Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Umbul-umbul di Tanah Rencong

18 Februari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENDERA-bendera itu muncul seperti pelangi, berkibar berganti-ganti di sisi jembatan Pantee Perak yang memotong Sungai Krueng Aceh. Di pojok lain Kota Banda Aceh, muncul pula umbul-umbul. Semuanya mengusung nama atau logo partai politik.

Ditekennya Perjanjian Helsinki tiga tahun lalu—yang mengakhiri konflik 30 tahun antara Gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah Indonesia—membuka kesempatan bagi tumbuhnya partai politik lokal di Aceh. Apalagi, setelah Undang-Undang Pemerintahan Aceh disahkan, ada lebih dari 20 pasal mengatur ihwal partai politik lokal di Tanah Rencong. Ada juga Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007, yang terbit akhir tahun silam dan mengatur hal yang lebih rinci.

Sampai pekan lalu, 14 partai lokal berdiri. Tapi baru 10 yang mendaftar ke Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia di Banda Aceh. Dari 10, baru empat yang administrasinya beres. ”Kalau syarat administrasi tak lengkap, tak bisa diveri_fikasi,” kata Jailani M. Ali, SH, kepala bidang pelayanan kantor itu, Kamis pekan lalu di Banda Aceh.

Empat partai lokal itu adalah Partai GAM, Partai Rakyat Aceh, Partai Darussalam, dan Partai Pemersatu Muslimin Aceh. ”Partai lokal lebih menarik dari partai nasional,” ujar Rizwan Haji Ali, ahli politik dari Universitas Malikul Saleh, Lhokseumawe, Aceh Utara. Partai lokal memang lebih dekat dengan massa pemilih ketimbang partai nasional.

Bekas pendukung Gerakan Aceh Merdeka, misalnya, tak mengenal partai tunggal. Aspirasi politik mereka disalurkan secara terserak. Yang tampak sebagai ahli waris gerakan itu boleh jadi hanya Partai GAM. Soalnya, cuma partai inilah yang berani memakai lambang dan nama bekas organisasi perjuangan bersenjata itu. Para seniornya tercatat duduk di pucuk pimpinan, seperti Malik Mahmud, Zaini Abdullah, dan Zakaria Saman. Soal nama dan lambang itu memang masih jadi perdebatan. Perjanjian Helsinki melarang penggunaan simbol yang mengacu ke lambang GAM setelah perdamaian. Tapi partai itu berkeras bahwa mereka tak sepenuhnya meniru simbol GAM. ”Kita tunggu saja hasil verifikasi nanti,” ujar juru bicara Partai GAM, T.M. Nazar.

Partai lainnya adalah Partai Gabthat. Nama panjangnya Generasi Atjeh Beusaboh Thaat dan Taqwa. Artinya: generasi Aceh yang bersatu, taat, dan takwa. ”Kami merindukan zaman Sultan Iskandar Muda,” ujar Abi Lampisang, 46 tahun, alias Teungku Ahmad Tadjuddin bin Abdullah, ketua partai itu. Abi mengakui, selain diilhami romantisisme sejarah, partainya didukung jaringan ulama dayah (pesantren). Sebagian besar, kata Abi, adalah ulama yang dulu dekat dengan GAM tapi kini memilih membangun partai bersendi Islam.

Arus sebaliknya datang dari anak-anak muda. Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA), yang dulu dikenal sebagai sekutu GAM, kini membentuk Partai SIRA. ”Kami tidak lagi berjuang untuk referendum,” ujar Muhammad Taufik Abda, ketua dewan pusat partai itu. Lewat kongres pada Desember lalu di Banda Aceh, organisasi itu berganti menjadi Partai Suara Independen Rakyat Aceh. ”Singkatannya tetap Partai SIRA,” ujar Taufik. ”Disapih” dari GAM, partai anak muda itu tampaknya harus kreatif menciptakan basis massa sendiri.

Mereka optimistis bisa menang. Apalagi dulu mereka cukup punya massa di pedesaan. Tokoh SIRA, Muhammad Nazar, kini menjadi Wakil Gubernur Aceh. Di Partai itu, Nazar duduk di kursi ketua majelis tinggi. Dari sudut ideologi, kata Taufik, mereka merujuk pada Islam dan keadilan sosial. ”Kami ingin Aceh yang adil dan sejahtera,” ujarnya.

Mirip dengan SIRA, tapi berada di sayap lain, ada Partai Rakyat Aceh (PRA). Partai ini adalah yang pertama mendeklarasikan diri sebagai partai lokal setelah Perjanjian Helsinki diteken. Didirikan para aktivis gerakan mahasiswa, pemuda perkotaan, dan petani di pedesaan, partai ini mengambil corak partai progresif dan populis. ”Kami ingin melihat Aceh yang adil, sejahtera, dan modern di masa depan,” ujar Aguswandi, ketua partai dan bekas tokoh Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat.

Pengurus partai lokal mengaku punya banyak dukungan. PRA, misalnya, disebut-sebut kuat di Aceh Tengah dan Aceh Tenggara. ”Di Aceh Tenggara, pengurus kami ada di 380 desa,” ujar Thamren Ananda, Sekretaris Jenderal PRA. Aguswandi sesumbar akan ”menguasai” setengah dari 6.000 lebih desa di sekujur Aceh. ”Segera kita wujudkan menjelang pemilu nanti,” ujarnya.

Nezar Patria, Adi Warsidi (Banda Aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus