Menarik membaca berita TEMPO mengenai Adnan Buyung Nasution, S.H. yang diduga telah melakukan suatu contempt of court (TEMPO 8 Maret, Hukum). Melihat Pasal 153 KUHAP dan seterusnya, jelas bahwa yang memimpin acara di pengadilan adalah hakim. Kalau terjadi sesuatu atas diri penasihat hukum yang dianggap oleh hakim dapat menurunkan wibawa peradilan atau merupakan tindakan penghinaan terhadap pengadilan, dapat saja hakim -- dengan wewenangnya -- memberikan teguran. Apabila teguran itu tidak diperhatikan, hakim dapat memerintahkan agar penasihat hukum meninggalkan ruang sidang dengan catatan agar panitera mencatat apa yang telah terjadi pada acara peradilan itu sendiri. Catatan itu kemudian dilanjutkan atau diteruskan ke Dewan Kehormatan Advokat untuk kemudian -- apabila memang tindakan penasihat hukum dianggap oleh Dewan kehormatan merupakan tindakan yang merusakkan wibawa peradilan -- barulah pada saat itu acara sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang No 14/1985, yaitu mengenai contempt of court, dapat dilaksanakan selanjutnya oleh pengadilan yang bersangkutan. Selain berita tersebut, kalau memang benar-benar kita hendak menerapkan arti sebenarnya contempt of court sebaiknya kita mengambil arti dasar yang berlaku di negara-negara dengan sistem peradilan Barat. Contempt berarti ketidakpatuhan terhadap pejabat umum. Kita mengenal contempt of court, contempt of legislator, dan contempt of parliament. Khusus untuk contempt of court dapat kita klasifikasikan: criminal contempt dan civil contempt. Criminal contempt adalah ketidakpatuhan langsung yang ditujukan pada hakim yang memimpin sidang dan mempunyai saksi pidana. Ada juga ketidakpatuhan yang berbentuk sabotase terhadap perintah-perintah pengadilan, misalnya menghalang-halangi dilaksanakannya conservatoir beslag, atau, dalam perkara perdata, mungkin saja bisa dimasukkan di dalam kategori contempt: apabila seorang penggugat yang wajib memberikan bukti-bukti aslinya, atas perintah hakim yang memimpin sidang, lalai mengajukan bukti-bukti asli tersebut, sehingga pihak tergugat dirugikan. Tepatkah istilah contempt of court dicantolkan di dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985? Lebih-lebih, mengingat bahwa situasi peradilan pada sistem Barat berbeda dengan peradilan di Indonesia. Di dunia Barat orang begitu patuh pada peradilan, sehingga dapat dikategorikan dalam perbuatan contempt of court: setiap tindakan yang dapat merusakkan wibawa pengadilan dan keadilan, sehingga Humas Kejaksaan yang telah merelease berita terbongkarnya suatu manipulasi atau suatu kejahatan -- press release ini mempengaruhi jalannya sidang -- dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan contempt of court. Apalagi kalau keputusan nanti adalah membebaskan terdakwa. Atau, berita yang dilansir oleh wartawan di pengadilan tanpa mengikuti jalannya sidang atau jaksa, yang seharusnya menghadirkan barang bukti, lalai melaksanakan kewajibannya sesuai dengan acara yang berlaku. Seorang terdakwa pun yang secara emosi menjawab pertanyaan-pertanyaan hakim pasti daoat dikenai contempt of court. Last but not least, hakim yang telah memanggil saksi-saksi dan terdakwa untuk menghadiri sidang, akhirnya menunda sidang hanya karena alasan bahwa salah seorang anggota keluarga majelis hakim mengalami musibah -- anggota yang bersangkutan harus mengunjungi keluarga yang mendapat musibah -- yang mengakibatkan sidang ditunda. Nah, apabila hal tersebut dikenakan terhadap seorang penasihat hukum, apakah bukan lebih tepat mengikuti acara bahwa yang bersangkutan diperiksa oleh Dewan Kehormatan Kode Etik begitu pula atas diri dokter dan wartawan? Bagaimana kalau jaksa? Tentu korps jaksa harus memeriksa jaksa yang bersangkutan sebelum menyerahkan yang bersangkutan ke pengadilan untuk suatu pelanggaran ketidakpatuhan terhadap pengadilan dan pelaksanaan keadilan. Sangat berbahaya apabila dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 contempt of court dipermasalahkan tanpa diberikan definisi hukum yang tepat -- unsur-unsur mana yang harus dipenuhi sehingga seseorang dapat didakwa melakukan suatu contempt. Apabila hal ini tidak secara tegas dipermasalahkan, akhirnya pengadilan tidak lain daripada adegan pamer kekuasaan, yang setiap waktu hakim dapat memutuskan bahwa para pihak -- entah itu jaksa, terdakwa, ataupun penasihat hukum -- telah melakukan suatu contempt of court. Padahal, dari arti dasar di atas, hakim sendiri pun dapat dianggap telah tidak patuh pada acara peradilan yang ditetapkan sendiri oleh pengadilan. Pertanyaan selanjutnya, dari segi integritas, apakah sudah tepat mengambil alih bulat-bulat contempt of court yang berlaku di bawah sistem peradilan Barat. O.C. KALIGIS, S.H. Jalan Majapahit 34/4 Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini