Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dibalik Institut Teknologi Bandung atau ITB , ada seorang pendiri yang berkontribusi terhadap didirikannya perguruan tinggi ini, yaitu Phoa Keng Hek, warga Indonesia keturunan Tionghoa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 1914, beberapa tahun sebelum berdirinya THS (Technische Hoogerschool te Bandoeng) yang merupakan pioner awal ITB. Mengutip dari Tfi-reunion.org, dibentuklah Panitia Keuangan untuk mengembangkan kampus ITB, salah satu orang penting dalam kontribusi ini adalah Phoa Keng Hek yang merupakan kepala sekolah Tiong Hwa Hwee Kwan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Phoa Keng Hek Sia merupakan seorang tuan tanah, aktivis sosial dan presiden pendiri Tiong Hoa Hwe Koan, sebuah organisasi pendidikan dan sosial Konfusianisme berpengaruh yang dimaksudkan untuk memperbaiki posisi etnis Tionghoa di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) serta salah satu pendiri ITB.
Phoa lahir di Buitenzorg (sekarang Bogor), Hindia Belanda (sekarang Indonesia), pada 1857 dalam keluarga Tionghoa Peranakan yang berpengaruh, bagian dari Cabang Atas atau bangsawan Tionghoa pada masa pemerintahan kolonial.
Ia merupakan putra dari Phoa Tjeng Tjoan yang memegang jabatan Kapitein der Chinezen dari Buitenzorg, posisi pemerintahan sipil dalam pemerintahan kolonial Belanda dengan yurisdiksi hukum dan politik atas komunitas Tionghoa setempat dari 1866 hingga 1878. Sedangkan ibunya, Thung Tiauw Nio, adalah putri dan kakak perempuan dari tokoh masyarakat terkemuka di Buitenzorg, Thung Tiang Mih dan Thung Ho Boen.
Phoa menempuh pendidikan formal di sekolah yang dikelola oleh etnis Tionghoa, tetapi setelah Sierk Coolsma membuka sekolah misionaris di Bogor pada 31 Mei 1869, Phoa berada di kelas satu dari sepuluh.
Setelah lulus, Phoa menikah dengan Tan Soei Nio. Phoa pindah ke Batavia, ibu kota Hindia, di mana ayah mertuanya duduk di Kong Koan atau Dewan Tionghoa kota itu.
Phoa merupakan orang yang blak-blakan. Karena bisa menggunakan bahasa Belanda, Phoa dapat dengan mudah berinteraksi di luar kelompok Tionghoa dan pribumi.
Pada tahun 1900 Phoa, bersama dengan mantan teman sekelasnya Lie, mendirikan Tiong Hoa Hwe Koan (THHK), sebuah organisasi Konfusianisme modern. THHK bertujuan untuk memurnikan praktik Konfusianisme di Hindia, dan menjalankan jaringan sekitar 130 sekolah untuk mempromosikan pendidikan modern bagi komunitas etnis Tionghoa di koloni itu.
Ia menjabat sebagai Presiden THHK selama dua puluh tiga tahun sebelum pensiun, dan dibantu oleh dermawan (dan sepupu menantunya) Oen Giok Khouw, sebagai wakil presiden.
Namun, semangat modernisasi THHK kemudian dikooptasi oleh penguasa kolonial Belanda. Melansir dari Everything.explained.today, ketika Tio Tek Ho, Majoor der Chinezen ke-4 dari Batavia mengundurkan diri pada 1907, pemerintah kolonial menawari Phoa sebagai walikota Cina di ibu kota - posisi pemerintah tertinggi yang terbuka bagi subjek Cina di Hindia.
Phoa menolak tawaran itu, tetapi merekomendasikan menantu laki-lakinya untuk jabatan itu karena mereka berdua sama-sama memiliki pandangan THHK yang baru dan modern. Meskipun menghindari keterlibatan resmi dalam birokrasi kolonial, Phoa tetap menjadi pemimpin masyarakat yang penting dengan kepedulian terhadap pendidikan.
Ia wafat di Batavia pada 19 Juli 1937 dan dimakamkan di Pemakaman Petamburan pada 25 Juli. Karena dia tidak memiliki keturunan laki-laki, salah satu putra putrinya dari Majoor Khouw Kim An, Phoa Liong Djin, mengambil nama belakang kakek dari pihak ibu dan menggantikan Phoa sebagai kepala garis keturunannya.
VALMAI ALZENA KARLA
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.