Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Tindakan teror dan kriminalisasi kepada para pegiat lingkungan kembali terjadi.
Kali ini menimpa Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, Kalimantan Tengah, Effendi Buhing.
Ia dijemput paksa oleh kepolisian dari rumahnya, kemarin, sekitar pukul 14.00 WIB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Tindakan teror dan kriminalisasi kepada para pegiat lingkungan kembali terjadi. Kali ini menimpa Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, Kalimantan Tengah, Effendi Buhing. Ia dijemput paksa oleh kepolisian dari rumahnya, kemarin, sekitar pukul 14.00 WIB. Kejadian itu direkam seorang warga menggunakan gawainya dan menginformasikannya kepada sejumlah pegiat lingkungan lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam video itu, Effendi sempat menolak dibawa oleh polisi karena merasa penangkapannya itu tidak memiliki kejelasan duduk perkara. Namun polisi yang sempat memperlihatkan surat penangkapan tetap membawanya. Effendi kemudian diseret dari dalam rumahnya menuju mobil berkelir hitam. Mobil itu tampak dijaga oleh empat polisi berseragam hitam dan memegang senjata laras panjang.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah, Dimas Novian Hartono, mengatakan belum mendapat informasi mengenai apakah Effendi ditangkap oleh Polres Kabupaten Lamandau atau Polda Kalimantan Tengah. "Teman-teman sedang mencoba berkomunikasi dengan Polda Kalteng," kata dia saat dihubungi, kemarin.
Dimas menuturkan, sebelum penangkapan Effendi, sudah terjadi penangkapan terhadap empat orang warga di Kinipan ditambah penangkapan perangkat desa bernama Riswan. Dimas menambahkan, kriminalisasi terhadap pegiat lingkungan di Kalimantan Tengah makin meningkat dari tahun ke tahun.
Menurut Dimas, warga di Kinipan menolak upaya perluasan kebun sawit PT Sawit Mandiri Lestari yang diduga membabat hutan adat milik masyarakat Kinipan. Konflik ini terjadi sejak 2012, dan Effendi Buhing termasuk orang yang gencar menolak proyek ini serta mendapat teror atas tindakannya itu.
Selain penangkapan, pegiat lingkungan digeledah rumahnya atas dalih mendapatkan laporan penyalahgunaan narkoba. Kejadian ini menimpa aktivis Walhi, Zenzi Suhadi, pada 23 Juli lalu. Kejadian ini bermula dari rumahnya yang digeledah oleh anggota Polres Jakarta Selatan karena mendapat laporan adanya penyalahgunaan narkoba di rumah Zenzi.
Setelah dilakukan penggeledahan, tidak ditemukan narkoba di rumah itu dan hasil tes urine Zenzi negatif. Zenzi pun melawan melalui jalur praperadilan. Kuasa hukum Zenzi, Judianto Simanjuntak, menyatakan pihaknya menggugat Polres Jakarta Selatan atas penggeledahan yang dianggap tidak sesuai dengan prosedur di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana itu.
Judianto menilai penggeledahan yang terjadi tidak memenuhi persyaratan, seperti izin ketua pengadilan setempat serta disaksikan aparat daerah setempat, misalnya petugas RT atau RW dan dua saksi mata. "Mereka katakan penyelidikan. Kalau penggeledahan itu penyidikan. Upaya paksa harus ada izin pengadilan," kata dia, kemarin.
Pada sidang kemarin, kuasa hukum Zenzi menghadirkan tetangga kliennya dan saksi ahli, yakni dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Sidang ini akan dilanjutkan hari ini dengan agenda pembuktian dari pihak termohon, lalu kesimpulan pada Jumat mendatang.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati mengatakan ada tren kenaikan kriminalisasi dan teror kepada para pegiat lingkungan selama beberapa tahun terakhir. Apalagi dalam jangka lima bulan pandemi Covid-19 di Indonesia, setidaknya terdapat 16 kasus perampasan lahan di sembilan provinsi di Indonesia.
Asfinawati menyatakan, dilihat dalam banyak kasus, hukum tidak berpihak kepada masyarakat kecil. Perampasan lahan, kata dia, jelas bertentangan dengan program pangan Presiden Joko Widodo karena lahan yang banyak dirampas adalah lahan pertanian. "Ini memperlihatkan perlu dievaluasi. Aparat kerja buat siapa, sih?” ujar dia, kemarin.
Bagi dia, hal ini diperparah oleh laporan rakyat kecil kepada polisi yang kerap tidak ditindaklanjuti kepolisian. "Ini gawat sekali. Kalau rakyat lapor tak ditindaklanjuti, meski ada unsur pidana di dalamnya," tutur dia.
DIKO OKTARA
27
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo