Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK pertengahan tahun lalu, setiap dua pekan Nurul Arifin dan tim pendukungnya bertandang ke Karawang dan Purwakarta, Jawa Barat. Sekali dia menjenguk panti asuhan, menyerahkan sumbangan, lain kali bersilaturahmi dengan pengurus Golkar di wilayah itu. ”Ini investasi politik saya,” kata Nurul, yakin.
Aktris yang kini dikenal sebagai aktivis perempuan ini memang berhasrat maju menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari daerah pemilihan itu. Dibantu 11 staf pendukung di Jakarta, dia juga punya belasan staf lokal yang bekerja di lapangan. Merekalah yang kini rajin mencari tema kampanye Nurul.
”Daerah pemilihan saya meliputi wilayah pertanian dan pesisir,” Nurul menjelaskan. ”Karena itu saya harus bisa memetakan isu-isu spesifik di sana.” Boleh juga. Sebab, di seantero penjuru tanah air, sekarang ini, bukan hanya Nurul yang sedang mengancang.
Seraya Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum masih terus ”digoreng” di Jakarta, ribuan politikus sudah mulai menyusun rencana kampanye, mengidentifikasi isu-isu yang dianggap penting, dan, tentu saja, menggali dana politik.
REKRUTMEN politik skala nasional ini sebenarnya dimulai sejak akhir 2007. Jalurnya ada dua. Pertama, lewat rekomendasi pengurus partai di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Partai Demokrat, misalnya, menggunakan model ini.
”Kami memang mencari tokoh yang mengakar di daerah,” kata Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Marzuki Alie. Tentu saja, kompetensi dan keandalan juga ditakar. ”Rekam jejak para calon harus bagus,” Marzuki menambahkan.
Kedua, melalui jalur kader. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Golkar menerapkan model ini. ”Sejak 2004 kami sudah punya database kader potensial,” kata Sekjen PDIP, Pramono Anung. Merekalah yang kini sedang dievaluasi kinerja, basis ideologis, dan loyalitasnya.
Di Partai Beringin, sejak November lalu, para kader bahkan sudah mengikuti pelatihan dan diminta menentukan daerah konstituensi pilihannya. Mereka yang absen mengikuti training kecil kemungkinan lolos. ”Mereka sedang ditugaskan bekerja di daerah-daerah,” kata Wakil Sekjen Partai Golkar, Malkan Amin.
Jika bulan-bulan ini daerah pemilihannya kebetulan menggelar pemilihan kepala daerah, para kader itu diwajibkan all-out membantu. ”Jadi-tidaknya mereka masuk daftar calon akan dievaluasi dari kinerjanya saat ini,” kata Malkan.
Sebagian besar partai memang baru akan merilis daftar calon sementara pada Juni-Juli depan. Nah, menjelang akhir tahun, barulah digelar rapat pimpinan, atau rapat koordinasi nasional, untuk mengumumkan daftar resmi kandidat anggota DPR Pemilu 2009.
SETELAH semua nama calon masuk ke pengurus pusat, tahap berikutnya adalah penentuan nomor urut daftar calon. Di sini, selain kriteria kompetensi, loyalitas jadi faktor penting. Tahap ini juga rame karena sering menyulut api konflik. Tak jarang, aktivis senior partai merasa disalip ”anak bawang” yang baru bergabung menjelang pemilu.
”Tahap ini yang bikin pusing,” kata Marzuki Alie seraya terbahak. ”Semua maunya nomor urut satu.” Situasi bisa makin parah karena, di banyak partai, kriteria tentang siapa yang lolos ke dalam daftar calon tetap dan siapa yang menjadi calon nomor sekian memang sering tidak transparan.
Tak sedikit calon yang menganggap perlu menyetor ”amplop” ke pengurus pusat partai agar bisa melenggang lolos. Kalaupun tak menyetor, berusahalah merapat ke pucuk pimpinan partai. Malkan Amin menepis kabar miring itu. ”Jangan harap mentang-mentang kenal Pak Jusuf Kalla lalu bisa jadi anggota DPR,” katanya.
Untuk mengurangi potensi konflik, PDIP punya cara sendiri. Setiap calon Partai Banteng diminta mengisi formulir khusus berisi rincian kompetensi masing-masing. ”Dari pembobotan masing-masing kriteria itu akan ketahuan skor totalnya,” kata Pramono Anung. ”Itulah yang menentukan nomor urut calon.”
BUKAN tak ada peluang menghindari nomor buncit. Jika disetujui Panitia Khusus RUU Pemilu, calon legislator bisa lolos ke Senayan jika mengantongi 25-35 persen dari bilangan pembagi pemilih. Di Jawa, rata-rata bilangan pembagi pemilih adalah 300 ribu. Artinya, untuk mendapat kursi, calon harus mengantongi minimal 75-105 ribu suara.
Artinya, mereka yang ingin lolos tanpa nomor urut dituntut bekerja keras di lapangan sejak sekarang—seraya menyiapkan pundi-pundi tebal. Dari perhitungan kasar saja, biaya politik yang harus dikeluarkan seorang bakal calon anggota DPR bisa mencapai miliaran rupiah.
Kunjungan rutin ke daerah pemilihan memakan biaya transportasi dan akomodasi tak sedikit. Apalagi jika sang calon berdomisili di Jakarta, sedangkan daerah pemilihannya di luar Jawa.
Jangan lupa biaya ”ubo rampai” lainnya: mencetak kaos, spanduk, bendera, sampai menggelar panggung hiburan dan mendatangkan massa. ”Menurut hitungan saya, bisa habis sampai satu-dua miliar,” kata Nurul Arifin.
Budiman Sudjatmiko, yang kini aktif di PDIP, juga mengaku menyiapkan anggaran khusus untuk pencalonannya dari daerah pemilihan Banyumas dan Cilacap, Jawa Tengah. ”Tapi, tidak sampai Rp 500 juta,” katanya.
Besar-kecilnya biaya politik ini memang sangat bergantung pada mengakar-tidaknya sang calon. Budiman, misalnya, asli kelahiran Cilacap dan punya jaringan petani di Banyumas. ”Sejak masih aktif di Partai Rakyat Demokratik saya sudah sering mengadvokasi komunitas petani di sana,” katanya.
Pekan ini, misalnya, Budiman akan membuka kantor khusus di Banyumas. Seluruh kegiatan politiknya akan dipusatkan di sana. ”Untuk sewa kantor dan perangkat komputer plus internet, saya cuma habis Rp 80 juta,” kata mantan Ketua Umum PRD itu. Dia berencana mengunjungi daerah pemilihannya setiap bulan dan menghabiskan dua-tiga hari di kantor barunya itu.
Para petinggi partai tak membantah perlunya ongkos politik pencalonan wakil rakyat ini. ”Tapi, besaran biayanya relatif,” kata Pramono Anung. Soalnya, meski partai juga tetap mengeluarkan dana kampanye, menurut Pramono, tanggung jawab terbesar ada di pundak sang calon sendiri.
Malkan Amin malah berterus terang, ”Jangan sampai maju pemilu tapi tak punya apa-apa.” Golkar cenderung membuka pintu untuk calon yang sudah mapan secara materi. ”Supaya tidak masuk DPR untuk mengejar kekayaan,” katanya. Namun, dia menjamin partai akan membantu jika ada kandidat bermutu tak punya doku.
Jadi, berapa idealnya seorang calon menguras kocek untuk membuka jalan ke Senayan? ”Taruhlah gaji anggota DPR itu Rp 50 juta sebulan, artinya dalam lima tahun dia dapat Rp 3 miliar,” kata Marzuki Alie. Maksudnya? ”Ya... kampanyenya jangan sampai habis lebih dari itu.”
Lalu, dari mana duit miliaran itu? Sudah jadi rahasia umum, tak sedikit pengusaha yang berminat menanamkan ”investasi politik” dengan menyumbang dana kampanye. ”Tentu semua harus dilaporkan, sesuai peraturan,” kata Malkan.
Mereka yang ngotot nyalon tapi tak kebagian sumbangan, mau tak mau harus mengandalkan pundi-pundi sendiri. Ada juga calon yang meminjam uang dari kerabat dan sohib dekat. Kalau sudah begitu, memang sulit dibantah: jalan menuju Senayan memang amat panjang—dan, alamak, mahalnya!
Wahyu Dhyatmika
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo