Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Setia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhir Februari sampai pertengahan Maret ini, ada ramalan cuaca yang menyebutkan Indonesia dalam keadaan ekstrem. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) paling rajin merilis ramalan itu berdasarkan pantauan cuaca dengan teknologi canggih. Lalu diumumkan, di kawasan tertentu ada potensi angin ribut, gelombang laut naik, bahkan hujan es seperti yang sudah terjadi di sebagian Kota Surabaya. Yang tak bisa diramal hanyalah gempa, sehingga kita jadi kaget di Kabupaten Pasaman Barat ternyata ada gempa yang cukup besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para penekun budaya dan mereka yang gemar “membaca alam” juga yakin bahwa semesta saat ini lagi ekstrem. Banyak fenomena yang terjadi di masyarakat yang menimbulkan kegaduhan. Namun alat untuk memperkuat ramalan itu sehingga diyakini memang harus terjadi tidaklah secanggih BMKG yang berdasarkan sains. Fenomena kegaduhan yang muncul diyakini karena siklus alam berdasarkan perputaran planet.
Boleh saja ini disebut takhayul. Mari kita bedah beberapa takhayul itu. Antre minyak goreng, misalnya. Bagaimana menjelaskan minyak goreng bisa langka di negeri yang produksi sawitnya terbesar di dunia? Para emak rela antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan 2 liter minyak goreng. Penyebab yang mudah ditelusuri pastilah karena produsen untungnya kurang karena pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi Rp 14 ribu seliter. Lalu minyak goreng ditimbun. Uniknya, ketika polisi menggerebek timbunan itu, penimbunnya ternyata pasangan suami-istri yang tak ada hubungan dengan distributor minyak goreng. Lha, bagaimana mereka bisa menimbun 9.600 liter minyak goreng di rumahnya saat emak-emak antre dan siap memelototi di mana ada warung yang menjual minyak goreng? Bagaimana cara suami-istri itu membeli minyak goreng? Ini kasus di Serang, Banten.
Kedelai harganya melambung dan produsen tempe mogok kerja. Daging sapi harganya tinggi, pedagang siap-siap mogok. Ini sebenarnya hal-hal receh, tapi rakyat tak pernah mempertanyakan menteri siapa yang mengurusi hal ini? Sementara itu, Presiden Jokowi asyik berteka-teki siapa Kepala Badan Otorita Ibu Kota Negara yang akan dipilihnya dalam waktu segera. Triliunan rupiah uang akan digelontorkan di sana, tapi tak jelas berapa triliun rupiah untuk memperlancar arus minyak goreng.
Suasana ekstrem juga terjadi di bidang keputusan. Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 yang mengatur ketentuan baru perihal dana Jaminan Hari Tua (JHT). Jaminan ini baru bisa dicairkan ketika peserta BPJS Ketenagakerjaan memasuki masa pensiun, yakni usia 56 tahun.
Buruh bergolak menolak peraturan itu. Tiba-tiba saja Presiden Jokowi meminta Menaker merevisi peraturan yang baru diteken 20 hari itu. Kok bisa? Padahal, sebelum diterbitkan, aturan itu sudah disetujui oleh Presiden. Setiap peraturan menteri tatkala masih berupa rancangan harus mendapatkan persetujuan Presiden sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2021. Lalu siapa yang harus malu, Presiden atau Menteri, jika peraturannya direvisi karena ditolak buruh?
Nah, inilah hal-hal ekstrem di luar cuaca. Kalau dicari-cari masih banyak lagi. Ada Menteri Agama yang mengurusi pengeras suara masjid, lalu bikin analog suara azan dengan gonggongan anjing. Ada ustad yang menyebut wayang itu haram dan banyak orang mengecam si ustad padahal pengecam tidak tahu wayang itu budaya apa. Apa yang seharusnya dilakukan agar terhindar dari dampak buruk ekstrem yang satu ini? Menyepi sehari saja. Merenung, kontemplasi, introspeksi, menimbang dengan hati, apakah kita sudah berbuat baik untuk bangsa? Karena itu, di musim ekstrem ini, ada disisipkan satu hari untuk menyepi. Selamat Nyepi bagi yang mau introspeksi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo