Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Berita Tempo Plus

Dari Sebuah Jendela

Film ketiga Nurman Hakim yang berkisah tentang sebuah keluarga yang muram. Sejauh ini film Indonesia terbaik.

16 Mei 2016 | 00.00 WIB

Dari Sebuah Jendela
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

The Window
Sutradara: Nurman Hakim
Skenario: Nan T. Achnas dan Nurman Hakim
Pemain: Titi Rajo Bintang, Landung Simatupang, Haydar Salizh, Yoga Pratama, Eka Nusa Pertiwi, Karlina Ekawati
Produksi: Triximages dan Dash Pictures

Sebuah jendela di sebuah desa yang tak bernama.

Melalui jendela itu, Dewi seolah-olah menjenguk dan bisa meraih dunia baru, dunia asing yang setiap hari dirapalnya: Amerika, Australia, Argentina, Bahamas, Belgia, Bhutan....

Dunia asing itu disaksikannya melalui jendela rumah orang tuanya di desa terpencil yang sudah lama tak disentuhnya. Bekerja di kota bertahun-tahun sebagai periset sebuah perusahaan, Dewi (Titi Rajo Bintang) menghindari rumah kampung halamannya dengan segala isinya karena ia tak ingin bertemu dengan bapaknya (Landung Simatupang).

Tapi pada akhirnya dia terpaksa kembali ketika sang ibu mengirimkan sebuah surat berisi berita koran lokal yang mengejutkan: kakaknya, seorang difabel, hamil entah oleh siapa. Sang ibu berkata kepada wartawan bahwa kehamilan itu adalah sebuah mukjizat.

Dewi tahu ada sesuatu yang salah dan muram dalam pernyataan ibunya. Dia pulang untuk menolong kakaknya, Dee (Eka Nusa Pertiwi), yang dianggapnya harus diselamatkan dan dibawa pergi dari rumah masa kecilnya itu. Di kampungnya, Dewi tak hanya menemukan kembali jendela yang "menjanjikan" sebuah negara asing atau warna-warni asing yang merupakan eskapisme bagi dirinya yang merasa disekap kenangan masa kecil yang buruk. Dia juga menemukan kakaknya tergeletak tak berdaya dengan janin di perutnya yang tak jelas ayahnya dan seorang ibu yang menolak mengakui kekerasan yang terjadi di rumahnya. Dewi kemudian mencoba mencari tahu siapakah kira-kira yang menghamili Dee.

Pada filmnya yang ketiga, sutradara Nurman Hakim mencoba menciptakan sebuah panorama desa dengan manusia dengan tingkah laku ganjil. Ada pengamen buta yang rajin muncul ke rumah orang tua Dewi, ada tetangga yang senantiasa mengenakan pupur basah di wajahnya, ada Priyanto si pelukis keriting yang senantiasa melukis poster atau banner pesanan yang kemudian terpampang tepat di muka jendela rumah Dewi. Kemudian ada Joko (Yoga Pratama) yang senantiasa mengenakan kostum koboi, berkumis melintang, dan gemar berjoget sendirian di hadapan cermin karena merasa diri ganteng. Tapi yang paling mengerikan adalah sosok bapak (Landung Simatupang) yang menekan, menyiksa keluarganya secara verbal, dan punya kebiasaan menikmati tubuh putrinya melalui matanya.

Sidik jari Nan T. Achnas jelas sangat kental pada film ini: penciptaan dunia muram tanpa nama, beberapa adegan yang mengambil lokasi rel kereta api, tokoh-tokoh ganjil (yang sesekali berbahasa Indonesia yang agak aneh karena terasa diterjemahkan secara harfiah dari bahasa Inggris), persoalan seksualitas, dan tokoh utama perempuan yang akan mencari kekuatannya. Film ini lebih terasa sebagai lanjutan rangkaian kisah para perempuan dalam film-film Nan T. Achnas dibanding sebagai rangkaian benang merah film Nurman Hakim, yang sebelumnya lebih sering menekankan sikap kritis religius dalam film-filmnya.

Hingga paruh pertama, film ini adalah sebuah drama psikologis. Anak-anak dan ibu yang terus-menerus ditekan dan sebuah jendela yang memberi jalan keluar bagi Dewi. Hening, minim dialog, dan mempunyai komposisi gambar yang bagus, film ini mungkin salah satu film Indonesia terbaik tahun ini.

Tentu saja saya memiliki catatan. Penampilan para pemain tak merata. Para pemeran pendukung, seperti Landung Simpatupang dan Eka Nusa Pertiwi, malah mencuri perhatian dibanding pemeran utama Titi Rajo Bintang.

3 Persoalan lain adalah, di akhir film, cerita mendadak memberikan "twist", sebuah belokan plot mendadak yang mengejutkan. Sangat disayangkan karena baik sutradara maupun penulis skenario seperti tak bisa memutuskan apakah ingin film ini menjadi sebuah film drama atau ingin main seperti "detektif" yang menawarkan jawaban seperti dalam "whodunit movies"-film-film yang lazimnya mementingkan pencarian siapa pelaku (pembunuhan atau pemerkosaan). Jendela itu, dunia luar yang menjadi mimpi eskapisme itu, adalah kunci dari kisah Dewi dan keluarganya. Tak perlu pula akhir cerita yang memuaskan moralitas dan keinginan menghukum.

Akhir film itu, menurut saya, layak dibuang karena hidup tak selalu harus memberi jawaban. Tapi, di luar catatan itu semua, film The Window sejauh ini adalah film Indonesia yang bersinar pada tahun ini.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus