Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teka-teki selama setahun lebih itu berakhir sudah. Sepucuk surat yang dikirim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke DPR pada awal pekan ini akan mengakhiri spekulasi panas yang selama ini beredar. Surat yang ditunggu-tunggu para politisi di Senayan ini akan menjelaskan siapa sebenarnya calon panglima TNI pilihan Istana, pengganti Jenderal TNI Endriartono Sutarto.
Surat dari istana itu tak ubahnya jawaban Presiden atas desakan DPR agar segera menyorongkan tentara pilihannya ke parlemen. Kepastian baru diberikan Presiden saat bertemu informal dengan Ketua DPR Agung Laksono di Istana Merdeka, akhir Desember lalu. SBY memastikan, nama kandidat Panglima TNI akan diajukan seusai reses DPR berakhir, pekan ini agar segera dibahas di Komisi Pertahanan Parlemen.
Purnawirawan bintang empat itu beralasan, perpanjangan masa tugas Jenderal Sutarto sebagai panglima berakhir pada 31 Desember 2005, bersamaan dengan berakhirnya proses penarikan dan pemusnahan senjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan penarikan pasukan TNI non-organik dari Aceh. Presiden juga mengingatkan, urusan pergantian Panglima TNI tak usah dipolitisir. ”Presiden yang berkepentingan dengan kapan penggantiannya. Akan saya laksanakan sesuai dengan konstitusi dan jangan dikaitkan dari segi politik. Saya tidak mau didikte memilih ini-itu,” ujarnya.
Agak susah untuk menyebut urusan ini tak berbau politik. Urusan pergantian Panglima TNI Jenderal Sutarto pada November 2004 lalu berujung pada konflik presiden dengan parlemen. Sampai kini, pertanyaan siapa yang diusulkan Presiden untuk mengganti Sutarto selalu mengundang spekulasi.
Sutarto, jenderal kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, 29 April 1947 ini seharusnya pensiun pada 2002. Karena Panglima TNI, dia mendapat perpanjangan dinas hingga 30 April 2007. Sesuai dengan Pasal 53 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, usia dinas perwira maksimal 58 tahun dan dapat diperpanjang hingga usia 60 tahun.
Saat memasuki usia 57 tahun, Sutarto mengajukan pensiun namun ditolak presiden, saat itu Megawati, dengan alasan pemilu. Permohonan Sutarto baru disetujui pada 8 Oktober 2004, beberapa hari sebelum SBY dilantik menjadi presiden. Megawati lantas berkirim surat ke DPR dan mengusulkan Jenderal Ryamizard Ryacudu, Kepala Staf Angkatan Darat waktu itu, sebagai penggantinya.
Sepekan setelah dilantik, tiba-tiba SBY mengirim surat ke DPR, yang intinya mencabut surat Presiden Megawati. Padahal surat Mega itu sudah diproses di parlemen. Politisi Senayan marah dan mengajukan hak interpelasi. Untuk mendinginkan suasana, Presiden berembuk dengan DPR. Keduanya bersepakat, Presiden akan mengajukan calon panglima lagi ke DPR.
Selama setahun, berulang kali DPR menagih janji Presiden agar mengajukan pengganti Sutarto. Apalagi, sejak Februari 2005, Mabes TNI sudah mengajukan empat nama sebagai kandidat. Pengajuan itu satu paket dengan pergantian kepala staf angkatan. Tapi Presiden hanya mengganti kepala staf angkatan, sedang jabatan Panglima TNI masih diperpanjang hingga akhir 2005. ”Kesannya ada perwira yang ditolak,” kata pengamat politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Kusnanto Anggoro.
Aroma pertarungan politik kian terasa ketika pekan lalu Fraksi PDIP tetap minta Presiden menyorongkan lagi nama Ryamizard Ryacudu sebagai calon Panglima TNI. ”Dari segi senioritas, integritas, dan komitmen menjaga keutuhan, kualitas Ryamizard tetap unggul,” kata Tjahjo Kumolo, Ketua Fraksi PDIP.
Nama Ryamizard lalu diusulkan Mabes TNI bersama tiga kepala staf angkatan. Mereka adalah Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Djoko Santoso, Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Slamet Soebijanto, dan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Djoko Suyanto. UU TNI tetap membolehkan bekas kepala staf angkatan menjadi panglima TNI asalkan masih aktif dan belum pensiun.
Masalahnya, ketentuan undang-undang mengharuskan Presiden mengajukan calon tunggal ke DPR. Karena itu, menurut juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng, Presiden perlu mempertimbangkan perjalanan karier dan kinerja para perwira bintang empat selama mereka menjadi kepala staf. Menurut Andi, pertimbangan itu dilakukan cermat mengingat penunjukan panglima TNI adalah hak prerogatif presiden ”Dan dari sekian calon, tentu dipilih yang terbaik,” kata Andi.
Dari keempat kandidat itu, KSAD Djoko Santoso dinilai punya kans besar. Dia dianggap lebih unggul kinerja dan usianya dibandingkan ketiga calon lainnya. Apalagi Djoko, menurut Kusnanto Anggoro, tergolong ”orang dekat” Presiden. Lulusan Akabri Darat 1975 itu pernah menjadi Wakil Asisten Sosial Politik semasa Yudhoyono menjadi Kepala Staf Sosial dan Politik (Kassospol) maupun Kepala Staf Teritorial (Kaster) TNI.
Dari keempat kandidat panglima, pria kelahiran Solo ini paling muda. Ia 53 tahun, sementara KSAU Djoko Suyanto 55 tahun, KSAL Slamet Subijanto 54 tahun, dan mantan KSAD Ryamizard 56 tahun. Dari sisi tahun kelulusan akademi, Djoko juga lebih muda dua tahun ketimbang ketiganya. Menurut sumber Tempo yang dekat dengan SBY, meski Presiden menginginkan Djoko Santoso, resistensi terhadap upaya mengorbitkan Djoko amat besar. ”Terutama dari parlemen.”
Sempat tersiar kabar, Djoko telah disiapkan menjadi pengganti Sutarto begitu perpanjangan masa tugas Sutarto berakhir. Jika itu terjadi, Ryamizard hanya menanti pensiun, 21 April nanti. Namun skenario Istana agaknya berubah, menyusul reaksi keras para perwira dan sesepuh TNI garis keras yang tetap menyokong Ryamizard. ”Sebab, tidak mungkin ada dua kandidat Angkatan Darat dalam satu pencalonan,” ujar sumber Tempo yang mantan anggota tim sukses SBY ini. Apalagi Ryamizard, lulus Akabari Darat 1974, dinilai lebih senior. Soal usianya yang sudah hampir memasuki masa pensiun, toh Presiden bisa memperpanjangnya.
Sumber lain di Istana menyebut Yudhoyono sebenarnya tak berkeberatan dengan Ryamizard. Belakangan skenario berubah terutama karena Ryamizard dinilai tak mendukung kesepakatan damai Aceh di Helsinki. Faktor kedekatan Mizard dengan Megawati juga menjadi perhitungan.
Karena itu muncul skenario baru: menyiapkan KSAU Djoko Suyanto sebagai jalan tengah. Toh, Suyanto juga kawan dekat SBY dan dijagokan banyak pihak. Pertimbangan lain: dalam sejarah TNI, belum ada Panglima TNI dari Angkatan Udara.
Pasal 13 ayat 3 UU TNI memang memungkinkan Panglima TNI dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjadi kepala staf angkatan. Boleh jadi, langkah Suyanto bakal mulus. Mantan KSAU Marsekal Chappy Hakim, sebelum turun jabatan, pernah secara terbuka meminta ”jatah” panglima TNI untuk angkatannya. ”Sebaiknya posisi panglima TNI Sekarang ada di tangan TNI Angkatan Udara,” ujarnya.
Dalam setahun terakhir, Djoko Suyanto memang mengorbit. Mantan Asisten Operasi KSAU ini mendapat tiga bintang hanya satu jam menjelang promosi menjadi KSAU. Meski begitu, sejumlah purnawirawan tetap berharap, pucuk pimpinan TNI tetap dipegang Angkatan Darat. Belakangan muncul usul untuk menghidupkan lagi wakil panglima. Posisi ini, menurut sumber Tempo, akan diberikan kepada Djoko Santoso.
Tapi kritik keras datang dari Kusnanto Anggoro. Menurut dia, posisi Wakil Panglima TNI saat ini tak ada gunanya. Fungsi itu toh sudah ada di kepala staf angkatan. ”Jadi, wakil panglima lebih berfungsi administratif,” ujarnya.
Menurut Kusnanto, skenario yang paling baik adalah menunjuk KSAU Djoko Suyanto menggantikan Sutarto. Jika itu dilakukan, KSAU akan menjabat sampai tahun 2007-2008, saat ia memasuki pensiun. Selebihnya, KSAU akan digantikan KSAD Djoko Santoso pada 2008. Itu waktu krusial menjelang Pemilu 2009. ”Djoko dinilai paling menguntungkan bagi Presiden karena ada ikatan personal antara keduanya,” ujarnya. ”Harus diakui, keinginan Yudhoyono mencalonkan diri kembali tahun 2009 menjadi faktor penentu.”
Yang jelas, jalan masih panjang. Setelah usul tentang calon pengganti Panglima TNI dikirim ke legislatif, usul itu akan disampaikan ke Komisi Pertahanan. Di Komisi itu, menurut Ketua Komisi Pertahanan Theo Sambuaga, calon Panglima TNI akan diwawancarai dan diteliti kepribadian, integritas, moralitas, visi, dan misinya. Setelah itu, Komisi akan memberikan keputusan setuju atau tidak dengan calon yang diajukan. ”Baru akan ditetapkan dalam paripurna. Hasilnya itu yang akan dikirim ke Presiden,” ujarnya.
PDIP dipastikan akan ngotot mengajukan Ryamizard. ”Kami akan menginstruksikan fraksi agar tetap menjagokan Ryamizard,” kata Firman Djaya Daeli, salah satu Ketua PDIP. ”Di luar itu akan kami tolak.”
Widiarsi Agustina, Dimas Adityo, Wahyu Dhyatmika
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo