Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI ruang sidang Mahkamah Konstitusi kabar tak sedap itu merebak, Rabu dua pekan lalu. Mira Lesmana, produser film 3 Hari untuk Selamanya, menceritakan praktek tarif siluman di Lembaga Sensor Film (LSF). Untuk 3 Hari, yang menurut tarif sensor resmi mestinya tak lebih dari Rp 1,5 juta, plus 11 copy, Mira harus membayar Rp 8,25 juta. ”Tanda terima yang diberikan cuma kuitansi tanpa memuat logo atau cap LSF,” kata Mira.
Tarif sensor seharusnya cuma Rp 75 per meter film. Setelah diukur, 3 Hari yang berdurasi 104 menit itu panjangnya 2.850 meter. Artinya, ongkos sensor hanya Rp 200 ribuan. Adapun copy selanjutnya cuma dikenai separuh dari tarif copy pertama. Andai setiap film dikenai tarif tiga kali lipat seperti yang terjadi pada Mira, tidak sedikit dana siluman yang terkumpul dari hampir 30 ribu judul film yang lolos sensor LSF sepanjang tahun lalu.
Cerita Mira tentang tarif siluman sebenarnya bukan bahasan utama sidang Mahkamah. Ini adalah sidang kedua permohonan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 8/1992 tentang Perfilman. Sekelompok sineas muda yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia meminta Mahkamah membatalkan beleid yang isinya, antara lain, mengharuskan setiap film dan tayangan televisi melalui proses evaluasi lembaga sensor.
Beleid perfilman itu dilaksanakan dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 7/1994 yang melahirkan LSF dan pedoman penyensoran film. Lembaga inilah yang memiliki wewenang penuh memotong, atau bahkan menolak, sebuah film untuk diedarkan. Bagi para sineas yang diwakili, antara lain, oleh Riri Riza, Nia Dinata, Tino Saroenggalo, dan tentu saja Mira, keberadaan LSF telah memasung kreativitas mereka.
Mereka berpendapat, undang-undang dan peraturan pemerintah itu sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Apalagi, kedua produk hukum itu dibuat di masa Soeharto berkuasa, ketika segala kreativitas dan karya seni dipelototi kekuasaan. Berseberangan dengan mereka, para penentang judicial review yakin sensor mutlak diperlukan. Banyak adegan film yang dikhawatirkan membawa pengaruh buruk pada masyarakat.
Toh, selain memberikan kesaksian memperkuat permohonannya, Mira juga menyebut bahwa LSF bukan lembaga yang profesional. ”Kami bahkan tidak tahu rincian biaya yang harus kami bayarkan itu,” kata produser film Gie itu. Selain nilainya yang tidak kecil jika diakumulasi, seorang sineas yang kerap berurusan dengan LSF menaruh curiga ”gunting sensor LSF bisa diajak berkompromi untuk tidak memotong adegan yang seharusnya dibuang”.
Kecurigaan ini dibantah Ketua LSF, Titie Said. Menurut Titie, sebelum melakukan sensor, para petugas tidak tahu film apa yang akan disensor. Setiap film, katanya, disensor oleh kelompok yang terdiri dari lima orang. ”Kami baru tahu siapa empat orang lainnya setelah masuk ke ruang sensor,” kata mantan wartawan dan penulis novel ini. Titie menjamin lembaganya menyensor tanpa pengaruh siapa pun, termasuk pembuat atau pemilik film.
Titie mengatakan, panduan menggunting film jelas diatur dalam peraturan pemerintah. Namun, sesungguhnya LSF sudah lebih luwes menerapkan aturan tersebut. Dalam film Buruan Cium Gue, misalnya, beberapa adegan yang seharusnya dipotong dicoba dibiarkan. ”Saya memang melakukan uji coba, apakah masyarakat bisa menerima.” Ternyata film yang beredar pada 2004 itu mendapat banyak protes luas sehingga LSF menarik tanda lulus sensornya.
Soal guntingan LSF, M. Jafar, karyawan sebuah perusahaan distributor film, punya cerita sendiri. Menurut Jafar, sering ada rasa iri di antara mereka yang mengajukan sensor ketika membandingkan hasil filmnya yang disensor dengan film lain yang juga disensor. ”Kok adegan yang lebih parah di film lain malah dilepas, sedangkan di film saya cuma ciuman sedikit disensor,” katanya, menirukan keluhan mereka. Inilah yang menimbulkan dugaan, bahkan tuduhan, ada ”permainan” di lembaga penggunting itu.
Berdasarkan pengalamannya, Jafar menduga hasil sensor bisa berbeda karena berlainan persepsi di antara 43 anggota LSF. Hal ini dimanfaatkan orang-orang yang biasa mengurus sensor. ”Para petugas sensor sudah lama tidak diganti, sehingga bisa diketahui siapa yang lebih luwes dan sebaliknya,” kata bekas karyawan Jakarta International Film Festival itu. Orang yang biasa mengurus pun sudah hafal dengan jadwal para petugas itu.
Bisa jadi, Jafar melanjutkan, hal ini juga dimanfaatkan oleh orang dalam, atau calo, untuk menawarkan bantuan kepada para produser film. Buktinya adalah kuitansi tanpa cap LSF—dan tidak dijelaskan posisi orang yang menandatanganinya—seperti yang diterima Mira Lesmana. Titie mengatakan, LSF selalu memberi tanda terima dengan kepala surat dan cap resmi. ”Kalau soal calo mungkin ada, tapi kami tidak menerima uang apa pun,” kata Titie.
Jasa calo ini yang mungkin dimanfaatkan Cristy, seorang pemilik rumah produksi iklan di Jakarta Selatan. Ia mengaku mengurus sensor melalui jalur cepat, cuma tiga hari. ”Ada orang yang ngurusin, cuma bayar lebih dikit,” katanya. Tak jauh beda dengan biaya calo surat izin mengemudi, Cristy hanya merogoh Rp 400 ribu untuk iklan yang disensor. ”Biaya resmi mungkin separuhnya, tapi gue mau urusan cepat beres,” katanya.
Soal sensor cepat, Titie mengatakan bahwa memang sensor bisa selesai pada hari yang sama. Bahkan LSF juga bersedia menyensor pada hari libur jika ada pemberitahuan sebelumnya dari pemohon. Soal sensor terhadap acara kejar tayang, semisal sinetron, menurut dia, memang sulit dilakukan karena ada materi yang baru dikirim tapi akan ditayangkan setengah jam kemudian. Walhasil, ada stasiun televisi yang lebih dulu menayangkan acara sebelum disensor.
Adek Media Roza
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo