Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebenarnya Marceila da Cruz, 57 tahun, sudah capai hidup susah jauh dari keluarga. Belum lama ini anak sulungnya, Anthoni da Cruz, bersurat, minta dia pulang ke Timor Leste berkumpul dengan keluarga.
Tapi pikirannya berubah setelah tiga orang mantan milisi pro-integrasi—Stanis Maubere, Jose Mausorte, dan Candido Mariano—ditembak mati, Jumat dua pekan lalu.
Sebenarnya, sejak pemerintah pusat menghentikan seluruh bantuan dan mencabut status pengungsi awal Januari lalu, Stanis, Jose, dan Candido telah ditetapkan sebagai penduduk di sana. Sayang cuma lima hari mereka mengecap status baru—meninggalkan luka di hati rekan-rekan eks milisi mereka.
”Yang baru langgar batas Timor Leste saja ditembak mati. Apalagi saya yang sudah lama berjuang untuk integrasi,” ujar Marceila. Di Timor Leste, namanya tercatat sebagai salah satu pelanggar hak asasi manusia.
Marceila mengungsi ke Betun, Kecamatan Malaka Tengah, Belu, seusai jajak pendapat pada 1999. Mula-mula istri dan anak-anaknya ikut. Tapi kemudian mereka memutuskan untuk pulang. Kini, ia tinggal sendiri di rumah daruratnya yang beratap daun pohon gewang dengan dinding papan bekas dan lantai tanah.
Marceila, yang asli Kasa, Distrik Ainaro, bukan satu-satunya eks milisi yang takut pulang. Menurut Uskup Atambua, Mgr Anton Pain Ratu, SVD, ada banyak lagi yang seperti dia. ”Banyak di antara mereka bertangan kotor,” ujarnya. Maksudnya, terlibat aksi berdarah pascajajak pendapat 1999.
Menurut Mgr Anton, harus ada jaminan keamanan dari Presiden Kay Rala Xanana Gusmao agar mereka bisa pulang. ”Beri mereka amnesti,” ujarnya. Dia prihatin dengan kehidupan para pengungsi eks milisi. Sudah susah, banyak masalah lagi. Pemberian amnesti, menurut Uskup, akan merangsang para eks milisi mengikuti program repatriasi.
Tapi soal pulang kini tak sederhana lagi. Sebagian eks milisi telanjur skeptis. Bayang-bayang buram di masa konflik dan ketakutan akan balas dendam warga saja sudah membuat mereka kecut. Ditambah penembakan tiga rekan mereka, ribuan eks milisi yang menetap di NTT semakin tak berani pulang.
”Kami sudah pesimistis. Setiap kali mau menggelar rekonsiliasi, selalu terjadi pembunuhan,” kata Fransisco Soares Pareira, tokoh pejuang integrasi Tim-Tim sejak 1975 yang kini menetap di Atambua, ibu kota Belu.
Philipus Parera dan Jems de Fortuna (Belu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo