Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INDONESIA tak boleh main-main menghadapi ancaman pemerintah Amerika Serikat. Bukan hanya soal tuntutan perdagangan pemerintah Donald Trump melalui Badan Perdagangan Dunia (WTO), tapi juga perihal ancaman penghapusan fasilitas keringanan bea masuk impor atau generalized system of preferences (GSP).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga tahun lalu, Amerika Serikat dan Selandia Baru mengadukan Indonesia ke WTO karena dianggap mengeluarkan kebijakan restriktif dalam importasi produk hortikultura serta hewan dan produk hewan dari dua negara. Pada 22 Desember 2016, panel sengketa mengumumkan bahwa 18 tindakan (measures) Indonesia itu tak sejalan dengan prinsip WTO dan meminta Indonesia agar mencabut kebijakannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia jelas keliru karena belum memenuhi kewajiban yang ditetapkan WTO sampai batas waktu tahap pertama 22 Juli lalu. Amerika meradang dan meminta otoritas dari Badan Penyelesaian Sengketa WTO menunda pemberian konsesi tarif kepada Indonesia terkait dengan sengketa yang diadukan Amerika itu. Amerika juga meminta Indonesia membayar retaliasi sebesar US$ 350 juta atau hampir Rp 5 triliun.
Bersamaan dengan itu, Amerika juga mengancam akan mencabut fasilitas GSP yang mereka berikan kepada Indonesia untuk 124 produknya. Jika fasilitas itu dicabut, Indonesia harus membayar bea masuk atau pungutan lain sebesar US$ 1,95 miliar atau hampir Rp 28 triliun. Fasilitas berupa pelonggaran aturan perdagangan yang diizinkan WTO ini diberikan Amerika kepada 112 negara berkembang untuk sekitar 5.000 item barang ekspor.
Fasilitas itulah yang kini hendak dihapuskan oleh pemerintah Trump terutama untuk dua negara: India dan Indonesia. Amerika menilai surplus kedua negara sudah terlalu besar. Penghapusan ini merupakan strategi perang dagang yang dilancarkan Trump, terutama terhadap Cina. Pada 2017, surplus Indonesia terhadap Amerika mencapai US$ 9,7 miliar atau sekitar Rp 139 triliun. Proporsi surplus ini terhadap total surplus perdagangan nonmigas Indonesia pada 2017 mencapai 46 persen. Lebih dari sekadar alasan surplus perdagangan, ancaman penghapusan fasilitas GSP merupakan reaksi Amerika terhadap kebijakan restriktif Indonesia yang dipersoalkan ke WTO tadi.
Amerika merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia, selain Cina dan Jepang. Ekspor Indonesia ke Amerika terbesar kedua setelah ke Cina. Tahun lalu, Indonesia mengirim pelbagai barang atau produk ke Amerika senilai US$ 17 miliar atau sekitar Rp 240 triliun, sementara nilai barang yang dikirim Amerika ke Indonesia tak sampai separuhnya. Jelaslah bahwa perdagangan Indonesia dengan Amerika amat menguntungkan.
Masalahnya, pemerintah terkesan tak kompak menghadapi masalah yang berat ini. Ketika Kementerian Perdagangan melobi Amerika, Kementerian Pertanian mengambil kebijakan yang justru dapat memancing persoalan. Misalnya, Kementerian Pertanian membuka keran impor apel dari Amerika justru ketika negara itu sedang tidak panen, lalu menutupnya saat panen.
Kekompakan antardepartemen ini sangat diperlukan karena banyak hal yang harus diubah untuk mengikuti putusan Panel Sengketa WTO. Banyak aturan dagang, bahkan sampai level undang-undang, yang harus mengakomodasi putusan WTO. Ini bukan persoalan ecek-ecek: yang tengah dipersoalkan Amerika bukan hanya apel, melainkan juga kedelai, jeruk, hingga alat pembayaran, seperti kartu Visa dan Mastercard.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo