SURAT "atas nama kaum muslimin" itu dilayangkan bulan lalu. Pengirimnya 29 penduduk Dukuh Kalimati, Desa Sambirejo, Nganjuk, Jawa Timur. Yang dikirimi Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Mereka mengadukan kelompok yang mereka anggap meresahkan warga kampungnya. Nama kelompok itu Jamaah Asysyahadatain. Dalam peta Islam di Indonesia, nama "Dukuh Kalimati" dan "Jamaah Asysyahadatain" tentu tidak penting benar. Tapi dari satu segi nama yang "kurang berbunyi" ini dapat menggambarkan salah satu wajah Islam di Indonesia: banyak kelompok eksklusif semacam tarekat bermunculan. Akibatnya, banyak pula masyarakat yang merasa resah lantaran kehadiran kelompok macam itu. Menurut para pengadu, kata-kata anggota Jamaah Asysyahadatain acap menyulut kemarahan penduduk. Dalam memuji Syekh Zainal Abidin, gurunya yang tinggal di Malang, mereka mengkritik mubalig lain yang "gembar-gembor menjual ayat Allah, mengharapkan upah dan sangu, perutnya blendhak-blendhuk, rumahnya bagus dan mewah. Ini mesti punya sifat tamak." Setiap calon pengikut jamaah harus berbaiat kepada Syekh Zainal Abidin, untuk "memperbarui" syahadat. "Sebab, syahadat kita belum sah." Dalam kesempatan lain, tokoh aliran setempat juga mengatakan, "Kita sebenarnya belum bersyahadat. Apa makna syahadat? Coba tunjukkan letak huruf alif, syin, dan ha? Untuk itu kita perlu memperbarui syahadat kita pada beliau. Apalagi beliau keturunan Rasulullah yang ke-42. Istrinya keturunan Siti Fatimah." Bagi pembicara itu, kalau benar mengatakan begitu, mungkin tak soal apakah keturunan Fatimah, putri Nabi, harus dibedakan dengan keturunan Rasulullah atau tidak. Seperti lazimnya kelompok eksklusif lain, mereka akan cenderung melebih-lebihkan diri, dan menilai "kurang" yang lain. Dapat dipahami jika masyarakat umum tersinggung. Dalam istilah K.H. Djalaluddin, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nganjuk, "kemunculan mereka menimbulkan keresahan." Selain di desa itu, Jamaah Asysyahadatain tumbuh di Desa Jambi, di Nganjuk juga. Kemudian di Sidoarjo dan Malang. Mereka diduga sebagai jelmaan Tarekat Islam Putih yang bepusat di Cirebon, kelompok yang pernah dibekukan oleh Pakem -- lembaga yang bertugas mengawasi aliran-aliran kepercayaan -- Cirebon pada 2 Oktober 1960. Di Nganjuk dibekukan, di Malang Zainal Abidin -- imam untuk wilayah Jawa Timur -- kalem saja. Oleh pengikutnya, lelaki keturunan Madura yang berusia 39 tahun ini dipanggil Abah Zain. Ia hanya mengenyam pendidikan sampai kelas IV mualimin -- setaraf dengan sekolah lanjutan tingkat pertama. Kemudian ia sempat mondok di Pesantren Darul Hadist, Malang, selama dua tahun. Di rumahnya yang bertingkat tiga, ia menjelaskan aliran yang ia anut -- sambil duduk di karpet, di ruang yang di dindingnya dihiasi kaligrafi kalimat syahadat berbentuk orang salat, serta lukisan diri sebesar pintu menggambarkan ia sedang duduk mengenakan jubah dan berlatar belakang perahu yang layarnya bertuliskan "Allah". Kata Zainal, yang spesifik pada kelompoknya hanyalah pemahaman syahadat. Setiap jamaah baru mereka haruskan berikrar, memperbarui syahadat. Sebagai landasan, Zainal mengutip hadis yang tak ia sebut perawinya: "Perbaruilah selalu syahadatmu.... " Caranya, sang imam membacakan kalimat syahadat. Sedang si pengikut meletakkan tangan kanannya di kening, dan tangan kiri di punggung atau dada. Memang, menurut Zainal pun, tak ada pijakan dalil untuk hal macam ini. "Maksudnya untuk meresapkan saja," katanya. Pokok jamaah ini ada di Cirebon. Tepatnya di Desa Panguragan, Kecamatan Arjawinangun. Sekjen jamaah ini, Drs. A. Halim Falatehan, dapat memberi penjelasan yang mungkin meredakan kemarahan umat. Misalnya, ia mengatakan bahwa ajaran mereka Islam biasa. Hanya saja, mereka "mengaji syahadat" dan menjadikannya amalan. Setiap habis salat, misalnya, mereka selalu membaca syahadat. Tentang ikrar membaca syahadat, disebutnya hanya merupakan syarat menjadi anggota jamaah. Tak berkaitan dengan keabsahan keislaman seseorang. Mereka juga terbiasa memakai pakaian serba putih lengkap dengan serbannya, terutama pada saat mereka salat. Dalam soal ini, mereka mengaku semata menuruti sunah Rasul. Hadis yang berbunyi "salatlah kamu sebagaimana aku salat" bagi mereka tak cuma untuk diikuti bacaan dan gerak salatnya. Melainkan juga pakaiannya. Pengikut jamaah ini menolak sebutan "aliran" serta "Tarekat Islam Putih". Soal pelarangan pada 1960, mereka katakan karena pendiri jamaah mereka, Abah Umar, sangat anti-PKI. Bahkan tokoh itu kemudian tewas ditusuk pisau saat salat dluha di masjid. Ada kemiripan jamaah ini dengan kelompok eksklusif lain. Misalnya, penokohan figur pimpinan sedemikian tinggi. Haji Abah Ismail, 63 tahun, yang sekarang menjadi Ketua Umum Jamaah Asysyahadatain, terang-terangan mengaku "saya memang keturunan Nabi Muhammad." Sedangkan secara politis, mereka berlindung dalam Golkar. Pada banyak kasus, ada yang cenderung mengusulkan melarang kelompok macam ini. Tapi, kalau cara ini ditempuh, tampaknya tak menyelesaikan masalah. Kenyataannya, banyak umat -- awam maupun intelektual -- yang masih memerlukan figur anutan setelah Muhammad. Mereka memerlukan pemahaman agama yang mereka anggap istimewa. Banyak tokoh yang lalu mengisi "permintaan" itu. Baik sepenuhnya demi alasan agama maupun -- kadang -- keduniawian. Mahfud Anwar -- pemimpin mereka di Nganjuk -- mengaku menjadi anggota jamaah setelah "minta wiridan doa agar tikus-tikus di sawah saya lenyap."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini