Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HIDUP di negeri supermodern belum pernah diimpikan Antonius Wamang. Tiba-tiba seorang kawan mengajaknya pindah ke Amerika Serikat. Wamang, yang sehari-hari bekerja sebagai petani dan pencari kayu gaharu di Timika, Mimika, Papua, merasa tak perlu berpikir panjang.
Di Indonesia, namanya masuk daftar buron polisi. Dia bersama kelompoknya dituding sebagai pelaku penembakan konvoi lima kendaraan International School milik PT Freeport Indonesia di mil 62-63 jalur Tembagapura-Timika, Agustus 2002.
Penembakan itu menewaskan tiga guru sekolah. Dua di antaranya warga negara Amerika, Ted Burcon dan Rickey Spear. Seorang lagi warga negara Indonesia, Bambang Riwanto. Masih ada korban luka 12 orang, sembilan di antaranya warga negara asing.
Kawan yang mengajak Wamang menjanjikan suaka di Amerika. Rencana perjalanan disiapkan Pendeta Ishak Onawame, Ketua Klasis Gereja Kemah Injil Indonesia Mimika, Jumat dua pekan lalu.
Ketika itulah Eltinus Omaleng dan Willy Mandowen, dua karyawan PT Freeport Indonesia, mengundang Ishak dan Markus Kelabetme ke kantornya di Kota Kuala Kencana, Mimika. Pertemuan kemudian dipindahkan ke Hotel Amole II di Jalan Satuan Pemukiman II, Timika Jaya. Dalam pertemuan itu hadir empat agen Biro Investigasi Federal Amerika (FBI).
Seorang agen mengajak Ishak dan kawan-kawannya pindah ke Amerika. Di sana mereka akan dipertemukan dengan anggota Kongres, yang akan membantu cita-cita Papua Merdeka—asal mereka mau membuka kasus penembakan di Timika. ”Kalau di sini, kami tidak bisa jamin,” kata si agen.
Ishak dan Markus diminta mengajak teman-temannya yang ikut dalam aksi penembakan di Timika, serta Kelly Kwalik, Komandan Tentara Organisasi Papua Merdeka Wilayah III Mimika. Hari keberangkatan akan diatur kemudian.
Tawaran itu bersambut. Seusai pertemuan, Ishak dan Markus mulai bergerak menghubungi Kelly Kwalik, Antonius Wamang, Hardi Tsugumol, dan lainnya. Mereka menyampaikan pesan dari FBI dan mengajak ikut pindah ke Amerika.
Rabu sore pekan lalu, agen FBI memastikan pesawat telah siap menerbangkan mereka dari bandar udara Timika, malam itu. Mereka akan dijemput di Hotel Amole. Ishak segera memerintahkan para anggota ”kelompok terbang”-nya berkumpul di Hotel Amole. Namun, kurir gagal menemukan Kelly Kwalik hari itu.
Pendeta Ishak sampai di Hotel Amole sekitar pukul 20.00. Di sana telah menunggu Antonius Wamang dan 10 temannya. Willy, Eltinus, dan empat agen FBI muncul sejam kemudian. ”Mister Agen” mengulangi janjinya akan memberi perlindungan dan membantu kemerdekaan Papua.
Beberapa orang, yang sebelumnya meragukan rencana itu, langsung pulang ke rumah mengambil bekal pakaian secukupnya. Malam itu rombongan berangkat menggunakan truk kontainer milik Freeport. Alasannya, agar tidak terlihat aparat keamanan.
Tak lama kemudian truk berhenti. Para penumpang bersukacita karena merasa telah tiba di bandar udara. Ketika pintu kontainer dibuka, alakazam: di depan mereka sudah menunggu 15 anggota Brimob Kepolisian RI, lengkap bersenjata. Truk itu ternyata masuk ke halaman kantor Polsek Kuala Kencana.
Melalui telepon seluler, seorang anggota rombongan sempat menghubungi Paula Makabory dari Els-HAM, lembaga advokasi hak asasi manusia di Papua. Sesaat kemudian mereka digelandang masuk ke kantor polisi, dilucuti dan disita barang-barangnya. Kemudian satu per satu diinterogasi. Ketika itu anggota Els-HAM telah menyusul ke kantor polisi.
Interogasi berlangsung sembilan jam, hingga pukul tujuh pagi. Delapan orang kemudian ditahan, sisanya dilepas. Mereka yang ditahan dimasukkan kembali ke kontainer, lalu dilarikan ke Bandara Moses Kilangin. Dengan pesawat Garuda, mereka diterbangkan…bukan ke Amerika, melainkan ke Jayapura. Di Bandara Sentani telah menanti panser dan truk antipeluru yang mengangkut mereka ke kantor Polda Papua.
Drama penangkapan penuh tipu-tipu itu memancing protes Tim Gabungan Advokat Mil 62-63, yang terdiri dari Els-HAM Papua, Kontras, LBH, dan sejumlah organisasi nirlaba lainnya. Direktur Els-HAM Papua, Aloysius Renwarin, menilai penangkapan itu menyalahi aturan karena tanpa surat penangkapan dari kepolisian. Surat itu baru diserahkan setelah para tersangka sampai di Polda Papua.
Tim advokasi juga mempersoalkan penangkapan yang dilakukan FBI, karena tak ada perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Amerika. Mereka berencana mensomasi dan melayangkan gugatan kepada pihak-pihak yang terlibat operasi penangkapan. ”Kami akan memasukkan somasi ke Pengadilan Negeri Jayapura, Senin nanti (pekan ini—Red.),” kata Renwarin.
Menurut dia, dalam interogasi di Polsek Kuala Kencana, Wamang mengakui melakukan penembakan di mil 62-63. Wamang menyebut serangan itu ”satu piring, dua sendok”. Maksudnya, ketika itu dia bersama anggotanya menembakkan 30 butir peluru atau menghabiskan satu magasin—tak jelas juga juntrungannya.
Setelah peluru habis, masih menurut Wamang, kelompoknya mundur, lalu penembakan dilanjutkan kelompok lain beranggotakan tiga orang dengan penutup kepala dan baju militer. Wamang menyebut kelompok itu berasal dari sebuah kesatuan di TNI. Sampai di situ, interogasi terhadap Wamang dihentikan polisi.
Pada bagian lain, Wamang mengaku sering bekerja sama dengan seorang anggota TNI mencari kayu gaharu di hutan. Anggota TNI itu berperan sebagai penadah. Dari kerja sama itulah, menurut Aloysius, Wamang mendapat senjata M-16.
Pengakuan Wamang ini kembali membuka catatan lama yang menyebut anggota TNI terlibat dalam penyergapan di Timika. Di tempat kejadian perkara, setelah peristiwa penembakan, polisi menemukan 28 selongsong peluru M-16, satu selongsong peluru ukuran besar, dan sebuah proyektil yang telah ditembakkan. Ketika itu Tim Investigasi Polda Papua, yang dipimpin Wakil Kepala Polda Papua, Brigjen Raziman Tarigan, menduga anggota TNI terlibat.
Dugaan itu diperkuat keterangan Decky Murib—seorang sipil binaan Kopassus—yang mengaku berada di sekitar lokasi kejadian. Belakangan Murib mencabut kesaksiannya di depan sidang gugatan pencemaran nama baik Pangdam XVII/Trikora versus Els-HAM Papua, April dua tahun lalu.
Tudingan terhadap TNI sempat meretakkan hubungan Indonesia-Amerika Serikat. Apalagi sebelumnya Amerika menghentikan program International Military Education and Training (IMET), kerja sama pelatihan militer bagi anggota TNI, akibat tragedi penembakan di Santa Cruz, Timor Timur, 15 tahun silam.
Washington juga melakukan embargo militer yang menyebabkan pesawat tempur Indonesia tak bisa terbang karena tak punya onderdil pengganti. Dari 255 pesawat dan helikopter Angkatan Udara, hanya 40 persen yang bisa dipakai. Sisanya ”terkapar” di hanggar.
Sikap Washington sempat melunak, lima tahun lalu. Embargo suku cadang pesawat Hercules dan eject seat pesawat tempur kembali dibuka. Embargo terhadap suku cadang pesawat kecil juga dicabut.
Tapi, peristiwa penembakan di Timika membuat Amerika memasang kembali urat tegang. Sejumlah anggota Kongres menuding Jakarta tidak serius mengusut pelaku penembakan. Akibatnya, peralatan militer yang diinginkan Jakarta kembali diembargo.
Pada awal 2005, para pejabat Pentagon kembali melunakkan sikap. TNI dianggap berhasil meraih nilai cemerlang, antara lain netral dalam Pemilihan Umum 2004, rela melepas keanggotaannya di parlemen, dan tangkas memulihkan Aceh setelah dihantam tsunami.
Aparat TNI juga dinilai kooperatif terhadap FBI dalam menyelidiki kasus Timika. Pintu IMET kembali dibuka, Maret tahun lalu. Dana IMET untuk Indonesia dianggarkan Rp 5,5 miliar, bahkan tahun ini Rp 7,3 miliar.
Reaksi terhadap penangkapan Wamang dkk masih bersifat sementara. Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda berharap, penangkapan itu bisa menghapus prasangka keterlibatan anggota TNI dalam insiden Timika, sekaligus memulihkan hubungan Indonesia-Amerika Serikat. ”Selama ini sedikit-banyak kasus Timika menjadi ganjalan, terutama di Kongres,” kata Hassan.
Juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika, Sean McCormack, mengakui penangkapan itu merupakan kerja sama FBI dengan polisi Indonesia. ”Kami senang pemerintah Indonesia juga menyadari pentingnya kasus ini,” katanya, seperti dikutip Associated Press, Kamis pekan lalu.
Kepala Dinas Penerangan Umum TNI, Kolonel Ahmad Yani Basuki, sejak awal menyangkal keterlibatan TNI dalam insiden Timika. Menurut dia, Wamang merupakan kunci penting dalam pengungkapan kasus ini. ”Semoga persoalan ini makin jelas,” katanya.
Agung Rulianto, Cunding Levi (Jayapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo