Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Kementerian Agama mendorong Kantor Kemenag Ponorogo membentuk tim investigasi gabungan guna menyelidiki kematian santri di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Penyelidikan ini penting dilakukan agar memperjelas bentuk kekerasan yang terjadi sehingga insiden serupa bisa dicegah. "Pondok Pesantren Gontor dan ponpes lain bisa mengevaluasi serta memperbaiki berbagai kegiatan yang berpotensi melahirkan kekerasan," kata Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa'adi, kemarin.
Tim investigasi tersebut, kata Zainut, akan berkoordinasi dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kepolisian, dan pihak-pihak yang terkait dengan pengungkapan kasus ini. "Tim investigasi ini dibentuk guna mendapatkan keterangan secara lengkap dan komprehensif untuk bahan evaluasi serta mengambil kebijakan," ujarnya.
Santri Pesantren Gontor yang meninggal itu bernama Albar Mahdi,17 tahun. Ia diduga dianiaya oleh sejumlah santri senior pada 22 Agustus 2022. Pengasuh pondok pesantren telah menyampaikan permohonan maaf atas kematian santri asal Palembang, Sumatera Selatan, itu.
Zainut yakin penganiayaan itu bukan bagian dari kebijakan umum Pondok Pesantren Gontor. Tindakan para santri senior itu dinilai sebagai bentuk kelalaian pribadi yang berlebihan. Karena itu, ia mengimbau para wali santri tetap tenang dan memberikan kepercayaan penuh kepada pengasuh Pondok Pesantren Gontor. "Percayalah bahwa pesantren adalah tempat yang aman bagi anak-anak untuk belajar,” katanya. “Saya mendukung langkah kepolisian memproses secara hukum para pelaku kekerasan agar mendapat sanksi yang setimpal."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah anggota tim forensik meninggalkan lokasi usai melakukan autopsi menyeluruh pada jenazah AM santri Pondok Modern Darussalam Gontor 1 di TPU Sei Selayur Kalidoni Palembang, Sumatera Selatan, 8 September 2022. ANTARA/Feny Selly
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepolisian Resor Ponorogo telah menemukan bukti rekaman closed-circuit television (CCTV) sebagai petunjuk untuk menguak kasus penganiayaan tersebut. Selain itu, polisi telah menyita sejumlah barang bukti berupa tongkat kayu, botol air kemasan, minyak kayu putih, becak, serta pakaian dan barang-barang milik korban. "Kami terus melengkapi materi penyelidikan, baik mengumpulkan barang bukti maupun meminta keterangan saksi-saksi," kata Kapolres Ponorogo Ajun Komisaris Besar Catur Cahyono.
Berdasarkan hasil autopsi, kata Catur, terdapat luka akibat pukulan benda tumpul di tubuh korban. Hasil autopsi ini menjadi bagian penting untuk pemenuhan materi proses penyelidikan ke tahap selanjutnya. "Untuk penyebab kematian, biar ahli yang akan menyampaikan," katanya.
Penyidik juga telah menyita sejumlah dokumen yang berkaitan dengan korban dan para santri yang diduga terlibat dalam penganiayaan tersebut. Dokumen itu, antara lain, adalah surat pernyataan dari orang tua atau wali santri ketika memasukkan anak mereka ke pesantren itu. "Untuk surat-surat dari pondok ataupun keluarga, sudah kami sita. Pastinya untuk penyidikan,” kata Catur.
Penyidik saat ini sudah mengantongi lebih dari satu calon tersangka. Namun Catur tidak bersedia menyebut identitas mereka. “Salah satunya masih di bawah umur,” kata Catur. “Untuk itu, kami menyiapkan pendampingan hukum dari P3A (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) Ponorogo.”
Alumnus Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor, Khairi Fuady, menyatakan prihatin atas kematian seorang santri yang diduga menjadi korban perundungan. Khairi dulu masuk ke Gontor pada 2007. Selama berada di tempat itu, ia tidak pernah mendapat kekerasan fisik dari santri senior. "Sepengalaman saya di Gontor, tidak ada tradisi perundungan," ucap pria berusia 29 tahun itu.
Menurut Khairi, Gontor mempunyai tradisi tersendiri untuk memberikan penghargaan dan hukuman kepada semua santri. Tradisi ini yang membuat Gontor menonjol dalam sistem pendidikan sehingga bisa mencetak santri yang siap memimpin dan dipimpin.
Dalam pelaksanaan sehari-hari, kata Khairi, kegiatan operasional sistem pendidikan di Gontor lebih banyak diserahkan kepada santri senior. "Makanya ada istilah mudabbir atau semacam mentor yang perannya diisi oleh santri kelas lima," ucapnya. "Kelas lima itu, kalau di sekolah umum, ya, seumuran anak kelas XI SMA, yang notabene dari sisi emosi masih tergolong labil."
Pesantren Gontor, kata Khairi, sangat menjaga prinsip kedisiplinan. Santri yang melanggar peraturan bakal kena hukuman push-up, berlari memutari lapangan, dijemur, dan lainnya. Hukuman itu dinilai masih dalam batas kewajaran. "Karena di sana pendisiplinan memang berlaku. Bangun subuh, ke masjid lari, ke dapur lari, ke kelas lari atau jalan cepat. Memang begitu adanya."
Khairi menilai kasus kekerasan yang memakan korban jiwa di Gontor itu adalah sebuah kelalaian. Dewan asatidz (tenaga pendidik) lalai dalam mengontrol pelaksanaan pendidikan dari santri senior kepada junior. "Karena, kalau saya melihat, pendidikan justru 80 persen diberikan oleh santri senior yang menjadi mudabbir," katanya.
Munculnya kasus kekerasan ini, kata Khairi, tidak bisa ditoleransi. Karena itu, ia sepakat masalah ini diselesaikan secara hukum. "Pelaku diadili, pesantren bertanggung jawab, dan keluarga yang ditinggalkan mendapatkan keadilan," ucapnya.
IMAM HAMDI | ANT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo