Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BARAK penampungan di bantaran Sungai Cot Iri, Aceh Besar, itu tak ubahnya perkampungan kumuh. Jika turun hujan, becek. Sampah berhamburan di mana-mana. Penghuninya penuh sesak: 170 rumah penampungan sementara diisi 700-an orang.
Barak itu baru berumur setahun setengah. Para penghuninya adalah pengungsi korban tsunami, yang selama satu setengah tahun sebelumnya tinggal di tenda-tenda di kawasan Lampeunerut, Kecamatan Lambaro, Aceh Besar. Mereka penduduk Banda Aceh, Aceh Besar, dan Aceh Jaya.
Hidup mereka alakadarnya. Air bersih sulit, sanitasi buruk, tapi tak ada pilihan. Rumah baru, pengganti tempat tinggal mereka yang musnah ditelan ombak, dua tahun silam, tak kunjung dibangun.
Irwan, penghuni rumah penampungan Cot Iri bernomor 13, adalah warga Desa Punge Blang Cut, Jaya Baru, Banda Aceh. Ia dulu punya tanah dan rumah yang reruntuhannya kini kerap ia sambangi. Ia sudah menulis proposal, lalu melengkapi data yang diperlukan, agar bisa dibangunkan rumah. ”Lebih dari dua puluh kali saya membuatnya,” kata Irwan, Selasa pekan lalu, tepat dua tahun setelah tsunami.
Lama dinanti, rumah untuk Irwan mulai dibangun sejak Oktober lalu. Kini rumah telah berdiri, walau tak sempurna—ini dalam arti sebenar-benarnya. ”Baru dibangun, eh, plafonnya sudah jatuh,” katanya. ”Listrik belum ada, begitu pula air bersih.” Ia pun memutuskan tetap tinggal di penampungan sementara.
Pada Ahad pagi, 26 Desember 2004, gempa dan tsunami merontokkan sebagian besar wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Sekitar 167 ribu orang tewas atawa hilang. Hampir setengah juta orang kehilangan tempat tinggal.
Gelombang pasang juga menghancurkan lebih dari 2.000 gedung sekolah, delapan rumah sakit, 114 pusat kesehatan masyarakat. Jalan sepanjang 3.000 kilometer hanyut, 14 dari 19 pelabuhan rontok, dan 120 jembatan musnah.
Dua tahun setelah petaka itu, masalah hunian untuk para korban belum terselesaikan. Sekitar 47 ribu orang masih tinggal di barak-barak penampungan. Mereka setiap bulan memperoleh 10 kilogram beras, tujuh liter minyak tanah, dan lima dus mi instan per orang.
Problem tempat tinggal ini juga dialami Nasrul, penduduk Dusun Tongkol, Ulee Lheue, yang kampungnya lenyap ditelan ombak. Ia kini menghuni barak di Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh. Barak ini berbentuk rumah panggung papan beratap seng.
Dua tahun dihuni, barak sementara itu tampak rapuh. Kepada Tempo yang mengunjunginya tiga pekan lalu, Nasrul menunjukkan lantai dari papan yang sudah keropos. ”Diinjak saja bisa jebol,” kata nelayan 33 tahun yang tinggal di situ bersama 60 keluarga lainnya.
Barak itu dibagi menjadi 24 kamar berukuran 10 meter persegi, masing-masing dihuni dua keluarga. Untuk para bujangan, satu kamar diisi empat orang. Setiap kamar memiliki dapur yang letaknya sekitar 10 meter dari barak. Dapur berdinding seng yang berderet itu diberi nomor sebagai penanda untuk pemiliknya.
Hampir dua tahun Nasrul hidup di barak, berbagi ruang dengan sepasang suami-istri lainnya. Kedua keluarga itu sepakat menyekat kamar dengan tripleks. ”Saya sebenarnya sudah tidak sanggup lagi, apalagi istri saya sedang hamil,” kata pria itu, sambil berharap segera memperoleh rumah.
Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh—badan yang menjadi payung koordinasi 400 lembaga nonpemerintah dari dalam dan luar negeri untuk kegiatan rekonstruksi, mengklaim telah membangun 57 ribu rumah permanen dari 128 ribu rumah yang dibutuhkan. Sebanyak 22 ribu rumah lainnya dalam proses penyelesaian. ”Pada Maret 2007, 79 ribu rumah selesai dibangun,” kata Koentoro Mangkusubroto, Ketua BRR.
Untuk membangun rumah pada 2005–2006, BRR menetapkan anggaran Rp 27 juta per unit. Anggaran itu akan dinaikkan menjadi Rp 52–60 juta pada 2007 ini.
Koentoro mengakui pembangunan rumah ini terlambat. Alasannya, masalah sertifikasi tanah yang tak kunjung tuntas. Soal sertifikasi ini disebutnya sebagai penyebab sulitnya mencari tanah relokasi. ”Sebab, sebelum tsunami, para pengungsi umumnya penyewa,” tuturnya.
Sudirman Said, Ketua Divisi Informasi dan Komunikasi BRR, bahkan menyatakan, ”Orang memprotes mengapa sudah dua tahun pembangunan rumah tak segera selesai? Mau main sulap apa pun, rumah tak akan selesai dalam dua tahun.”
Menurut Heru Prasetyo, Direktur Donor dan Hubungan Internasional BRR, kecepatan pembangunan rumah memang tak seragam. Di awal pembangunan, katanya, kecepatannya sangat tinggi, karena belum ada standar pembangunan, dan tumpang tindih kepemilikan lahan belum terjadi. Daerah pembangunan umumnya juga masih dekat.
Makin lama, lokasi yang harus dibangun makin ke pegunungan dan pelosok. Tingkat kesulitan memperoleh logistik pun semakin tinggi. ”Inilah yang menyebabkan perlambatan kecepatan pembangunan rumah,” kata Heru.
Alasan para pejabat BRR itu bisa jadi benar, namun para aktivis antikorupsi di Aceh juga memperoleh temuan menarik tentang rumah-rumah yang selesai dibangun, baik oleh kontraktor yang direkrut BRR maupun oleh organisasi-organisasi nonpemerintah.
Pada Agustus-November 2006, Gerakan Antikorupsi Aceh melakukan survei terhadap rumah-rumah yang selesai dibangun. Mereka mengambil sampel di delapan kabupaten, dengan 16 lokasi sampel rumah yang dibangun BRR dan 16 lokasi lainnya dibangun organisasi nonpemerintah.
Para aktivis Gerakan mengamati proses perencanaan, pelelangan, hingga realisasi pembangunan di lapangan. Mereka membandingkan spesifikasi rumah yang ditentukan dengan rumah yang dibangun. Hasilnya sungguh mengejutkan: separuh lebih dari rumah yang disurvei ternyata bermasalah.
Akhiruddin Mahyuddin, Koordinator Gerakan Antikorupsi Aceh, menyebutkan aneka penyimpangan yang ditemukan organisasinya, di antaranya penggelembungan anggaran, pengutipan uang, pembangunan yang disubkontrakkan, juga rumah yang tidak sesuai dengan spesifikasi. ”Kami menemukan rumah yang dibangun tanpa kakus, dinding retak-retak, juga dibuat dengan kayu berkualitas rendah,” kata Khalik Saing, pemimpin proyek penelitian pembangunan rumah dari Gerakan Antikorupsi Aceh, kepada Tempo.
Badan Pemeriksa Keuangan juga menemukan masalah yang hampir serupa, di antaranya 1.710 unit rumah dinyatakan tidak sesuai spesifikasi. Nilai proyek ini sekitar Rp 1,4 miliar. Ada pula pembangunan 50 unit rumah di Banda Aceh yang mangkrak karena ditinggal lari kontraktornya. Di Aceh, bangunan-bangunan yang belum jadi tapi ditinggalkan begitu saja oleh para kontraktornya itu dijuluki ”monumen tsunami”.
Mirza Keumala, juru bicara BRR, menyatakan menghormati temuan Gerakan Antikorupsi Aceh itu. ”Temuan ini akan menjadi masukan agar kami melakukan perbaikan pada pembangunan rumah selanjutnya,” katanya.
BRR juga berencana merehabilitasi rumah yang telah selesai dibangun. Itu dilakukan untuk rumah-rumah yang belum memiliki persediaan air dan sistem sanitasi, termasuk yang dibangun oleh lembaga nonpemerintah.
Budi Setyarso, Eduardus KD dan Maemun S (Calang), Adi Warsidi (Banda Aceh), Imran MA (Lhokseumawe)
Baru 50 Persen Diperbaiki
Tsunami pada penghujung Desember 2004 membuat setengah juta lebih warga Aceh dan 13.500 keluarga di Nias, Sumatera Utara, kehilangan tempat tinggal. Lebih dari 2.100 sekolah hancur di dua provinsi itu, mengakibatkan 150 ribu siswa kehilangan kelas. Tak kurang dari 114 pusat kesehatan ikut luluh-lantak. Dua tahun sudah lewat. Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh- Nias telah berhasil mengoperasikan kembali semua pelabuhan laut dan lapangan terbang. Namun, program rehabilitasi rata-rata baru berjalan sekitar 50 persen. Inilah yang berhasil dicapai hingga akhir Desember lalu.
Sampah Jumlah5.765.000 m3 Dibersihkan 1 juta m3 Persentase 17%
Rumah
ACEH Rusak 110.000 Dibangun/ diperbaiki 57.000 Persentase 51%
NIAS Rusak 13.500 Dibangun/diperbaiki 5.440 Persentase 40%
Sekolah
ACEH Rusak 1.245 Dibangun/diperbaiki 623 Persentase: 50%
NIAS Rusak 755 Dibangun/ diperbaiki 124 Persentase: 16%
Rumah Sakit
ACEH Rusak 6 Dibangun/diperbaiki 3 Persentase 50%
NIAS Rusak 2 Dibangun/diperbaiki 1 Persentase 50%
Jalan
ACEH Rusak 1.934 km Dibangun/diperbaiki 1.200 km Persentase 62%
NIAS Rusak 1.066 km Dibangun/diperbaiki 309 km Persentase 29%
Lahan Pertanian Rusak 70.000 ha Diperbaiki 50.000 ha Persentase 71%
Kapal Nelayan Rusak 4.717 Diganti 4.420 Persentase 94%
Tambak ikan Rusak 20.000 ha Diperbaiki 6.800 ha Persentase 34%
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo