Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Warung-Warung Di Km 18

WTS liar tumbuh subur di desa Landasan Ulin, Kal-Sel. mereka berpraktek di warung-warung nasi yang sekaligus menyediakan kamar. Ada yang mengusulkan agar mereka dilokalisasi di pinggir hutan.

5 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI kecamatan Landasan Ulin, yang termasuk wilayah kota administratif Banjarbaru, kantor kecamatan bergaya mutakhir dan masih mulus. Gedung itu anggun bercokol di pinggir jalan masuk menuju pelabuhan udara Syamsuddin Noor. Di seluruh Kalimantan Selatan, hanya kantor kecamatan Cempakalah yang dapat menandinginya. Bahkan jauh lebih segar dari kantor walikotanya yang di Banjarbaru. Dilengkapi mobil pemilu, gengsi kantor dan camatnya tentu saja, bertambah beberapa derajat. Sementara itu di tempat yang dahulunya langka bangunan, tumbuh pula bangunan-bangunan baru. Yang semuanya mengikuti "selera zaman" Harga tanah pun dikabarkan ikut meningkat berlipat-lipat. Namun tak berarti tak ada yang dirisaukan. Sebab bukan rahasia lagi, Landasan Ulin termasuk daerah rawan. Seperti diakui oleh Gusti Bahruddin Noor, Camat Landasan Ulin, di wilayahnya sekarang makin membiak warung-warung siluman alias warung yang berdwi fungsi. Yakni selain berperanan sebagai warung atau rumah makan, juga berfungsi sebagai tempat praktek pelacur. Tentu saja peranan yang kedua itulah yang lebih menonjol. Tak heran, kalau ada rumah makan yang makin memperluas bagian belakangnya dengan beberapa ruangan lagi. Berupa ruangan khusus yang lebih nyaman dan sekaligus aman. Ini untuk kelas VIP atau kakap. Sebab untuk kelas murahan tersedia di sudut-sudut. Terbuka siang malam. Yang letaknya jauh ke dalam dari jalan raya, bagi camat tak jadi soal. Ia masih mau berpicing mata dan menutup kuping. Sebab yang begituan bukan cuma masalah bagi kacamatannya doang. Tapi rupanya telinganya semakin bising juga oleh gerutuan masyarakat yang melihat pertumbuhan warung siluman di kilometer 18, dekat perbatasan dengan kecamatan Gambut tetangganya makin pesat. Apalagi letaknya persis di pinggir jalan protokol yang semakin ramai arus lalu lintasnya. Sopir-sopir menjulukinya "warung itik bakisar". Ha? Begini kisahnya. Lokalisasi Dahulu jalan ini merupakan tanah nganggur tanpa rumah. Maklum tanahnya, tanah gambul yang masih masam airnya. Artinya belum bisa dimanfaatkan buat bercocok tanam, kecuali nenas. Itupun buahnya terasa hambar. Namun ada orang yang dapat inspirasi. Ia membuat rumah yang halaman belakangnya diberi berpagar kayu hutan. Parit-parit pun digali untuk melepas puluhan ekor itik alabio yang dipelihara. Orang yang melintas jadi tahu, bahwa usaha peternakan itik alabio bakal digalakkan di sana. Tapi entah bagaimana, yang kemudian menonjol di sana bukan itik alabionya. Melainkan beberapa perempuan yang menjenguk dari jendela sambil ber"dah-dah" dengan genitnya kepada yang lewat. "Nah, itulan yang kelewat menyolok", ucap Bahruddin Noor. "Orang baik-baik yang lewat di sana tentu tersipu-sipu". Tentu saja pihak kecamatan segera bertindak. "Sudah dua bangunan dicabut izinnya dan diperintahkan bongkar. Satu sudah dilaksanakan, satu masih membangkang", ujar Camat. Pemiliknya yang satu itu memprotes kenapa punya dia saja yang disuruh bongkar. "Rumah makan S tidak, padahal apa bedanya", katanya. Ia menuntut agar tidak pilih bulu. Ada deking? "Bukan didekingi, tapi dimiliki", jawab Bahruddin. Repot juga sang camat. Bahkan pernah ia mengadakan operasi gabungan dengan polgab segala. Yang hasilnya belum melegakan. "Bisa-bisa tumbuh uban di kepala saya", ucap Bahruddin yang terbilang masih muda, berkelakar. Tampaknya bah WTS dari Banjarmasin atau entah dari mana, semakin deras melanda wilayah Landasan Ulin. Hingga agaknya lokalisasi WTS untuk kawasan Landasan Ulin, perlu dipikirkan. Apalagi Bahruddin pernah didatangi seorang pejabat dinas sosial propinsi, yang minta data-data, yang merencanakan lokalisasi bukan di kilometer 18 atau daerah Landasan Ulin, tapi di pinggir hutan dekat wilayah Pelaihari sana, seperti diinginkan Bahruddin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus