Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Yang WNA

Sebagian besar wna asal cina di nusa tenggara barat berada di lombok barat. Sebagai sumber pendapatan daerah, pelaksanaan pemungutan pajak orang asing seret karena wna itu kebanyakan miskin.

4 September 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA 7000 orang asing di Nusa Tenggara Barat. Terbanyak berkewarganegaraan RRT. Sebagian besar tumplek di Lombok Barat. Mereka jadi sumber pendapatan daerah yang lumayan. Berupa pajak bangsa asing. Besarnya buat tiap kepala keluarga, isteri dan anak-anak masing-masing Rp 3000, Rp 1500 dan Rp 750. Sedang jumlah keluarga mereka rata-rata 5 jiwa. Tapi itu baru perhitungan di atas kertas. Dalam pelaksanaan pemungutan pajaknya, menurut Faturachman Zakaria Kepala Sub Direktorat Perekonomian Kabupaten Lombok Barat, ternyata "berjalan seret". Ini bisa dilihat dari tunggakan sejak tahun 1972. Sudah Rp 30 juta, uang yang mestinya masuk kocek Pemda Lombok Barat, membeku dalam catatan Faturachman Zakaria yang ex wartawan itu. Maka Pemda pun sibuk menggedor warga asing. Misalnya dengan membentuk BKUC (Badan Kordinasi Urusan Cina). Lalu badan tersebut dengan gesit melakukan pungutan dari pintu ke pintu. Sayang cara ini banyak dirasakan oleh para wajib pajak bertindak agak kasar. Meski mungkin lantaran kesalahan para wajib pajak sendiri. Karena mereka tak sedikit yang bersikap berbelit-belit. Hingga kerap membikin para petugas pajak itu naik pitam. "Apa lebih suka masuk penjara dari pada membayar pajak", begitu kerap terdengar bentakan petugas pajak. Tak Berpengaruh Namun dibentak atau tidak tampaknya tak banyak berpengaruh. Kenapa? "WNA keturunan Tionghoa di NTB kebanyakan miskin-miskin", tutur B.D. Siregar, wakil kepala Ditjen Imigrasi Mataram yang berwilayah seantero NTB itu. Sehingga, menurut Siregar yang SH itu, "dalam menyelesaikan dokumen imigrasi seperti SP (surat pendaftaran) STP (surat tanda penerimaan) dan semacamnya, mereka diberi keringanan. Dengan dibolehkan mencicil. Cuma saja, Siregar melihat ada keanehan. Bahwa di antara mereka yang belum menyelesaikan dokumen imigrasinya, banyak yang sudah memiliki STMD (surat tanda melapor diri). "Padahal, menurut Siregar, STMD baru bisa diperoleh setelah mereka menyelesaikan dokumen-dokumennya". Yaitu berdasarkan formulir yang mereka isi. Tampaknya masih terdapat bolong-bolong dalam kordinasi BKU. Juga di kantor Tenaga Kerja, para WNA Tionghoa banyak yang kurang mentaati peraturan. Seperti bekerja tanpa memiliki izin kerja. Dari seluruhnya cuma 500 orang yang berizin kerja. Yaitu 305 di P. Lombok, 195 di Sumbawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus