Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

ICJR: Rehabilitasi Pengguna Narkotika Hanya Memindahkan Masalah Penjara ke Lembaga Rehab

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyatakan berdasarkan data UNODC tidak semua pengguna narkotika harus menjalani rehabilitasi.

15 Desember 2024 | 20.31 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyatakan tidak semua pengguna narkotika perlu rehabilitasi. Menurut ICJR, pemerintah tidak perlu mewajibkan setiap pengguna narkotika untuk mengikuti proses rehab.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Deputi Direktur ICJR Maidina Rahmawati menyampaikan penghapusan pidana penjara bagi pengguna narkotika bukan berarti semua pengguna harus mengikuti program rehabilitasi. "Hal ini tidak tepat, karena tidak semua pengguna narkotika membutuhkan rehabilitasi," kata Maidina melalui keterangan tertulis pada Ahad, 15 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut laporan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) pada 2022, kata Maidina, hanya 13 persen pengguna narkotika yang mengalami penggunaan bermasalah. Sementara itu, laporan pada 2018 mengungkapkan bahwa hanya 1 dari 9 pengguna narkotika bermasalah yang membutuhkan rehabilitasi.

Maka dari itu, Maidina menilai tidak semua pengguna yang keluar dari pemenjaraan mesti diwajibkan rehabilitasi. Sebab, kebijakan tersebut justru akan menimbulkan masalah baru di lembaga rehab.

"Jika pengguna narkotika dikeluarkan dari pemenjaraan namun seluruhnya diwajibkan rehabilitasi, maka hal tersebut hanya memindahkan overcrowding rutan dan lapas ke lembaga rehabilitasi," ucap Maidina.

ICJR menyampaikan pemerintah perlu mengambil langkah konkret untuk mengatasi overcrowding rutan dan lapas di Indonesia. "Salah satu yang paling utamanya adalah revisi UU Narkotika dengan dekriminalisasi pengguna narkotika, bukan dengan rehabilitasi berbasis hukuman," kata Maidina.

Sejalan dengan itu, Maidina berujar, pemerintah perlu mengupayakan persiapan implementasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan komprehensif. Di antaranya dengan memperkenalkan instrumen-instrumen baru seperti pidana pengawasan hingga pidana kerja sosial sebagai alternatif nonpenjara.

Pemerintah berencana mengubah ketentuan hukuman pidana untuk pengguna narkotika. Salah satunya dengan merevisi syarat-syarat ancaman penjara bagi orang-orang yang tertangkap menggunakan obat terlarang di Undang-Undang (UU) Narkotika.

Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej mengatakan penggunaan narkotika adalah tindak kriminal tanpa korban atau victimless crime. Maka dari itu, kata Eddy, revisi UU Narkotika akan lebih memperhatikan aspek kesehatan.

“Jadi dia lebih kepada bagaimana mengobati korban orang yang kecanduan narkotika itu daripada menghukum atau memenjarakan,” kata Eddy di kompleks Kementerian Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan pada Rabu, 4 Desember 2024.

Dalam rancangan UU Narkotika yang sedang digodok pemerintah, ujar Eddy, pengguna narkoba bisa tidak dikenakan hukuman pidana. Eddy berujar pengguna narkoba dapat diberikan tindakan seperti rawat jalan atau rehabilitasi. “Tetapi ada syarat-syarat berdasarkan RUU yang sedang digodok pemerintah dan DPR,” ujar Eddy.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus