Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sirkulasi kekuasaan di kampus sering luput dari perhatian publik. Padahal praktiknya seringkali sangat politis. Akibatnya kampus menjadi ajang politik praktis yang pada titik tertentu sangat memprihatinkan. Kaum akademis tercerabut dari akar idealismenya sebagai penjaga marwah republik dan benteng moralitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana universitas menjadi tidak asyik, hubungan antar kolega diwarnai penuh curiga dan intrik. Karena peta politik kampus tiba -tiba terbentuk dan terbelah akibat pemilihan Rektor dan Dekan. Agenda besar kampus seringkali terabaikan, apalagi agenda Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Lalu, dimana akar persoalannya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Membaca Akar Persoalan
Akhir April lalu Presiden hendak melakukan reshuffle kabinet yang ke-6 sepanjang enam tahun pemerintahannya. Tiba-tiba ada pertemuan menteri dengan Ketua umum partai politik. Pertemuannya di publikasi dan viral. Menteri ini saat itu dikabarkan bakal di-reshuffle karena berbagai kekeliruan kebijakannya. Setelah pertemuan itu beberapa hari kemudian sang Menteri tidak jadi di-reshuffle, tetapi justru dilantik kembali bahkan diberi wewenang tambahan karena ada perubahan nomenklatur perluasan tugas.
Poinnya bukan pada siapa menteri yang bertemu dengan ketua umum partai itu, tetapi pertemuan dengan ketua umum partai berkuasa itu adalah isyarat bahwa betapa berkuasanya partai politik dalam urusan kementerian. Mirisnya itu terjadi di kementerian yang seharusnya minim intrik politik karena mengurusi masa depan sumber daya manusia Indonesia. Ya, Kemendikbud.
Memang begitulah sirkulasi kementerian, ujungnya ada di Presiden, karena itu hak prerogratif Presiden sesuai UUD 1945. Tetapi praktiknya selalu melipir dulu lewat partai berkuasa. Maka jangan heran jika langkah-langkah kementerian itu sering bermasalah ketika ada perbedaan pandangan antara presiden dengan para ketua umum partai. Jadi kesamaan pandangan antara presiden dengan ketua umum partai koalisi menjadi sangat penting.
Bagaimana dengan pemilihan rektor di mana akar persoalannya sehingga begitu sangat politis? Akarnya ada pada Peraturan Menristekdikti Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin Perguruan Tinggi Negeri. Dalam aturan inilah Mendikbud memiliki hak suara 35 persen untuk memilih rektor dan senat universitas memiliki hak suara 65 persen.
Hak 35 persen suara Mendikbud itu dibuat karena perguruan tinggi negeri itu milik negara dan sebagian uang negara digelontorkan ke universitas tersebut. Itu benar, bahwa negara berhak punya otoritas itu.Tetapi persentase sebesar itu terlalu rawan mengebiri suara mayoritas di universitas. Ada banyak kasus pemilihan rektor yang menang pemilihan ditingkat senat universitas negeri akhirnya kalah karena suara 35 persen menteri itu diberikan kepada yang lain.
Kasus pemilihan Rektor ITS beberapa tahun lalu. Hasil pemilihan Senat Universitasnya menyebutkan bahwa Priyo Suprobo mendapat suara 60, disusul kemudian Triyogi Yuwono 39 suara dan Daniel M. Rosyid 3 suara. Tetapi karena mendikbud memberikan mayoritas suaranya kepada Triyogi Yuwono maka Triyogi Yuwono inilah yang kemudian menjadi Rektor ITS. Kasus semacam ini juga terjadi di kampus-kampus lain hingga saat ini.
Masalahnya kemudian menjadi problematis di kampus dan mempengaruhi kinerja universitas. Bahwa rektor yang terpilih kurang memiliki legitimasi di internal kampus karena minimnya dukungan dari senat universitas. Fenomena ini mengganggu sinergi dan kinerja di internal kampus, sampai membutuhkan waktu 1,5 hingga 2 tahun untuk membangun soliditas internal kampus dan itu buang-buang energi. Itupun bergantung kemampuan leadership sang rektor, jika lemah leadership—nya bisa-bisa sampai akhir jabatannya masih sibuk memecahkan problem bawaan dari pemilihan rektor ini.
Itulah salah satu problem bawaan dari 35 persen suara Mendikbud itu. Hal yang lebih parah adalah maraknya lobi-lobi tingkat tinggi jelang pemilihan rektor. Dari lobi ke petinggi di Kemendikbud, ke partai politik hingga ke Istana. Pemilihan rektor menjadi sangat politis. Dalam perspektif politik itu juga bisa menjadi pintu kendali kekuasaan pada universitas negeri padahal universitas sejak kelahirannya memiliki kebebasan akademik yang tidak membenarkan kendali dominan dari kekuasaan.
Suara 35 persen Mendikbud itu memang berpotensi besar mengebiri demokrasi di universitas negeri. Lebih membahayakan lagi jika lobi politik lebih dipegang dibanding kualitas sang calon rektor. Sebab bisa saja kualitas rektor yang dimenangkan Mendikbud kualitasnya di bawah kualitas yang dimenangkan senat universitas.
Hal yang juga cukup memprihatinkan di internal universitas juga terjadi pola yang sama dalam proses pemilihan dekan universitas negeri. Pola pemilihan dekan ini juga bisa dimaknai sebagai mengebiri demokrasi di internal kampus. Sebab senat fakultas hanya dibolehkan memilih tiga calon dekan, selanjutnya yang menentukan siapa yang akan jadi dekan adalah rektor. Jadi meskipun sang calon dekan itu memiliki suara terbanyak dalam pemilihan di senat fakultas maka tidak serta merta akan jadi dekan. Di sejumlah kampus bahkan rektor pada akhirnya 100 persen berkuasa penuh untuk memilih salah satu dari hasil pemilihan ditingkat senat fakultas. Proses Demokrasi tidak berjalan justru di institusi yang semestinya menjadi miniatur demokrasi.
Dua Solusi Penting
Lalu, apa solusinya? Mendikbud perlu membuat aturan baru untuk mengurangi 35 persen suara menjadi 25 persen suara saja. Alasannya agar Mendikbud tetap punya hak suara tetapi tidak terlalu menggoda para calon rektor untuk melakukan lobi-lobi politik. Selain itu Mendikbud perlu menambah aturan bahwa proses pemilihan rektor universitas harus menerapkan dua sistem yaitu selection & election agar siapapun nanti yang dipilih Mendikbud betul-betul layak memiliki kualifikasi sebagai rektor
Sistem selection (seleksi) calon rektor ini harus dimuat dalam statuta universitas dan peraturan rektor (Pertor) yang isinya memuat kewajiban panitia pemilihan rektor di universitas negeri untuk menggandeng lembaga profesional yang kredibel dan tidak partisan untuk melakukan semacam asessment atau semacam uji kompetensi terhadap para calon rektor. Di Amerika pola ini dilakukan dalam pemilihan Rektor Harvard University.
Setelah lolos asessment itulah mereka boleh menjadi calon Rektor untuk dipilih melalui pemilihan (election) di senat universitas. Lebih progresif lagi jika usai sistem seleksi lalu dilakukan pemilihan langsung dimana pemilihannya dilakukan secara terbuka melibatkan semua dosen juga melibatkan mahasiswa di semua fakultas. Model pemilihan secara terbuka ini diantaranya dipraktekkan di Glasglow University Inggris.
Demikian juga dalam pemilihan dekan. Di tingkat fakultas ada senat fakultas yang panitia pemilihan dekannya harus melaksanakan pemilihan dekan melalui sistem selection & election. Ada seleksi atau uji kompetensi terlebih dahulu oleh lembaga independen baru kemudian dilakukan pemilihan oleh senat fakultas.