Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SURAT panggilan pemeriksaan untuk delapan perwira polisi itu hanya dilayangkan sekali oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ke Markas Besar Kepolisian RI. Penyidik KPK membutuhkan konfirmasi dari para polisi yang pernah bertugas di Kepolisian Daerah Sumatera Selatan itu atas kesaksian Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian tentang adanya suap di sana.
Para perwira itu tak pernah memenuhi pemanggilan KPK hingga waktu penahanan Yan Anton hampir habis pada Desember lalu. Karena itu, penyidik KPK melimpahkan berkas pemeriksaan bupati berusia 33 tahun ini ke pengadilan tanpa pengembangan dugaan suap tersebut. "Pemanggilan ulang sempat dibahas, tapi tak memungkinkan karena perkara harus segera dilimpahkan," kata Febri Diansyah, juru bicara KPK, Kamis pekan lalu.
Sebagian dari delapan perwira polisi itu masih bertugas di Polda Sumatera Selatan. Sisanya sudah dimutasi. Satu di antaranya Inspektur Jenderal Djoko Prastowo, mantan Kepala Polda Sumatera Selatan. Djoko dimutasi menjadi Analis Kebijakan Utama Bidang Sosial-Ekonomi Staf Kepala Polri per 12 Desember 2016.
Yan Anton diperkirakan mulai diadili pada Januari ini. Ia bakal didakwa menerima suap sekurang-kurangnya senilai Rp 1 miliar dari Direktur CV Putra Pratama, Zulfikar Muharrami. Yan mengiming-imingi Zulfikar proyek di Dinas Pendidikan Banyuasin dengan syarat setor uang pelicin. Penyidik KPK yang menguping persekongkolan tersebut menangkap Yan pada 4 September 2016 di rumah dinasnya di Banyuasin, Sumatera Selatan.
Dalam pemeriksaannya di KPK, perkara jadi melebar. Rupanya, bukan hanya Zulfikar yang pernah menyetorkan suap proyek. Yan dikabarkan kerap meminta anak buahnya di dinas-dinas menjajakan proyek kepada para pengusaha. Balasannya, para pengusaha diminta menyerahkan fee hingga 15 persen dari nilai proyek.
Salah satu praktek culas Bupati Yan Anton diungkapkan Merki Bakri, mantan Kepala Dinas Pendidikan Banyuasin. Saat bersaksi di sidang dengan terdakwa Zulfikar Muharrami di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang pada awal Desember lalu, Merki mengaku diminta Yan lewat orang dekatnya mencari Rp 2,5 miliar untuk keperluan pribadi sang Bupati.
Merki lalu menghubungi Reza Pahlevi, anggota staf Dinas Pendidikan Banyuasin yang dikenalnya dekat dengan sejumlah pengusaha, untuk mengumpulkan uang proyek. Pengusaha yang setuju dengan "skema" korupsi itu dijanjikan bakal mendapat proyek pengadaan buku pelajaran sekolah dasar dan sekolah menengah pertama pada tahun anggaran 2014.
Singkat cerita, duit terkumpul dan Merki meneruskannya kepada orang dekat Bupati Yan. Tapi, hingga setahun kemudian, proyek yang dijanjikan Merki tak kunjung turun. Merki malah dipindahkan posisinya menjadi Asisten III Bidang Administrasi Umum. Merasa tertipu, Reza mengadukan Merki ke Polda Sumatera Selatan. "Karena uang itulah saya dilaporkan Reza ke polisi sehingga saya ditahan," kata Merki di persidangan.
Merki ditahan pada akhir Juli 2016. Tak sampai sebulan menghuni bui, ia dilepaskan berkat "pertolongan" Yan Anton. Sang Bupati ditengarai menyiramkan uang ke sejumlah perwira polisi di Polda Sumatera Selatan agar perkara Merki tak bergulir ke pengadilan.
Bagi-bagi uang itu diungkap Yan kepada penyidik KPK ketika diperiksa sebagai tersangka suap dari Zulfikar Muharrami. Sejumlah saksi lain menguatkan pengakuannya. Fakta lain yang terungkap kian mengukuhkan Yan doyan tebar uang untuk menutupi kejahatannya.
Ia mengaku tak hanya memberikan suap kepada polisi di Direktorat Reserse Kriminal Umum, yang menangani kasus dugaan penipuan Merki Bakri, tapi juga di Direktorat Kriminal Khusus, yang berwenang menyidik kasus korupsi. Untuk Direktorat Kriminal Khusus, Yan diduga memberikan besel untuk mendapat surat yang menerangkan bahwa perkara dugaan korupsi yang berpotensi menyeretnya telah ditangani polisi dan tak ditemukan pelanggaran pidana.
Surat tersebut bisa menjadi modal Yan ketika berhadapan dengan aparat hukum dari lembaga lain yang menyelidiki kasusnya. Berdasarkan penelusuran, Yan dilaporkan dalam beberapa kasus.
Dari runutan peristiwa dan pengakuan Yan itulah KPK melayangkan surat untuk delapan perwira polisi tersebut. Mereka yang dipanggil adalah polisi yang pernah bertugas di Direktorat Kriminal Khusus Polda Sumatera Selatan.
Djoko Prastowo tak ada di ruangannya di Mabes Polri ketika didatangi pekan lalu untuk dimintai konfirmasi tentang pengakuan Yan. Seorang petugas mengatakan Djoko belum aktif dalam posisi barunya sejak dimutasi pada Desember lalu.
Melalui telepon kepada Dewi Suci dari Tempo, Djoko akhirnya menanggapi tuduhan itu. Ia hanya berkata, "Enggak tahu." Ihwal pemanggilan, Djoko mengatakan tak pernah menerima surat KPK sehingga tak datang untuk diperiksa.
Ajun Komisaris Besar Hari Brata, perwira lain yang dipanggil KPK, mengatakan hal yang sama seperti pernyataan Djoko. Ia menyatakan "tidak pernah" menerima surat pemanggilan dari KPK soal pengakuan Bupati Yan Anton tentang pemberian suap.
Yan Anton masih ditahan di penjara KPK. Pengacaranya, Heru Widodo, mengatakan, dalam pemeriksaan kliennya, ia tak pernah mendengar Bupati Yan mengaku menebarkan suap ke polisi. "Tapi enggak tahu kalau ketika diperiksa sebagai saksi untuk tersangka lain," ujarnya. "Karena saat itu saya tidak mendampingi."
DI Markas Besar Kepolisian RI, pemanggilan para perwira polisi oleh KPK menimbulkan riak. Sejumlah perwira dikabarkan memprotes Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian, yang dianggap tak melindungi anak buah. Para perwira itu, terutama perwira menengah, merasa KPK kembali mengobok-obok institusi mereka.
Protes itu direspons Tito dengan menerbitkan telegram rahasia Kepala Polri bernomor KS/BP-211/XII/2016/DIVPROPAM tertanggal 14 Desember 2016, yang ditandatangani Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Idham Azis. Pada tanggal itu, KPK melayangkan surat panggilan kepada Djoko Prastowo dan kawan-kawan untuk diperiksa pada pekan ketiga Desember.
Ada dua perintah Kepala Polri dalam telegram tersebut: soal pemanggilan polisi oleh penegak hukum lain dan penggeledahan di markas polisi. "...agar melalui izin Kapolri up. Kadivpropam di tingkat Mabes Polri dan Kapolda up. Kabidpropam di tingkat polda. Ulangi, agar melalui izin Kapolri up. Kadivpropam dan Kapolda up. Kabidpropam," demikian perintah dalam telegram itu.
Penggeledahan lazim dilakukan untuk mencari alat bukti manakala kasus sudah dalam tahap penyidikan. KPK pernah menggeledah kantor polisi ketika mengusut korupsi simulator kemudi di Markas Korps Lalu Lintas Polri pada 2012. Peristiwa itu memicu gesekan KPK dengan Polri dan berujung pada kriminalisasi terhadap Novel Baswedan, penyidik utama perkara yang melibatkan Kepala Korps Lalu Lintas Polri saat itu, Inspektur Jenderal Djoko Susilo.
Menurut Tito Karnavian, telegram rahasia itu hanya ditujukan untuk kalangan internal Polri, bukan penegak hukum lain seperti KPK. Seorang atasan, kata dia, harus mengetahui tindakan anak buahnya, termasuk saat mereka diperiksa penegak hukum lain dalam sebuah perkara. Tito tak secara spesifik menyebut maksud pernyataannya sebagai pemanggilan anggota dan bekas pejabat Polda Sumatera Selatan oleh KPK.
Ihwal penggeledahan, Tito menyatakan hal itu untuk mencegah dokumen di kepolisian yang tak terkait dengan kasus ikut disita. "Kalau yang mau diminta, diperiksa, dokumen A, jangan sampai yang diminta dokumen B, C, D, E," katanya kepada Diananta P. Sumedi dari Tempo di Kalimantan Selatan, dua pekan lalu. Polisi, menurut sejumlah penegak hukum, merasa kecolongan saat KPK menyita sejumlah dokumen ketika menggeledah Markas Korps Lalu Lintas dalam kasus simulator kemudi.
Polisi juga bergerak cepat memeriksa Djoko Prastowo dan kawan-kawan. Dari delapan polisi, tujuh sudah ditanyai pada akhir Desember lalu. Djoko Prastowo termasuk yang hadir dalam pemeriksaan oleh Divisi Profesi dan Pengamanan tersebut. "Berita acara pemeriksaannya akan kami serahkan ke KPK," ujar Tito.
Polisi enggan membuka hasilnya. "Itu substansinya," kata juru bicara Polri, Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar. "Intinya dari sangkaan korupsi Bupati di Sumsel. Kan, mereka diminta untuk jadi saksi di KPK."
KPK agaknya menyerah terhadap situasi pelik menghadapi polisi ini. Menurut Febri Diansyah, KPK tak memanggil mereka lagi hingga berkas penyidikan Bupati Yan dilimpahkan ke pengadilan. "Untuk kasus dengan tersangka yang sudah dilimpahkan dan akan disidangkan, kecil kemungkinannya dipanggil lagi," ujarnya.
Sebenarnya penyidik KPK punya banyak waktu memeriksa delapan polisi tersebut. Penyidik berencana memeriksa mereka jauh sebelum Desember. Namun seorang pejabat KPK meminta pemeriksaan ditunda dengan alasan berkoordinasi dengan Polri lebih dulu.
Saat muncul desakan karena waktu penyidikan sudah mepet, barulah panggilan pemeriksaan disetujui. Setelah surat panggilan dikirimkan dan kedelapan polisi mangkir, penyidik tak punya waktu mengirimkan panggilan kedua dan ketiga.
Menurut undang-undang, masa penahanan tersangka sebelum dilimpahkan ke pengadilan adalah 110 hari. Yan Anton ditahan KPK sejak awal September lalu, sehingga berkasnya harus sudah rampung pada akhir Desember. Karena itu, rencana pemeriksaan delapan polisi pada pekan ketiga Desember sebenarnya sia-sia belaka.
Boy membantah kabar bahwa Mabes Polri melarang personelnya datang ke kantor KPK. "Kepolisian lebih dulu mendengar informasi itu, sehingga langsung memeriksa, kemudian membagi hasil pemeriksaannya," katanya. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan sedang berada di luar kota sehingga tak bisa menjawab pertanyaan seputar pemeriksaan polisi yang tak diacuhkan itu. "Saya koordinasi dulu," ujarnya. ANTON SEPTIAN | AGOENG WIJAYA | REZKI ALVIONITASARI | PRIHANDOKO
POHON SUAP BERCABANG-CABANG
6 Juli 2015
Anggota staf Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuasin, Reza Pahlevi, melaporkan Merki Bakri ke Kepolisian Daerah Sumatera Selatan dengan tuduhan penipuan dan penggelapan proyek buku.
27 Juli 2016
Polisi menetapkan Merki—kala itu menjabat Asisten III Pemerintah Kabupaten Banyuasin—sebagai tersangka penggelapan proyek buku dan dia ditahan di Polda Sumatera Selatan.
Agustus
Penahanan Merki ditangguhkan; diduga atas permintaan Yan Anton Ferdian kepada Polda Sumatera Selatan.
Agustus
Merki diangkat menjadi Kepala Dinas Pariwisata, Seni, Budaya, Pemuda, dan Olahraga Banyuasin.
September
Berkas perkara Merki dilimpahkan polisi ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan.
4 September
Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Yan Anton Ferdian, yang diduga menerima suap Rp 1 miliar ijon proyek pendidikan. Duit suap itu digunakan untuk naik haji bersama istrinya.
Yan menjadi tersangka bersama Kepala Dinas Pendidikan Banyuasin Umar Usman, Kepala Seksi Pembangunan dan Peningkatan Mutu Pendidikan Banyuasin Sutaryo, Kepala Rumah Tangga Sekretariat Daerah Banyuasin Rustami, pengusaha Kirman, dan Direktur CV Putra Pratama Zulfikar Muharrami.
September-Desember
KPK menelusuri aliran uang Yan Anton, yang antara lain diduga untuk menyuap perwira polisi Polda Sumatera Selatan buat membebaskan Merki Bakri.
14 Desember
Terbit telegram rahasia Polri. Isinya: penggeledahan oleh penegak hukum lain di markas kepolisian harus seizin Kepala Kepolisian RI.
26 Desember
Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian mengatakan delapan perwira itu sudah diperiksa secara internal. Tito membantah keterkaitan antara penerbitan telegram dan kasus anak buahnya.
20-22 Desember
KPK menjadwalkan pemeriksaan delapan mantan pejabat Polda Sumatera Selatan, tapi semuanya mangkir.
8 PERWIRA DI PUSARAN PERKARA
Inspektur Jenderal Djoko Prastowo
Komisaris Besar Daniel Tahi Monang Silitonga
Ajun Komisaris Besar Prasetyo Rahmat Purboyo
Ajun Komisaris Besar Hari Brata
Ajun Komisaris Besar Richard Pakpahan
Ajun Komisaris Besar Imron Amir
Ajun Komisaris Masnoni
Brigadir Chandra Kalevi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo