DI kecamatan Landasan Ulin, yang termasuk wilayah kota
administratif Banjarbaru, kantor kecamatan bergaya mutakhir dan
masih mulus. Gedung itu anggun bercokol di pinggir jalan masuk
menuju pelabuhan udara Syamsuddin Noor. Di seluruh Kalimantan
Selatan, hanya kantor kecamatan Cempakalah yang dapat
menandinginya. Bahkan jauh lebih segar dari kantor walikotanya
yang di Banjarbaru.
Dilengkapi mobil pemilu, gengsi kantor dan camatnya tentu saja,
bertambah beberapa derajat. Sementara itu di tempat yang
dahulunya langka bangunan, tumbuh pula bangunan-bangunan baru.
Yang semuanya mengikuti "selera zaman" Harga tanah pun
dikabarkan ikut meningkat berlipat-lipat.
Namun tak berarti tak ada yang dirisaukan. Sebab bukan rahasia
lagi, Landasan Ulin termasuk daerah rawan. Seperti diakui oleh
Gusti Bahruddin Noor, Camat Landasan Ulin, di wilayahnya
sekarang makin membiak warung-warung siluman alias warung yang
berdwi fungsi. Yakni selain berperanan sebagai warung atau rumah
makan, juga berfungsi sebagai tempat praktek pelacur. Tentu saja
peranan yang kedua itulah yang lebih menonjol. Tak heran, kalau
ada rumah makan yang makin memperluas bagian belakangnya dengan
beberapa ruangan lagi. Berupa ruangan khusus yang lebih nyaman
dan sekaligus aman. Ini untuk kelas VIP atau kakap. Sebab untuk
kelas murahan tersedia di sudut-sudut. Terbuka siang malam.
Yang letaknya jauh ke dalam dari jalan raya, bagi camat tak jadi
soal. Ia masih mau berpicing mata dan menutup kuping. Sebab yang
begituan bukan cuma masalah bagi kacamatannya doang. Tapi
rupanya telinganya semakin bising juga oleh gerutuan masyarakat
yang melihat pertumbuhan warung siluman di kilometer 18, dekat
perbatasan dengan kecamatan Gambut tetangganya makin pesat.
Apalagi letaknya persis di pinggir jalan protokol yang semakin
ramai arus lalu lintasnya. Sopir-sopir menjulukinya "warung itik
bakisar". Ha? Begini kisahnya.
Lokalisasi
Dahulu jalan ini merupakan tanah nganggur tanpa rumah. Maklum
tanahnya, tanah gambul yang masih masam airnya. Artinya belum
bisa dimanfaatkan buat bercocok tanam, kecuali nenas. Itupun
buahnya terasa hambar. Namun ada orang yang dapat inspirasi. Ia
membuat rumah yang halaman belakangnya diberi berpagar kayu
hutan. Parit-parit pun digali untuk melepas puluhan ekor itik
alabio yang dipelihara. Orang yang melintas jadi tahu, bahwa
usaha peternakan itik alabio bakal digalakkan di sana. Tapi
entah bagaimana, yang kemudian menonjol di sana bukan itik
alabionya. Melainkan beberapa perempuan yang menjenguk dari
jendela sambil ber"dah-dah" dengan genitnya kepada yang lewat.
"Nah, itulan yang kelewat menyolok", ucap Bahruddin Noor. "Orang
baik-baik yang lewat di sana tentu tersipu-sipu".
Tentu saja pihak kecamatan segera bertindak. "Sudah dua bangunan
dicabut izinnya dan diperintahkan bongkar. Satu sudah
dilaksanakan, satu masih membangkang", ujar Camat. Pemiliknya
yang satu itu memprotes kenapa punya dia saja yang disuruh
bongkar. "Rumah makan S tidak, padahal apa bedanya", katanya. Ia
menuntut agar tidak pilih bulu. Ada deking? "Bukan didekingi,
tapi dimiliki", jawab Bahruddin. Repot juga sang camat. Bahkan
pernah ia mengadakan operasi gabungan dengan polgab segala. Yang
hasilnya belum melegakan. "Bisa-bisa tumbuh uban di kepala
saya", ucap Bahruddin yang terbilang masih muda, berkelakar.
Tampaknya bah WTS dari Banjarmasin atau entah dari mana, semakin
deras melanda wilayah Landasan Ulin. Hingga agaknya lokalisasi
WTS untuk kawasan Landasan Ulin, perlu dipikirkan. Apalagi
Bahruddin pernah didatangi seorang pejabat dinas sosial
propinsi, yang minta data-data, yang merencanakan lokalisasi
bukan di kilometer 18 atau daerah Landasan Ulin, tapi di pinggir
hutan dekat wilayah Pelaihari sana, seperti diinginkan
Bahruddin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini