Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaikan mimpi buruk, Barat dan sejarah terapung-apung dalam perasaan dan pikiran pelbagai generasi di dunia Islam, Afrika, Asia Tengah, dan Tiongkok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerita Tiongkok menarik. Sebab kapitalisme yang diasosiasikan dengan "Barat" telah mengaum di seluruh negeri itu (Shanghai Stock Exchange nomor tiga terbesar di dunia, Louis Vuitton datang dan pergi), tapi Partai Komunis yang berkuasa masih belum lepas dari mimpi buruk abad ke-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2015, Gao Yu, perempuan berusia 70 tahun, ditangkap. Ia dipenjarakan tujuh tahun oleh pengadilan Beijing. Memang akhirnya hukuman itu diubah setapak demi setapak jadi tahanan rumah, tapi penguasa RRT menunjukkan: ada kata-kata yang tak boleh didengar orang banyak.
Gao Yu ditangkap karena mengungkapkan isi sebuah dokumen yang beredar di kalangan kader Partai Komunis Tiongkok (PKT) sejak 2013, tapi dirahasiakan.
Edaran itu-kemudian disebut "Dokumen No. 9" oleh orang luar-sebenarnya sebuah arahan ideologis bagi anggota Partai. Di dalamnya ada peringatan akan bahaya menyebarnya "nilai-nilai Barat" dan "nilai-nilai universal". "Demokrasi konstitusional model Barat", "kebebasan pers", dan "neo-liberalisme" harus ditangkal.
Tak jelas kenapa "Dokumen 9" tak boleh diketahui publik. Mungkin hipokrisi akan terungkap: penguasa membiarkan "Barat" dalam tiap sendi perekonomian RRT, tapi pada saat yang lama cemas bahwa "Barat" akan menghapus Tiongkok.
Mungkin juga bukan hipokrisi, melainkan kebimbangan.
Cerita kebimbangan itu panjang. Dalam The New York Review of Books (7 Juni 2018), ada satu pembahasan atas film Forever Young. Film ini, dibintangi antara lain oleh Zhang Ziyi dan Huang Xiaoming, mengisahkan empat generasi lulusan Universitas Tsinghua, sejak tahun 1914 sampai dengan masa kini. Dibuat untuk memperingati usia ke-100 Tsinghua, film ini dihalangi sensor untuk beredar, dan baru dilepas pada Januari 2018.
Universitas Tsinghua didirikan sebagai sekolah persiapan bagi mahasiswa yang akan dikirim ke Amerika Serikat. Setelah Jepang menduduki Tiongkok pada 1937, Tsinghua bergabung dengan Universitas Beijing dan Universitas Nankai di Tianjin.
Pada waktu itu, pasukan Nasionalis sedang menyiapkan diri untuk melawan Jepang, dengan bantuan Amerika. Di kubu lain, perlawanan terhadap Jepang dilancarkan pasukan Komunis.
Dalam konflik yang berkelanjutan, pasukan Komunis, di bawah Mao Zedong, akhirnya menang. Perang saudara itu berakhir dengan kaum Nasionalis hijrah ke Taiwan dan Partai Komunis mendirikan kekuasaan yang bertahan sampai sekarang.
Di bawah PKT, Universitas Tsinghua diubah. Bukan lagi pusat pendidikan ilmu sastra dan kebudayaan, melainkan tempat melatih insinyur. Ketika di tahun 1966 Mao mengguncang Tiongkok dengan "Revolusi Kebudayaan"-sebuah pengerahan kaum Maois yang fanatik, militan, dan brutal-Tsinghua ditutup. Baru di tahun 1978 ia dibuka kembali. Dan ketika kebebasan terbuka sedikit, Tsinghua kembali kepada asalnya.
Kembali juga sifat keilmuan yang pokok-yang "tak mempersoalkan, apakah ini Barat atau Timur", wuwen xidong. Yang universal dikumandangkan lagi, sesuatu yang disuarakan pakar astrofisika, mendiang Fang Lizhi: "Yang kujalankan bukan ilmu fisika Timur atau Barat; yang kujalankan ilmu fisika."
Tapi itulah yang hendak ditiadakan "Dokumen 9". Itu pula yang menyebabkan Fang Lizhi kemudian jadi pembangkang. Ia dipecat dari Partai, dihukum kerja paksa, hijrah ke Amerika dan meninggal di sana pada usia 76 tahun.
Fang, seperti Universitas Tsinghua, bebas dari mimpi buruk itu, "Barat" dan masa lalu. "Barat", diartikan sebagai kolonialisme, hegemoni, dan pemaksaan, memang pernah melukai Tiongkok, bahkan seluruh Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Sejarahnya melahirkan sisi yang membisu. Luka terjajah tumbuh jadi luka batin.
Tak cuma di RRT.
Dalam sebuah esai yang terbit di majalah Konfrontasi tahun 1955 Asrul Sani mengungkit luka batin itu dalam "percakapan dengan Eropa". Baginya, "percakapan" ini bukan hanya tak seimbang, tapi suatu oksimoron, karena kita ("orang non-Eropa") telah mencapai "tingkatan membisu".
Seruan yang diarahkan kepada kita tidak pernah kita jawab, karena kita tidak berada dalam keadaan untuk menjawab, jangankan lagi untuk menjadi kawan atau lawan dalam suatu percakapan .... Sering orang-orang Eropa mencoba menempatkan kita di kedudukan yang pasti yang tidak dapat berubah dan dengan demikian menyangka akan dapat meramalkan apa reaksi kita terhadap berbagai hal….
Kini, di abad ke-21, sebenarnya tatapan Eropa yang membuat kita beku tinggal sayup-sayup. "Eropa" dan "Barat" makin menyadari, menguasai yang di luar diri mereka adalah kebijakan yang rapuh. Makin tampak bahwa yang "di luar" itu sebenarnya juga ada di dalam; "Barat", sebagaimana "Timur", adalah sebuah proses yang mengandung percampuran yang kacau dan tak pernah selesai.
Yang tragis adalah sikap seperti Dokumen 9: ternyata luka batin itu terus, mimpi buruk itu berlanjut, dan paranoia menajam. Orang tak hendak berpegang pada wuwen xidong.
Goenawan Mohamad
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo