Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Anatomi Resesi Ekonomi 2020

Ada tiga faktor negatif dari sisi pasokan yang dapat memicu resesi global pada 2020.

28 Oktober 2019 | 07.00 WIB

Ilustrasi Uang Rupiah. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi
Perbesar
Ilustrasi Uang Rupiah. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Tri Winarno
Pengamat kebijakan ekonomi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ada tiga faktor negatif dari sisi pasokan yang dapat memicu resesi global pada 2020. Pertama, perang dagang dan perang mata uang antara Amerika Serikat dan Cina yang semakin panas sejak awal bulan lalu ketika Presiden Amerika Donald Trump mengancam akan mengenakan tarif tambahan pada ekspor Cina dan menyebut Cina sebagai "currency manipulator".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Kedua, perang dingin antara Cina dan Amerika dalam perebutan supremasi teknologi. Amerika telah menempatkan perusahaan telekomunikasi Cina, Huawei, ke dalam entity list, perusahaan asing yang dianggap mengancam keamanan nasional. Walaupun Huawei masih diizinkan memakai komponen Amerika, pemerintahan Trump telah mengumumkan bahwa 46 perusahaan yang terafiliasi dengan Huawei masuk ke entity list.

Ketiga, pasokan minyak dunia. Harga minyak mulai turun, terutama akibat kekhawatiran resesi yang dipicu oleh perang dagang, perang mata uang, dan perang teknologi sehingga menekan permintaan energi dan melemahkan harga minyak. Namun konfrontasi Amerika dengan Iran akan berdampak sebaliknya. Jika konflik tersebut berujung pada konfrontasi militer, harga minyak global akan melejit dan mengakibatkan resesi, seperti yang terjadi selama konfrontasi di Timur Tengah pada 1973, 1979, dan 1990.

Ketiga faktor tersebut akan berdampak stagflasi, yaitu peningkatan harga barang-barang konsumsi, bahan baku, komponen teknologi, dan energi, yang disertai penurunan output karena gangguan rantai produksi global. Lebih buruk lagi, perseteruan antara Amerika dan Cina telah memicu proses deglobalisasi. Sebab, baik negara maupun perusahaan tidak lagi dapat mengandalkan stabilitas integrasi rantai produksi global untuk jangka panjang.

Di samping itu, perang dagang, perang mata uang, dan kompetisi teknologi akan saling berpengaruh. Perhatikan kasus Huawei, yang saat ini menjadi pelopor global peralatan 5G. Teknologi ini akan segera menjadi standar konektivitas untuk kebanyakan infrastruktur sipil dan militer. Belum lagi untuk barang-barang konsumsi yang terhubung dengan Internet. Jika Huawei dianggap sebagai ancaman keamanan nasional, ribuan barang konsumsi yang diekspor Cina juga menjadi ancaman.

Mudah dibayangkan bahwa situasi sekarang dapat mengarah pada ledakan skala penuh sistem perdagangan global yang terbuka. Apakah pemangku kebijakan moneter dan fiskal telah menyiapkan kebijakan untuk mengatasi dampak kejutan negatif dari sisi pasokan tersebut?

Dulu, pada 1970, akibat kejutan stagflasi, pemangku kebijakan moneter merespons dengan kebijakan moneter ketat. Namun, saat ini, bank sentral utama, seperti bank sentral Amerika, The Fed, telah menerapkan kebijakan moneter yang longgar karena inflasi dan ekspektasi inflasi tetap rendah. Karena itu, setiap tekanan inflasi yang terjadi akibat kejutan harga minyak akan dipersepsikan oleh bank sentral semata-mata akibat price-level effect, bukan kenaikan inflasi yang permanen.

Ketika perusahaan di Amerika, Eropa, Cina, dan Asia telah mengerem belanja modal, sebenarnya sektor industri global telah mengalami resesi. Tapi hal ini belum ditransmisikan pada resesi global karena konsumsi swasta masih tetap kuat. Namun, jika harga barang impor mengalami kenaikan akibat kejutan pasokan tersebut, pertumbuhan pendapatan rumah tangga riil akan terkena imbas, sehingga keyakinan konsumen akan semakin turun dan akhirnya ekonomi global akan benar-benar mengalami resesi besar.

Untuk mengantisipasinya, bank sentral dunia dipastikan melakukan kebijakan pelonggaran moneter yang cukup lama. Selain itu, pemangku kebijakan fiskal akan mempersiapkan respons yang sama untuk mencegah resesi mendatang semakin parah.

Namun kejutan pasokan negatif ini tidak dapat diatasi melalui pelonggaran kebijakan moneter dan fiskal. Walaupun dalam jangka pendek dampak tersebut dapat diminimalkan, kebijakan pelonggaran moneter dan fiskal yang dilakukan secara permanen akan berdampak peningkatan inflasi dan ekspektasi inflasi di atas target inflasi bank sentral. Pada 1970-an, bank sentral dunia mengakomodasi dua kali kejutan harga minyak. Dampaknya adalah kenaikan inflasi dan ekspektasi inflasi yang persisten, defisit fiskal yang semakin bengkak, dan akumulasi utang publik.

Terdapat perbedaan signifikan antara krisis keuangan global 2008 dan kejutan pasokan negatif saat ini. Krisis 2008 terutama terjadi akibat penurunan permintaan agregat yang sangat tajam, sehingga kebijakan yang sesuai adalah stimulus kebijakan fiskal dan moneter. Namun, kali ini, dunia sedang menghadapi kejutan pasokan negatif yang membutuhkan respons kebijakan jangka menengah yang berbeda dengan krisis sebelumnya. Mencoba mengatasi krisis yang berbeda menggunakan kebijakan yang sama tentu kurang mujarab.

 
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus