Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Air mata seolah tak mau berhenti mengalir dari sepasang mata mungil Olandina Mauberi. Di dadanya bocah lima tahun itu mendekap erat sehelai kemeja hitam lusuh. Itu kemeja kesayangan ayahnya, Stanis Maubere, yang tewas diterjang pelor polisi penjaga perbatasan Timor Leste, Jumat siang dua pekan lalu. ”Bapa sudah tidak ada sekarang,” ujarnya tersedu.
Melihat kakaknya menangis, Yudit Mauberi, 2½ tahun, yang lagi di pelukan ibunya, pun menangis. ”Kini kami cuma bisa lihat dia punya foto,” ujar Paskela, istri Stanis. Dia menunjuk foto suaminya yang tergantung di dinding rumah mereka yang semipermanen.
Stanis (40 tahun), Jose Mausorte (38), dan Candido Mariano (24), tewas ditembak di Sungai Malibaca, Turiskain. Menurut saksi mata, mereka sedang memancing ketika itu. Ketiganya adalah mantan milisi Timor Timur pro-integrasi, Besi Merah Putih. Setelah kalah dalam jajak pendapat pada Agustus 1999, mereka hengkang dan tinggal di Dusun Wekrama, Desa Tohe, Kecamatan Reihat, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.
Desa Tohe yang terletak di pedalaman, jauh dari laut, termasuk yang berbatasan langsung dengan Distrik Bobonaro, Timor Leste—dipisahkan oleh Sungai Malibaca. Sejak Timor Timur merdeka dan menjadi Negara Demokratik Timor Leste, sungai yang memisahkan Bobonaro dan wilayah Kecamatan Reihat itu berubah jadi tapal batas. Garis batas dibayangkan berada di tengah, sepanjang aliran sungai yang lebarnya 150 meter itu.
Karena terbiasa mencari ikan dan udang di sana, masyarakat setempat kerap abai kalau sisi lain sungai itu kini milik negara lain. Makanya, menurut Egidios dan Elias Tavares, dua remaja yang Jumat itu lolos dari sergapan polisi perbatasan, saat pergi memancing mereka tak punya perasaan buruk apa pun.
Biasanya mereka berlima memancing di wilayah sendiri, dekat pos TNI, sekitar satu kilometer dari perkampungan. Karena siang itu hujan lebat dan sungai banjir, mereka pindah ke kali kecil 1,5 kilometer dari pos jaga. Tempat itu masuk wilayah Timor Leste—sekitar 50 meter dari perbatasan.
”Kami membawa pukat kecil, dua parang untuk menebas ikan dan dua gelas plastik berisi racun ikan,” cerita Egidios. Sebenarnya mereka punya banyak saudara di Maliana, tapi tak tergoda ke sana. Sebelum mulai memancing, mereka memetik jagung di kebun milik keluarga di wilayah Timor Leste itu. Rencananya, jagung akan dibakar bersama ikan.
Tapi malang datang tanpa peringatan. Sementara mereka asyik memancing, lima polisi patroli perbatasan Timor Leste berseragam biru tua muncul tiba-tiba. Tiga di antaranya mendekat sambil menenteng dua senjata otomatis laras panjang dan pistol. Egidios mengenal salah satu polisi itu: namanya Mariano, bekas guru di Maliana.
Panik dan takut, mereka berusaha melarikan diri. ”Saya dan Elias dihadang dua polisi. Kepala saya dipukul dengan popor senjata,” ujar Egidios. Tapi mereka terus lari. Di belakang mereka dengar ada polisi berteriak: ”Candido, jangan lari.” Setelah itu cuma bunyi tembakan delapan kali.
Tiba di sisi sungai yang lain, mereka coba memanggil Stanis dan yang lain, namun tak berjawab. Mulanya mereka mengira rekan-rekannya cuma ditahan. Baru sorenya mereka tahu, ketiganya tewas. ”Kami kaget,” ujar Elias.
Penembakan Stanislaos, Jose, dan Candido bukan insiden pertama di tapal batas. Pada 28 Juli 2001, Sersan Satu Lirman Hadimu tewas ditembak tentara penjaga perdamaian PBB. Tubuhnya ditemukan tergeletak di wilayah Indonesia, 20 meter dari perbatasan, di daerah Fatuha, Kecamatan Kobalima, Belu.
Pada April lalu, patroli perbatasan Timor Leste juga menembaki dan merusak perahu milik warga Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto, Belu. Penyerangan dilakukan cuma karena pukat warga malang itu tanpa sengaja melewati garis batas perairan kedua negara.
Itu sebabnya, penyerangan kali ini mendapat reaksi keras. Di Atambua, ibu kota Belu, ribuan eks milisi pro-integrasi menggelar demonstrasi. Seratusan orang bahkan menyerobot masuk ke Batugede, Timor Leste—sekitar 200 meter dari perbatasan—dan menggelar aksi di sana. Sempat terjadi kejar-mengejar dengan polisi Timor Leste namun tak ada korban jiwa.
Eks milisi juga mulai melakukan aksi penggeledahan, mencari pemegang paspor merah di Atambua, ibu kota Belu. Paspor merah adalah dokumen perjalanan internasional yang dikeluarkan pemerintah Timor Leste bagi warganya yang bepergian ke luar negeri.
Menanggapi kecaman yang bertubi, pemerintah Timor Leste yang semula diam akhirnya bersuara. Rabu pekan lalu, dalam sebuah konferensi pers di Dili, Perdana Menteri Mari Alkatiri mengatakan petugasnya cuma membela diri. ”Polisi kami diserang tiga orang yang memasuki negara kami tanpa dokumen, visa, atau paspor,” ujarnya.
Kisah versi Alkatiri itu jelas berbeda dengan cerita dua orang saksi—Egidios dan Elias—yang mengatakan mereka cuma membawa dua parang dan menyeberang untuk memancing.
Itu sebabnya, selain melayangkan nota protes atas ”tinvdak kekerasan yang berlebihan” itu, pemerintah Indonesia juga menuntut dibentuk tim investigasi bersama dua negara. ”Supaya jelas kejadian yang sebenarnya bagaimana. Dan kalau ada yang bersalah, ya dibawa ke pengadilan,” ujar juru bicara Departemen Luar Negeri, Desra Percaya.
Pekan lalu Menteri Luar Negeri Timor Leste, Jose Ramos Horta, secara lisan sudah menyetujui pembentukan tim ini. Namun, kabarnya, menurut Desra, jawab resmi Timor Leste atas nota protes pemerintah—termasuk persetujuan pembentukan tim investigasi bersama—baru akan tiba pekan ini.
Philipus Parera dan Jems de Fortuna (Belu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo