Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Biarkan Rakyat Yogya Memilih

Rangkap jabatan gubernur dan sultan Yogya harus diputuskan rakyat daerah itu sendiri. Referendum bisa jadi solusi.

13 Oktober 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lumrah saja kalau Yogyakarta menyandang status istimewa. Dia wilayah pertama yang bergabung ketika Republik Indonesia lahir pada 1945. Yogya juga melahirkan seorang negarawan besar dan arif, Sultan Hamengku Bowono IX, yang berperan penting dalam penggabungan tadi. Sejak itu jabatan gubernur selalu dirangkap sultan.

Satu soal mencuat ketika gubernur yang sekarang berkuasa, Hamengku Bowono X, putra Hamengku Buwono IX, pada April 2007 menyatakan tidak bersedia lagi menjabat gubernur setelah periode 2003-2008. Akankah jabatan Gubernur Yogya diperebutkan dalam pemilihan umum seperti daerah lain?

Yang harus menjawab pertanyaan ini adalah warga Yogyakarta sendiri. Kita pahami melekatnya jabatan gubernur pada diri sultan merupakan bagian dari ”paket istimewa” yang tercantum dalam Piagam Kedudukan Yogyakarta 19 Agustus 1945 dan Amanat 5 September 1945. Keinginan Hamengku Bowono X mundur kontan memicu penolakan sebagian warga Yogyakarta. Untuk sementara diperkirakan riuh-rendah di Yogya segera berlalu setelah Presiden Yudhoyono memperpanjang jabatan gubernur untuk tiga tahun.

Ini jelas solusi temporer. Presiden harus mengambil jalan ”pragmatis” agar daerah itu tidak vakum pemimpin. Pada waktu mendatang ini tentu diperlukan jalan keluar. Dua hal yang dapat diusulkan. Pertama, Keraton Yogyakarta dan Pemerintah Daerah harus mendeteksi keinginan mayoritas rakyat. Jika Sultan betul tak berniat lagi menjabat gubernur, dan rakyat pun menghendaki hal yang sama, Sultan dapat mengajak rakyat melahirkan gubernur baru melalui jalur pemilihan umum, bukan lewat penetapan seperti selama ini. Barangkali sebuah referendum bisa dilakukan untuk menjajaki suara rakyat Yogya.

Pemilihan langsung kepala daerah akan menaikkan pamor warga Yogyakarta karena berani meminggirkan hak istimewa demi sistem yang lebih demokratis dan populis. Namun, seandainya rakyat tetap menginginkan sultan merangkap jabatan gubernur, pilihan itu juga harus dihormati. Konsekuensinya, Sultan harus menerima risiko terus menjabat sebagai gubernur—walau ia sudah tak bersedia, atau mungkin dicalonkan partai untuk jabatan penting di pentas nasional.

Usul kedua, Keraton Yogyakarta perlu bersuara terang dalam soal ini. Pada 2001, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Yogyakarta membuat usulan RUU Keistimewaan Yogyakarta yang didukung Sultan. Dalam draf itu dicantumkan jabatan gubernur dipegang sultan tanpa batas waktu. Anehnya, rancangan ini kemudian raib begitu saja. Tapi, pada September 2008, Departemen Dalam Negeri, setelah berkonsultasi dengan sejumlah pihak, termasuk Universitas Gadjah Mada, memasukkan rancangan undang-undang yang sama. Perbedaannya, dalam draf Departemen Dalam Negeri, masa jabatan gubernur dibatasi dua kali—seperti daerah yang lain. Artinya, sultan tidak otomatis menjabat gubernur.

Sulit dikatakan tak ada sangkut paut dengan draf Departemen Dalam Negeri itu, dua pekan lalu sejumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah meminta jabatan gubernur tetap dipegang sultan. Ketika diketahui bahwa motor penggerak protes adalah Ratu Hemas, permaisuri Hamengku Bowuno X, orang langsung tahu justru Keraton yang emoh pemisahan jabatan gubernur.

Kalau benar sikap Keraton itu, sepanjang itu sama dengan keinginan mayoritas rakyat Yogyakarta, tak jadi masalah. Tapi, kalau rakyat Yogya ingin memilih langsung pemimpinnya, Keraton juga harus besar hati menerimanya. Yogyakarta tetaplah istimewa dan tidak kehilangan Ngarso Dalem—walau kursi gubernur tak lagi menjadi milik Istana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus