Setelah bertahun-tahun ditunggu, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa mengharamkan SDSB. Mengapa begitu terlambat? MAJELIS Ulama Indonesia (MUI), yang selama ini tampak jinak terhadap kebijaksanaan Pemerintah, ternyata bisa juga mengeluarkan taringnya. Setelah bertahun-tahun ditunggu dan didesak umatnya, barulah pada Sabtu dua pekan lalu MUI secara resmi menyatakan bahwa Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) haram karena banyak mudaratnja. Kendati sudah sangat terlambat dan telah lama didahului majelis ulama di daerahdaerah, fatwa MUI itu disambut hangat oleh umat Islam. Fatwa MUI itu pun lahir di tengah ramainya protes terhadap SDSB, menyusul terungkapnya bantuan yang diterima berbagai organisasi Islam dari yayasan yang mengedarkan kupon itu, termasuk perpecahan di pengurus NU. Bahkan, beberapa hari sebelum fatwa itu lahir, ribuan mahasiswa Islam di Ujungpandang, Jember, Surabaya, dan Solo melakukan aksi turun ke jalan menentang SDSB. Pada 14 November lalu Majelis Ulama Jawa Timur mengirim surat, meminta agar MUI Pusat mengeluarkan fatwa dan mengambil keputusan tegas terhadap SDSB, supaya Pemerintah dan umat Islam bisa memedomaninya. Berkat desakan itu dan protes sejumlah ormas Islam yang semakin keras, Dewan Pengurus MUI mengadakan rapat harian di Masjid Istiqlal, Jakarta, Selasa dua pekan lalu. Di situ hadir tokoh MUI seperti Dr. Quraish Shihab, Prof. K.H. Ali Yafie, dan H.S. Prodjokusumo. Hasilnya, seperti diumumkan pada 23 November 1991, dengan tegas menyatakan bahwa SDSB haram karena banyak mudaratnya. Yang menarik, fatwa itu lahir persis ketika Ketua Umum MUI K.H. Hasan Basri sedang berada di Mekah menunaikan ibadah umrah. Ketua Komisi Fatwa MUI, Prof. Ibrahim Hosen, yang menganggap SDSB bukan judi, tak bisa datang karena sedang bersiap-siap ke Tunisia. Meskipun Hasan Basri tidak hadir, "Sikap beliau sama dengan keputusan yang kami ambil. Kami kan sudah membahasnya jauh hari sebelum beliau ke Mekah," kata Sekretaris Umum Majelis Umum Indonesia, H.S. Prodjokusumo. Namun, Prodjokusumo hanya terkekeh-kekeh ketika ditanya apakah keputusan fatwa itu juga "sengaja" diambil ketika Ibrahim Hosen tidak hadir. Terlepas dari itu, yang sangat mengundang tanda tanya adalah mengapa baru sekarang MUI mengeluarkan sikapnya terhadap SDSB. Padahal, sejak 1985, ketika masih bernama Porkas, yang sifatnya sama dengan SDSB, suara ormas-ormas Islam sudah keras menentangnya. Sikap diam MUI itu, menurut Dr. Atho Mudzhar, dalam disertasinya tentang fatwa MUI pada 1990 di UCLA, Amerika Serikat, menunjukkan keinginan MUI mendukung kebijaksanaan Pemerintah. Namun, menurut Dr. Atho Mudzhar, tak berarti MUI tidak independen dalam mengeluarkan fatwanya. Terbukti, dari 22 fatwa MUI yang dianalisa, ternyata 11 fatwa masuk kategori netral. Tiga fatwa dianggap bertentangan dengan kebijaksanaan Pemerintah, seperti tubektomi, vasektomi, pengguguran kandungan, dan Natal bersama. Delapan fatwa lagi, yang berkaitan dengan soal-soal ekonomi dan sosial seperti KB, masuk kategori mendukung kebijaksanaan Pemerintah. "Ini berarti bahwa MUI sudah berusaha keras agar fatwa-fatwanya bebas dari pengaruh kebijakan Pemerintah, tapi dalam banyak kasus memang tidak berhasil," kata Atho Mudzhar. Hanya saja, ketiga fatwa yang dianggap tak sejalan dengan kebijaksanaan Pemerintah itu diambil ketika MUI dipimpin Prof. Hamka (almarhum). Tak hanya itu, malah, dalam soal-soal yang tak begitu prinsipiil, seperti libur tidaknya pada bulan puasa, Buya Hamka sempat beradu pendapat dengan Menteri P & K, Daoed Yoesoef. Bahkan, Buya pada 1981 menyatakan mundur dari Ketua MUI menyusul fatwa melarang umat Islam mengikuti perayaan Natal bersama (TEMPO, 30 Mei 1981). Persoalannya, mengapa MUI sekarang begitu lamban mengambil keputusan, khususnya dalam soal SDSB. Menurut Atho Mudzhar, masalahnya ternyata karena perbedaan pendapat di kalangan pengurus MUI sendiri. Di satu sisi, Ketua Komisi Fatwa MUI, Ibrahim Hosen, menganggap SDSB tidak haram, sementara di sisi lain, konon, Hasan Basri dan Prodjokusumo sejak semula melihat SDSB itu lebih banyak mudaratnya dari manfaatnya sehingga perlu dihentikan. Prof. Ibrahim Hosen, yang pekan ini berada di Kairo, membantah dugaan itu. Dahulu, katanya, MUI melihat SDSB itu tak menunjukkan akibat negatif di masyarakat. Maka, untuk mencari dana boleh-boleh saja karena bukan judi. Namun, setelah hal itu disalahgunakan menjadi judi buntut sehingga banyak mudaratnya, "Tentu harus segera ditangkal," katanya. Apa pun juga di balik itu, fatwa terlambat itu disambut gembira umat Islam. Dai yang populer, Zainuddin Mz, mengatakan, "Meskipun agak terlambat, saya salut pada MUI dengan tegas mengharamkan SDSB." Di samping itu, kata Zainuddin Mz lebih lanjut, sikap itu bisa memperbaiki citra MUI yang selama ini dianggap agak menurun. Ketua MUI Jawa Tengah yang juga Rais Syuriah PBNU, K.H. Sahal Machfudz, menyatakan bersyukur atas keputusan Majelis Ulama Indonesia itu. "Lebih baik terlambat daripada tidak," kata K.H. Sahal, yang MUI di wilayahnya sudah lebih lama mengharamkan SDSB. Sebaliknya, Menteri Sosial Haryati Soebadio, dalam acara dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR RI, Rabu pekan lalu, menyatakan bahwa SDSB hukumnya masih khilafiah. Artinya, soal haram atau halalnya SDSB masih diperdebatkan. Selain itu, katanya, masih ada alasan penting lain, yakni kebutuhan Pemerintah akan dana, yang selama ini dipungut dari SDSB. "Jadi, kalau SDSB akan dihapus, harus ada dana penggantinya," kata Haryati. Julizar Kasiri, Wahyu Muryadi, dan Siti Nurbaiti (Jakarta), Djafar Bushiri (Kairo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini