hawa.
Menurut sumber itu, paranormal yang diundang menemukan beberapa ”kantong energi” yang tidak wajar, yang kemudian mereka singkirkan. Ruang Jaksa Agung kembali nyaman. Tapi, katanya, Marzuki Darusman sendiri tak menanggapinya dengan serius, bahkan menolak itu disebut santet.
Menanggapi berbagai kisah di seputar lingkungan kerjanya, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh bergeming. ”Dukun dan tukang santet tidak akan mempan dengan Kejaksaan Agung,” katanya. Abdul Rahman mengaku tak percaya kekuatan semacam santet, apalagi hingga mempengaruhi kinerja aparatnya. ”Ah, tidak bakal mempan,” katanya, sembari tertawa kecil.
Tapi, mungkin ada baiknya mencontoh mantan Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, Soehandoyo. Pria yang memasuki masa persiapan pensiun ini saat bertugas di Padang, Sumatera Barat, menyeret 43 anggota DPRD yang terlibat korupsi APBD 2002 senilai Rp 5,9 miliar.
Meski tak percaya pada teluh-meneluh, ketika menghadapi kasus penting, ”Saya tidak akan tidur sebelum jam 12 malam,” katanya. Sebab, menurut nasihat orang tua-tua, teluh bekerja menjelang tengah malam, ketika korban tertidur pulas. ”Itu cuma katanya, saya ikuti saja, dan buktinya saya tidak pernah kena begitu-begituan.”
Agung Rulianto, Maria Hasugian, Mawar Kusumah, Maria Ulfah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo