Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Wajib Apel ASN Tak Berkorelasi dengan Nasionalisme

ASN akan diwajibkan ikut apel pagi saban Senin. Tak ada korelasi dengan peningkatan nasionalisme.

11 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah Pegawai Negeri Sipil Pemerintahan Kecamatan Johar Baru mengikuti apel di Kantor Kecamatan Johar Baru, Jakarta. TEMPO/Subekti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • ASN akan diwajibkan ikut apel pagi saban Senin dengan alasan nasionalisme.

  • Aturan ini dikeluarkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

  • Sejumlah pihak menilai cara lama ini tak berkaitan dengan peningkatan nasionalisme.

JAKARTA – Aturan wajib apel pagi bagi aparat sipil negara (ASN) yang diterbitkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo tak berkorelasi dengan peningkatan nasionalisme. Sejumlah pihak ragu upacara akan berhasil mendongkrak nasionalisme ASN.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anggota Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat, Mardani Ali Sera, ragu upacara bendera dan seremonial pembacaan Pancasila sukses mendongkrak nasionalisme ASN pada zaman modern. "Cara lama sulit untuk berhasil di era sekarang. Walhasil mesti ada cara yang lebih substansial," kata Mardani ketika dihubungi, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menyusun aturan baru bagi seluruh ASN, seperti kegiatan apel pagi saban Senin. Detail kegiatan upacara tersebut terdiri atas pengibaran bendera Merah Putih, hormat bendera, menyanyikan lagu Indonesia Raya, hingga pembacaan teks Pancasila, ikrar Korpri, serta arahan pembina upacara.

Selain upacara bendera, aturan baru tersebut mewajibkan ASN menyanyikan lagu Indonesia Raya setiap Selasa dan Kamis. Kemudian membacakan teks Pancasila pada Rabu dan Jumat. Sesuai dengan rencana, aturan tersebut mulai dilaksanakan di seluruh kantor kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah pada pekan kedua Juni 2021.

Menurut Mardani, cara yang lebih tepat sasaran membumikan nasionalisme di jiwa pegawai negeri bisa berupa meningkatkan integritas antikorupsi. Selain itu, bisa dengan dialog yang membahas pluralisme bangsa Indonesia yang berbasis pada semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Cara terakhir, bisa dengan mendukung prestasi olahraga. Sebab, olahraga dianggap menjadi cara paling mudah menumbuhkan semangat kebangsaan. "Ibarat pepatah Anda tidak dapat menemukan pulau baru dengan peta yang lama," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera tersebut.

Aktivitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) DKI Jakarta di Kantor Kelurahan Lenteng Agung, Jakarta, 17 Mei 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

Adapun anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Zulkifli Hasan, menganggap wajar aturan baru Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tersebut. Namun, menurut dia, upaya peningkatan nasionalisme tak bisa semata lewat kegiatan upacara bendera. "Yang lebih penting pelaksanaan (nasionalisme) atau praktik utamanya oleh penyelenggara negara," kata Zulkifli lewat pesan pendek, kemarin.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menganggap upacara bendera tak akan terlalu berguna dalam meningkatkan nasionalisme para ASN. Ia justru menyebut kembalinya kewajiban upacara bendera seperti mengulang zaman Orde Baru. "Pada masa itu, rajin upacara tidak mempengaruhi rasa cinta Tanah Air. Buktinya, perilakunya masih korup saja," kata Trubus ketika dihubungi, kemarin.

Menurut Trubus, fenomena tergusurnya nasionalisme di tingkat ASN memang menjadi fakta. Meski jumlahnya sedikit, ada saja pegawai negeri yang terpapar paham radikalisme atau ideologi lain yang menggantikan Pancasila.

Namun kegiatan upacara bendera hingga pembacaan teks Pancasila tak serta-merta menjadi solusi. "Sebab, penyelesaian masalah ini ada pada tataran edukasi, bukan rutinitas," kata Trubus.

Ia pun khawatir kewajiban upacara justru bisa memperparah ASN yang sudah punya semangat anti-Pancasila. Walhasil, dari luar pegawai negeri itu tampak cinta Tanah Air, tapi di dalam dirinya semakin berkobar ideologi yang berbau syariah atau paham lain. "Khawatirnya, Pancasila semakin menjadi bahan olok-olok bagi mereka yang sudah memegang ideologi lain," kata Trubus.

Adapun Menteri Tjahjo Kumolo mempersilakan kritik dari masyarakat atas keputusannya tersebut. "Pendapat masyarakat silakan, kan tidak harus dikomentari," kata Tjahjo dalam pesan pendeknya, kemarin.

INDRA WIJAYA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Indra Wijaya

Indra Wijaya

Bekarier di Tempo sejak 2011. Alumni Universitas Sebelas Maret, Surakarta, ini menulis isu politik, pertahan dan keamanan, olahraga hingga gaya hidup.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus