Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
ASN akan diwajibkan ikut apel pagi saban Senin dengan alasan nasionalisme.
Aturan ini dikeluarkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Sejumlah pihak menilai cara lama ini tak berkaitan dengan peningkatan nasionalisme.
JAKARTA – Aturan wajib apel pagi bagi aparat sipil negara (ASN) yang diterbitkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo tak berkorelasi dengan peningkatan nasionalisme. Sejumlah pihak ragu upacara akan berhasil mendongkrak nasionalisme ASN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat, Mardani Ali Sera, ragu upacara bendera dan seremonial pembacaan Pancasila sukses mendongkrak nasionalisme ASN pada zaman modern. "Cara lama sulit untuk berhasil di era sekarang. Walhasil mesti ada cara yang lebih substansial," kata Mardani ketika dihubungi, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menyusun aturan baru bagi seluruh ASN, seperti kegiatan apel pagi saban Senin. Detail kegiatan upacara tersebut terdiri atas pengibaran bendera Merah Putih, hormat bendera, menyanyikan lagu Indonesia Raya, hingga pembacaan teks Pancasila, ikrar Korpri, serta arahan pembina upacara.
Selain upacara bendera, aturan baru tersebut mewajibkan ASN menyanyikan lagu Indonesia Raya setiap Selasa dan Kamis. Kemudian membacakan teks Pancasila pada Rabu dan Jumat. Sesuai dengan rencana, aturan tersebut mulai dilaksanakan di seluruh kantor kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah pada pekan kedua Juni 2021.
Menurut Mardani, cara yang lebih tepat sasaran membumikan nasionalisme di jiwa pegawai negeri bisa berupa meningkatkan integritas antikorupsi. Selain itu, bisa dengan dialog yang membahas pluralisme bangsa Indonesia yang berbasis pada semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Cara terakhir, bisa dengan mendukung prestasi olahraga. Sebab, olahraga dianggap menjadi cara paling mudah menumbuhkan semangat kebangsaan. "Ibarat pepatah Anda tidak dapat menemukan pulau baru dengan peta yang lama," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera tersebut.
Aktivitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) DKI Jakarta di Kantor Kelurahan Lenteng Agung, Jakarta, 17 Mei 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis
Adapun anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Zulkifli Hasan, menganggap wajar aturan baru Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tersebut. Namun, menurut dia, upaya peningkatan nasionalisme tak bisa semata lewat kegiatan upacara bendera. "Yang lebih penting pelaksanaan (nasionalisme) atau praktik utamanya oleh penyelenggara negara," kata Zulkifli lewat pesan pendek, kemarin.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menganggap upacara bendera tak akan terlalu berguna dalam meningkatkan nasionalisme para ASN. Ia justru menyebut kembalinya kewajiban upacara bendera seperti mengulang zaman Orde Baru. "Pada masa itu, rajin upacara tidak mempengaruhi rasa cinta Tanah Air. Buktinya, perilakunya masih korup saja," kata Trubus ketika dihubungi, kemarin.
Menurut Trubus, fenomena tergusurnya nasionalisme di tingkat ASN memang menjadi fakta. Meski jumlahnya sedikit, ada saja pegawai negeri yang terpapar paham radikalisme atau ideologi lain yang menggantikan Pancasila.
Namun kegiatan upacara bendera hingga pembacaan teks Pancasila tak serta-merta menjadi solusi. "Sebab, penyelesaian masalah ini ada pada tataran edukasi, bukan rutinitas," kata Trubus.
Ia pun khawatir kewajiban upacara justru bisa memperparah ASN yang sudah punya semangat anti-Pancasila. Walhasil, dari luar pegawai negeri itu tampak cinta Tanah Air, tapi di dalam dirinya semakin berkobar ideologi yang berbau syariah atau paham lain. "Khawatirnya, Pancasila semakin menjadi bahan olok-olok bagi mereka yang sudah memegang ideologi lain," kata Trubus.
Adapun Menteri Tjahjo Kumolo mempersilakan kritik dari masyarakat atas keputusannya tersebut. "Pendapat masyarakat silakan, kan tidak harus dikomentari," kata Tjahjo dalam pesan pendeknya, kemarin.
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo