Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIREKTUR Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network atau SAFEnet Nenden Sekar Arum masih ingat ketika lembaganya pertama kali mengusulkan pembentukan dewan media sosial (DMS). SAFEnet mengusulkan pembentukan lembaga itu saat Mahfud Md. menjabat pelaksana tugas Menteri Komunikasi dan Informatika menggantikan Johnny Gerard Plate karena menjadi tersangka korupsi pada Mei tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat itu pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat juga tengah membahas revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). SAFEnet berharap lembaga yang akan menjadi mediator sengketa di media sosial tersebut dapat diakomodasi dalam revisi UU ITE.
“Namun revisi tersebut tidak memuat apa yang kami usulkan,” kata Nenden kepada Tempo, Ahad, 26 Mei 2024.
Setelah itu, Nenden tak pernah mendapat kabar dari Kementerian Komunikasi mengenai usulan pembentukan dewan media sosial. “Sampai hari ini belum ada komunikasi lagi soal pembentukan dewan media sosial,” katanya.
Belakangan Nenden terkejut ketika mengetahui Menteri Komunikasi Budi Arie Setiadi hendak membentuk lembaga tersebut. Ia pun khawatir keberadaan lembaga ini nantinya tidak sesuai dengan harapan awal SAFEnet saat diusulkan.
Sesuai dengan usulan SAFEnet, lembaga ini meminta pemerintah mempedomani enam prinsip dalam pembentukan dewan media sosial. Keenam prinsip tersebut adalah berskala nasional dan berkonteks lokal, mencakup perwakilan dari semua pemangku kepentingan, serta independen dari perusahaan media sosial.
Selanjutnya menerima keluhan dari pengguna individu hanya setelah semua kemungkinan menyelesaikan masalah dengan perusahaan media sosial habis; sanksi yang diberikan non-finansial dan non-pidana; serta bekerja untuk kepentingan umum, transparan, dan akuntabel kepada publik.
Di samping itu, SAFEnet menawarkan komposisi keanggotaan dewan media sosial yang terdiri atas enam unsur. Keenam unsur tersebut adalah akademikus, pemerintah, regulator media, pekerja media, industri periklanan, dan organisasi kemasyarakatan.
Mereka juga mengusulkan agar keberadaan dewan media sosial diakomodasi dalam UU ITE, yaitu pada Pasal 40 ayat 2c. Karena usulan ini tak diakomodasi dalam UU ITE, Nenden meminta Kementerian Komunikasi meninjau ulang pembentukan dewan media sosial tersebut. Alasannya, lembaga itu diusulkan menjadi solusi alternatif terhadap moderasi konten yang selama ini sarat kepentingan pemerintah serta memberikan ruang kepada masyarakat dalam penyelesaian sengketa di media sosial.
Baca:
SAFEnet, UNESCO—lembaga PBB di bidang pendidikan dan kebudayaan, Universitas Gadjah Mada, serta Center for Digital Society (CfDS) pernah mengkaji rencana pembentukan lembaga itu di Indonesia pada 2022. Nenden membenarkan adanya pengkajian tersebut. Kajian keempat lembaga tersebut adalah mengusulkan adanya keterlibatan masyarakat sipil dan pihak berkepentingan lain untuk menangani serta menyelesaikan sengketa konten di media sosial yang dinilai bermasalah.
Namun, “Dengan situasi ini, kami khawatir pembentukan DMS rawan dikooptasi,” ujar Nenden.
Konten digital pemilihan presiden 2024 di salah satu media sosial, 8 Desember 2023. TEMPO/Ijar Karim
Saat ditemui di rumah dinasnya pada Kamis pekan lalu, Menteri Komunikasi Budi Arie Setiadi mengatakan lembaganya akan membentuk dewan media sosial. Ia mengklaim rencana itu merujuk pada usulan SAFEnet serta kajian UNESCO.
Budi Arie mengatakan bentuk dewan media sosial akan serupa dengan Dewan Pers, yang berfungsi menyelesaikan sengketa pers. Dewan media sosial juga akan menjadi lembaga independen, yang anggotanya berasal dari berbagai pihak, antara lain organisasi masyarakat sipil, akademikus, pers, komunitas, ahli, praktisi, dan pelaku industri. “Kami menjamin kebebasan berpendapat,” katanya.
Ketua Projo—tim pendukung Joko Widodo dalam pemilihan presiden 2014 dan 2019—itu mengatakan dewan media sosial akan menjadi mediator dalam berbagai persoalan sengketa di media sosial, termasuk konten yang berindikasi melanggar UU ITE. Dewan media sosial, kata dia, akan berupaya menjadi ruang awal untuk menyelesaikan persoalan sengketa media sosial.
“Jika terbentuk, DMS akan menjadi mitra strategis pemerintah dalam tata kelola media sosial, termasuk memastikan kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di ruang digital,” katanya.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar ragu posisi dewan media sosial akan serupa dengan Dewan Pers. Sebab, dasar hukum pembentukan Dewan Pers adalah UU Pers, sedangkan dewan media sosial tak diatur dalam undang-undang. Ia menduga lembaga itu nantinya berada di bawah pemerintah.
“Membentuk lembaga independen itu syaratnya dibentuk oleh undang-undang. Jika usulan dalam revisi kedua Undang-Undang ITE saja ditolak, bagaimana bisa dikatakan lembaga ini akan independen,” kata Wahyudi.
Menurut Wahyudi, rencana Kementerian Komunikasi membentuk dewan media sosial justru patut dicurigai. Sebab, pemerintah ataupun DPR sejak awal menolak keberadaan lembaga tersebut diakomodasi dalam UU ITE. ”Saya membaca, revisi itu justru memperkuat kewenangan pemerintah dengan dalih memoderasi konten,” katanya.
Wahyudi mengusulkan agar Kementerian Komunikasi membatalkan rencana pembentukan dewan media sosial. Ia justru menyarankan pemerintah membentuk panel konten di level platform agar konten termoderasi. Di sini peran pemerintah hanya menguji konten media sosial. “Proses penyelesaian sengketa tetap dilakukan pengguna dan platform. Ini tentu minim dari intervensi saat harus dilakukan pemutusan akses terhadap konten yang dianggap bermasalah,” ujarnya.
Kepolisian menunjukkan bukti akun media sosial tersangka kreator propaganda dan penyebaran hoaks di salah satu media sosial di gedung Humas Polri, Jakarta, 2019. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Mantan Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto, mengatakan pemerintah mesti memperhatikan prinsip bahwa komposisi anggota dewan media sosial mencakup perwakilan seluruh pemangku kepentingan ketika hendak membentuk lembaga tersebut. “Prinsip lain yang tak kalah penting, DMS harus independen dan bekerja untuk kepentingan umum, transparan, serta akuntabel bagi publik,” kata Damar.
Pengampu kelas politik digital ini berpendapat, Kementerian Komunikasi dapat merujuk Pasal 40 ayat 2d UU ITE dalam membentuk dewan media sosial. Pasal ini mengatur bahwa pemerintah berwenang mengatur penyelenggara sistem elektronik untuk memodernisasi konten terhadap informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan berbahaya bagi keselamatan nyawa atau keselamatan individu atau masyarakat.
Selanjutnya, kata dia, pemerintah membuat aturan turunan yang isinya melibatkan unsur masyarakat dalam mengelola konten di media sosial. “Pertanyaannya, apakah pembentukan DMS di Indonesia ini akan mengikuti konsep seperti di kajian atau tidak,” ujar Damar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Francisca Christy Rosana berkonstribusi dalam penulisan artikel ini. Perbaikan 28 Mei 2024 pada nama Projo. Sebelumnya tertulis "Pro Joko Widodo"