SEBUAH lukisan Semar, dengan latar belakang lima Pandawa
bersaudara dan Kamajaya serta Ratih, tergantung di dinding
ruang tamu rumah R. Suprapto. "Kalau diterapkan dalam perangkat
aparatur, Semar itu kan pamong. Dia adalah seorang punakawan
abdi, walau sebetulnya dia itu dewa. Artinya di sini: orang yang
berkemampuan, yang tak mau menonjolkan diri, tapi ngemong, ojo
dumeb dan melakukan tut wuri handayani".
Suprapto, 58 tahun, tampak bersemangat sewaktu menjelaskan ini.
Agaknya pandangan ini, aparat pemerintah sebagai abdi
masyarakat, ingin betul-betul diwujudkannya. "Dan ingat, masih
ada Kamajaya dan Ratih. Jadi pengabdian pada masyarakat itu
harus dilandasi cinta dan kasih," katanya.
Sebelum menjabat Gubernur Jakarta, perjalanan pengabdian
Suprapto telah panjang. Sebagian besar hidup putra Wedana
Karanggede, Karanganyar, Sala ini dilewatkan di bidang militer.
Dimlai dengan pendidikan di Peta di zaman pendudukan Jepang, di
bagian pasukan gerilyanya (Yukiki) bersama antara lain almarhum
Bambang Supeno dan Kusnowibowo .
Ia pernah tercatat sebagai lulusan terbaik Seskoad Angkatan
II (1963-1964) dan kemudian menjabat Asisten 11 Kodam
Diponegoro. Pernah pula ia menjabat Kepala Staf Kodam
XVII/Cenderawasih dan kemudian Pangdam XVI/Udayana. Sebelum
menjabat Sekjen Depdagri sejak 1976, ia bertugas di Departemen
Hankam sebagai Asrenum (Asisten Perencanaan Umum).
Suprapto, tampan dan bertubuh sedang (tinggi 168 cm, berat 70
kg)--dua kali seminggu berolahraga tenis--agaknya selama ini tak
banyak bisa keluar karena tertimbun banyaknya pekerjaan. "Elanya
sekali-kali kami sekeluarga pergi ke Pasar Seni Ancol," katanya.
Sebagai gubernur, tentbnya nanti ia diharapkan akan lebih banyak
terjun ke bawah di tengah masyarakat yang dipimpinnya.
Berikut ini sebagian dari wawancaranya dengan Susanto
Pudjomartono, Herry Komar dan Budiman S. Hartoyo dari TEMPO
pekan lalu, di rumahnya, dalam suatu pembicaraan 4 jam menjelang
tengah malam, mengenai tugas barunya yang mulai dipangkunya
pekan ini.
Sebagai gubernur baru, apa yang pertama akan Bapak lakukan?
Prinsip saya, kalau mendapat tugas ya kerjakan tugas itu dengan
wajar. Tidak perlu ambisius, karena itu bisa membuat lupa
daratan. Ikhtiar perlu ada, supaya bisa menjalankan tugas dengan
baik. Harapan saya agar masyarakat mendukung dengan
keikutsertaan bersama mengelola rumah tangga Jakarta ini dalam
fungsinya masing-masing.
Caranya? asarnya adalah keterbukaan. Misalnya jika di suatu
wilayah mau didirikan proyek tertentu. Masyarakat kita
sebenarnya tidak sulit, toleransinya besar, sepanjang dijelaskan
haknya, diajak bermuakat dan menerima haknya seperti yang
sudah disepakati. Keresahan bisa timbul karena beberapa hal.
Misalnya ada aparatur yang sebelumnya sudah tahu rencana proyek
dan membeli tanah dulu dan kemudian menaikkan harga. Rakyat tahu
itu.
Jadi ada aparatur yang perlu diluruskan. Sekali lagi prinsipnya
keterbukaan. Tapi ketegasan, enforcement perlu, cuma terlebih
dulu harus ada prakondisi bahwa masyarakat tahu. Kalau ada yang
tetap - membangkang, ya tindak. Sebab kalau didiamkan, akan
nracak (menginjak kepala). Tapi perlu ada pendekatan yang
manusiawi.
Misalnya kaki-lima ....
Kaki-lima ditegaskan tempatnya. Kalau didiamkan, mereka akan
memenuhi tempat, menghambat lalulintas, jadi menghambat pihak
lain. Masyarakat Jakarta itu heterogen. Kita tidak bisa
memanjakan satu golongan masyarakat saja.
Masalah-masalah Jakarta apa saja yang Bapak prioritaskan dan
bagaimana pemecahannya?
Perlu ditegaskan dulu strategi jangka panjang, sedang dan yang
operasional. Timbulnya kepadatan Jakarta, dengan wilayahnya yang
sudah tetap. Ini karena pembangunan yang meledak. Penanam modal
berkumpul di Jakarta karena semua sarananya ada di sini. Ini
menumbuhkan lapangan kerja hingga otomatis menarik kedatangan
tenaga kerja. Dalam strategi jangka panjang perlu ditegaskan:
investasi baru yang sifatnya nasional jangan di Jakarta. Perlu
ada pusat-pusat pembangunan baru, misalnya di Bekasi dan
Tangerang. Dengan begitu akan tumbul - suburbs, bukan satelit.
Untuk itu pemerintah harus menyiapkan prasarana. Hingga ada
penyebaran dan rush juga ke luar Jakarta.
Apakah ini karena perencanaannya dulu salah? Kita tidak bisa
menyalahkan Pak Ali Sadikin. Karena dulu kondisinya memang
demikian, ditambah dengan egosentrisme daerah untuk bisa
mendapatkan keuntungan dari pembangunan.
Bagaimana misalnya cara mengatasi masalah sampah? Sebetulnya
tidak sulit. Yang menjadi sorotan sekarang adalah tercecernya
sampah di tempat pengumpulan. Buat saja bak yang jelas hingga
tidak ada yang kececeran. Truk sampah perlu yang sedemikian rupa
hingga tidak bisa diomprengkan. Sampah juga tidak boleh
jaditanah urukan lagi. Pabrik kompos perlu ada. Memang perlu
investasi. Tapi kalau perlu diberikan subsidi demi tertib
lingkungan.
Lalu tentang masalah macetnya lalu-lintas?
Sebagian besar pemakai transportasi umum adalah mereka yang
sudah jelas tujuannya, misalnya karyawan dan pelajar.
Transportasi umum harus memenuhi syarat: mudah, tepat dan
komfort. Kalau persyaratan ini bisa dipenuhi, mungkin yang
berjabatan tinggi dan selama ini memakai mobil pribadi tidak
akan segan memakai kendaraan umum. Disiplin masyarakat perlu
ditingkatkan. Salah satu yang saya anggap tantangan memang
bagaimana memperbaiki masalah ini. Dulu ada terminal pusat di
Lapangan Banteng. Waktu dihapuskan tampaknya masyarakat kurang
dipersiapkan, begitu juga sarana penggantinya.
Apakah terminal Lapangan Banteng akan dihidupkan lagi?
Prinsip orang yang memasuki jabatan baru kan kurang baik kalau
mengubahubah lagi. Itu tidak akan terjadi pada saya. Tiap sistem
apa pun ada segi baik dan kurangnya. Yang kurang baik di mana,
ini yang kita cari.
Pak Tjokropranolo sebelum mengakhiri masa jabatannya, melakukan
serangkaian pergantian jabatan. Bagaimana pendapat Bapak?
Dilihat dari peraturan formal, kewenangan memang ada. Cuma
timbul keresahan karena ada yang menyimpang dari pola karir dan
jabatan. Setiap orang bisa saya pakai sepanjang dia ditempatkan
sesuai dengan karir dan tingkat kemampuannya. Dilihat dari
prinsip ini, kalau ternyata bisa kerja, ya sudah. Kalau tidak
berprestasi ya diganti. Momentum harus dipelihara, dan staf
harus digunakan. Saya tidak akan bawa orang, kecuali mungkin.
sopir.
Masyarakat Jakarta bertanya-tanya: gaya kepemimpinan apa yang
akan Bapak gunakan. Gaya Ali Sadikin, Tjokropranolo atau
memadukannya?
Bukan memadukannya. Masing-masing punya kepribadian dan
kelebihan. Kepemimpinan mereka tepat pada tahapan zamannya.
Seperti Ali Sadikin. Pada saat itu Jakarta perlu orang seperti
dia, dan kebetulan beliau didukung keadaan yang memungkinkan.
Begitu juga dengan pola kepemimpinan Bung Karno, atau Bung Tomo,
masing-masing tepat pada tahapan zamannya.
Kelihatannya Bapak optimistis untuk memimpin Jakarta.
Saya kenal baik dengan semua Menteri. Kalau kerepotan saya akan
lari pada mereka, karena Jakarta kan pusatnya daerah.
Apakah Bapak tidak akan diang gap terlalu menggampangkan
persoalan?
Tidak. Itu tergantung bagaimana kita menggunakan aparatur.
Hambatan pertama saya nanti adalah bagaimana memulihkan kondisi
aparatur yang resah. Untuk itu perlu fungsionalisasi aparatur
sesuai dengan bidangnya secara proporsional. Jalur yang sudah
ada perlu dimanfaatkan. Misalnya GMK 3 LH (Gerakan
Memasyarakatkan Kebersihan, Keindahan, dan Kelestarian
Lingkungan Hidup): kegiatannya bagus, hanya peadahannya yang
kurang tepat. Mengapa tidak memakai PKK (Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga) yang sudah ada? Saya yakin kalau masing-masing
aparatur diberi kepercayaan dan kesempatan, semua akan
menjalankan tugas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini