Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tanpa mengelola aset rampasan hasil kejahatan, Kejaksaan Agung sudah menjadi lembaga super.
Memberikan kewenangan besar kepada lembaga penegak hukum memungkinkan korupsi kian marak.
Penegak hukum acap menjadi alat politik mereka yang berkuasa dan punya uang.
RENCANA pemerintah menjadikan Kejaksaan Agung sebagai lembaga pengelola aset rampasan hasil kejahatan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset harus diurungkan. Niat ini akan menjadikan Kejaksaan Agung lembaga super: merampas aset sekaligus mengelolanya. Kewenangan besar ini berpotensi mendorong terjadinya konflik kepentingan, bahkan penyalahgunaan kekuasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanpa mengelola aset rampasan hasil kejahatan saja, Kejaksaan Agung sudah menjadi lembaga super. Para jaksa berwenang menyelidiki, menyidik, hingga mengeksekusi sebuah putusan hukum. Dengan kekuasaan bisa menghentikan penyidikan, para jaksa dapat serampangan menyidik dugaan kejahatan tanpa bukti permulaan yang cukup dan meyakinkan. Apalagi ukuran kinerja jaksa adalah banyak-banyakan menjebloskan warga negara ke dalam penjara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekuasaan itu akan semakin besar jika mereka punya kewenangan baru mengelola aset hasil kejahatan. Di tengah merosotnya indeks persepsi korupsi Indonesia, menurut Transparency International, memberikan kewenangan besar kepada lembaga penegak hukum memungkinkan korupsi kian marak.
Jamak kita tahu penegak hukum acap menjadi alat politik mereka yang berkuasa dan punya uang. Di tengah cengkeraman oligark dalam kekuasaan, penegak hukum yang lembek dan tak tahan godaan fulus akan menjadikan kewenangan dalam UU Perampasan Aset melenceng dari tujuannya. Para oligark akan memakai UU ini untuk membunuh musuh bisnis dan politiknya. Perlombaan kartel hukum pun akan semakin marak.
Indonesia memang perlu regulasi perampasan aset untuk mencegah korupsi kian merasuk ke segala aspek. Pemiskinan koruptor bisa menjadi efek jera. Tapi, di tengah kondisi politik dan birokrasi yang lemah seperti sekarang, UU Perampasan Aset menjadi pisau bermata dua: ia bisa menjadi alat ampuh mencegah korupsi dan dalam waktu bersamaan dapat menjadi alat kekuasaan yang semakin otoriter.
Maka, UU Perampasan Aset menuntut prasyarat: pemberantasan korupsi yang tak pandang bulu, penegakan hukum yang adil, dan sistem politik yang mengutamakan checks and balances. Prasyarat-prasyarat ini akan menjadi modal kuat perampasan aset berjalan secara profesional. Sebab, ujung dari perampasan aset adalah keadilan dalam sistem demokrasi yang terbuka.
Dengan niat memberikan kewenangan mengelola aset rampasan kepada Kejaksaan Agung, prasyarat itu tak terpenuhi. Menyatukan kewenangan menegakkan hukum dan mengelola asetnya akan menumpulkan fungsi checks and balances. Maka, jika UU Perampasan Aset hendak diteruskan, pemerintah mesti mendesain lembaga khusus pengelola aset yang terpisah dari lembaga penegakan hukum. Dengan begitu, fungsi pengawasan dan saling kontrol antar-lembaga negara akan berjalan.
Tes pertama prasyarat penerapan regulasi perampasan aset berjalan adil adalah transparansi. Prasyarat ini saja belum dipenuhi pemerintah. Kita tak tahu draf rancangan ini untuk didiskusikan dan dikritik. Padahal DPR hendak mengesahkannya pada Juni ini. Pengalaman tiga tahun belakangan menunjukkan rancangan sebuah undang-undang yang disembunyikan, dibahas diam-diam, dan cepat pengesahannya selalu mengandung titipan serta berisi tawar-menawar kepentingan.
Jika prasyarat-prasyarat itu tak ada, pemerintah dan DPR sebaiknya menunda keinginan mengesahkan RUU Perampasan Aset. Fokus saja memberantas korupsi dan pelbagai kejahatan dengan adil. Lembaga-lembaga negara kini punya tugas berat memulihkan kepercayaan publik pada berfungsinya lembaga negara yang bekerja sepenuhnya untuk kebenaran dan kepentingan orang banyak.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo