ADA 7000 orang asing di Nusa Tenggara Barat. Terbanyak
berkewarganegaraan RRT. Sebagian besar tumplek di Lombok Barat.
Mereka jadi sumber pendapatan daerah yang lumayan. Berupa pajak
bangsa asing. Besarnya buat tiap kepala keluarga, isteri dan
anak-anak masing-masing Rp 3000, Rp 1500 dan Rp 750. Sedang
jumlah keluarga mereka rata-rata 5 jiwa.
Tapi itu baru perhitungan di atas kertas. Dalam pelaksanaan
pemungutan pajaknya, menurut Faturachman Zakaria Kepala Sub
Direktorat Perekonomian Kabupaten Lombok Barat, ternyata
"berjalan seret". Ini bisa dilihat dari tunggakan sejak tahun
1972. Sudah Rp 30 juta, uang yang mestinya masuk kocek Pemda
Lombok Barat, membeku dalam catatan Faturachman Zakaria yang ex
wartawan itu.
Maka Pemda pun sibuk menggedor warga asing. Misalnya dengan
membentuk BKUC (Badan Kordinasi Urusan Cina). Lalu badan
tersebut dengan gesit melakukan pungutan dari pintu ke pintu.
Sayang cara ini banyak dirasakan oleh para wajib pajak bertindak
agak kasar. Meski mungkin lantaran kesalahan para wajib pajak
sendiri. Karena mereka tak sedikit yang bersikap berbelit-belit.
Hingga kerap membikin para petugas pajak itu naik pitam. "Apa
lebih suka masuk penjara dari pada membayar pajak", begitu kerap
terdengar bentakan petugas pajak.
Tak Berpengaruh
Namun dibentak atau tidak tampaknya tak banyak berpengaruh.
Kenapa? "WNA keturunan Tionghoa di NTB kebanyakan
miskin-miskin", tutur B.D. Siregar, wakil kepala Ditjen Imigrasi
Mataram yang berwilayah seantero NTB itu. Sehingga, menurut
Siregar yang SH itu, "dalam menyelesaikan dokumen imigrasi
seperti SP (surat pendaftaran) STP (surat tanda penerimaan) dan
semacamnya, mereka diberi keringanan. Dengan dibolehkan
mencicil.
Cuma saja, Siregar melihat ada keanehan. Bahwa di antara mereka
yang belum menyelesaikan dokumen imigrasinya, banyak yang sudah
memiliki STMD (surat tanda melapor diri). "Padahal, menurut
Siregar, STMD baru bisa diperoleh setelah mereka menyelesaikan
dokumen-dokumennya". Yaitu berdasarkan formulir yang mereka isi.
Tampaknya masih terdapat bolong-bolong dalam kordinasi BKU.
Juga di kantor Tenaga Kerja, para WNA Tionghoa banyak yang
kurang mentaati peraturan. Seperti bekerja tanpa memiliki izin
kerja. Dari seluruhnya cuma 500 orang yang berizin kerja. Yaitu
305 di P. Lombok, 195 di Sumbawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini