Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Bunyoro

Negeri Bunyoro terletak di wilayah danau victoria, Afrika. Kesetiaan dan ketakutan rakyat kepada rajanya melebihi ikatan saudara. Timbul suatu tubuh politik lain: sebuah kebersamaan dengan pemimpin yang rutin.

17 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Bunyoro
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
BEBERAPA hari saja sehabis Mao mangkat, Negeri Cina diguncang gempa. Beberapa saat sehabis Nehru waat, Sungai Gangga konon meluap. Takhayul memang membisikkan, ada hubungan antara hilangnya seorang besar dan resahnya alam. Tuhan lebih tahu kaitan-kaitan kosmis. Tapi di dalam banyak masyarakat manusia, seorang pemimpin besar memang tak jauh dari citranya yang "memangku bumi", "memaku alam", "memelihara buana" -- citra yang terungkap misalnya dalam pelbagai gelar kerajaan di Jawa. Seorang pemimpin yang sebesar itu kuasanya, akhirnya, menjadi andalan tunggal bagi stabilnya kehidupan bersama: kata "memangku" dan "memaku" menunjukkan itu. Ia serba bisa, ia serba kuasa. Pelbagai keputusan penting atau kurang penting berasal hanya dari jari telunjuk atau ujung lidahnya. Tetapi dengan itu pula tampak, bagaimana masyarakat yang andalannya cuma itu sebenarnya bukanlah masyarakat yang stabil: tak banyak, di dalam sejarah, orang yang sanggup jadi paku jagat, jadi seorang Mao ataupun seorang Nehru. Pada saat seorang besar mati, sendi-sendi pun guyah. Tetapi kematian adalah hal yang tak terelakkan. Soalnya kemudian ialah: apa yang harus dilakukan. Ada sebuah catatan seorang ahli antropologi tentang sebuah negeri yang terletak di wilayah Danau Victoria, di Afrika. Negeri yang disebut Bunyoro itu bukan sebuah negeri orang primitif. Eli Sagan, dalam At the Dawn of Tyranny menyebutnya "masyarakat yang kompleks": di sana, pertautan sosial tak lagi didasarkan kepada persamaan keluarga. Kesetiaan dan ketakutan kepada raja merupakan bentuk yang telah melewati ikatan sedarah-daging. Pada tahap itu, semacam rasa cemas umumnya merundung kesatuan itu, karena ketenteraman lama, yang dulu dirasakan orang dalam pertalian keluarga, kini tak ada lagi. Dari suasana kejiwaan itu lahirlah satu bentuk kekuasaan yang agresif, dan sekaligus defensif: tirani. Di pucuknya berperan seorang yang diharapkan hampir mahakuasa, maha menenteramkan, memaku dan memangku bumi. Maka, ketika seorang raja Bunyoro meninggal, kesatuan itu pun seperti lepas pegangan. Orang mengharapkan munculnya seorang mahakuasa baru. Suatu cara yang penuh darah pun dilangsungkan. Para putra raja dibiarkan berperang, bunuh-membunuh, hingga hanya satu yang tak terkalahkan. Dialah yang dinobatkan. Namun, upacara tak cuma berakhir di situ. Pada tahap terakhir, sang perdana menteri, bamuroga, mendatangi seorang pangeran muda yang tak ikut berperang. Kepadanya sang bamroga mengumumkan bahwa rakyat telah memilihnya untuk naik takhta. Si pangeran muda terpaksa mau. Sementara itu, raja yang sebenarnya datang menghadap, disertai para pembesar. Tetapi ia tak tampak menyajikan upeti. Maka, sang bamuroga pun pura-pura menyuruhnya agar mengambil persembahannya. Ketika raja yang sebenarnya pergi, perdana menteri itu pun berkata kepada si pangeran muda, "Mari lari, saudaramu itu pergi menjemput pasukan." Lalu sang bamuroga pun membawa sang pangeran ke sebuah kamar. Di sana bocah itu dicekik sampai mau. Untuk apa ritus seganas itu? Dalam analisa Saan, baik peran saudara maupun pembunuhan atas si raja-rajaan itu adalah ekspresi, yang mengemukakan bahwa peran raja sebenarnya sesuatu yang rapuh. Ia tampil sebagai satu elemen yang mahakuasa, tetapi sebenarnya diakui pula bahwa dalam prakteknya ia tak bisa demikian. Pengakuan seperti itu, pada saat yang sama, sangat merisaukan. Maka, si bocah yang pura-pura dijadikan raja itu harus dibunuh. Bukan saja karena ia sebuah unsur palsu, tapi juga karena ia -- yang memang lemah -- hadir sebagai cemooh terhadap pretensi besar itu: pretensi kemahakuasaan. Kemahakuasaan seorang raja memang yang jadi ideal, tetapi sebenarnya keyakinan akan kemahakuasaan itu tipis betul. Suatu saat, setiap saat, keyakinan itu bisa punah. Dan ketika rasa ragu dan cemas itu begitu menyelubungi jiwa, orang pun menjadi kian ganas. Mereka ingin meniadakan kebimbangannya sendiri. Mereka membunuh segala lambang kelemahan, tiap tanda ketidakkuasaan. Di Bunyoro, sekali setahun orang melakukan upacara pencekikan seorang pangeran kecil. Tetapi tak seorang pun akhirnya bisa mengelak dari keterbatasan -- biarpun ia seorang raja yang bebas berbuat apa pun. Para pemimpin yang penuh karisma, dengan kekuasaan penuh di tangan mereka, pada saatnya harus pergi, dengan atau sonder gempa bumi. Namun, jika masyarakatnya beruntung, dari sana akan tumbuh suatu "tubuh politik" yang lain: sebuah kebersamaan yang punya pemimpin-pemimpin rutin, sebuah masyarakat yang mengakui kemungkinan sang raja untuk khilaf dan, suatu saat, tak akan disana lagi. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus