Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lestantya R. Baskoro
Mantan Redaktur Eksekutif Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sikap Dewan Perwakilan Rakyat yang menolak semua calon hakim agung hasil seleksi Komisi Yudisial menunjukkan kesewenang-wenangan lembaga itu. Kondisi demikian tidak boleh diteruskan karena, jika tidak, akan berulang. Tentu pada akhirnya yang rugi adalah publik, para pencari keadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DPR menyatakan tak satu pun dari empat calon hakim agung yang disodorkan Komisi Yudisial layak menjadi hakim agung. Sesuai dengan undang-undang, Komisi adalah lembaga yang diberi amanat untuk menyeleksi para calon guna mengisi kursi hakim agung yang kosong di Mahkamah Agung.
Para calon hakim yang mendaftar jelas tidak sembarangan. Menurut aturan, mereka berasal dari lingkungan pengadilan dan mendapat rekomendasi Mahkamah Agung. Para hakim ini, selain memiliki rekam jejak panjang sebagai hakim, mesti memiliki integritas dan, yang pasti, pengetahuan yang tak diragukan tentang ilmu hukum. Mereka akan menempati Kamar Pidana, Kamar Perdata, dan lain-lain di Mahkamah. Mahkamah menyatakan sampai kini mereka masih kekurangan hakim agung, khususnya bidang pajak.
Komisi Yudisial selama berbulan-bulan telah mencari dan menyeleksi para calon hakim agung. Para calon itu tidak hanya melewati saringan ujian tertulis dan wawancara, tapi juga kesehatan. Di luar itu, panitia seleksi mengirim tim untuk menelisik rekam jejak para calon. Negara mengeluarkan biaya besar demi mencari para "wakil Tuhan" itu, penjaga benteng terakhir peradilan. Dari sini, Komisi Yudisial kemudian memutuskan empat calon hakim agung, yakni Ridwan Mansyur dan Matheus Samiaji untuk Kamar Perdata, Cholidul Azhar untuk Kamar Agama, serta Sartono untuk Kamar Tata Usaha Negara. Selama dua hari, sejak 20 Mei, mereka menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR, tapi mereka semua ditolak oleh parlemen.
Selama ini kita tidak pernah mendengar Komisi Yudisial melakukan kongkalikong ketika menjalankan tugasnya. Lembaga ini sejak lahir sangat serius menjalankan tugasnya. Ketegasan dan kelurusan komisionernya itu yang justru kerap menimbulkan friksi dengan lembaga lain. Tapi kita tetap mencatat, sebagai lembaga yang lahir dalam semangat reformasi, lembaga ini hingga kini masih tetap berada di relnya-seperti halnya "saudaranya", KPK.
Justru DPR-lah yang terkesan bersikap apriori atas pilihan Komisi Yudisial. Terhadap empat calon hakim itu, misalnya, DPR menyatakan mereka tidak memenuhi syarat layaknya seorang hakim agung, kendati sebelumnya ada satu atau dua fraksi yang sepakat ada calon yang memenuhi syarat.
DPR memang diberi hak untuk memilih calon hakim. Tapi tidak semestinya DPR menolak begitu saja. Kita tahu, dalam sejumlah seleksi di DPR, pertanyaan para wakil rakyat itu pun bisa acap "tak bermutu". Juga bukan rahasia jika sebagian anggota Komisi Hukum, yang menyeleksi para calon hakim itu, berlatar belakang advokat-sesuatu yang sebenarnya bisa masuk ranah konflik kepentingan. Sebagai lembaga politik, tentu tak bisa dinafikan pemilihan ini pun sulit untuk tidak menghindari kepentingan politik.
Kesalahan dari semua ini adalah DPR dilibatkan untuk memilih hakim agung yang sesungguhnya sudah dipilih oleh lembaga kredibel. Ini juga terjadi dalam pemilihan sejumlah anggota komisi/lembaga lain. Mereka yang sudah terpilih, gagal-atau digagalkan-di DPR.
DPR menciptakan undang-undang yang membuat lembaga ini banyak campur tangan dalam pemilihan anggota lembaga penting kita, termasuk KPK. Padahal mereka telah dipilih oleh panitia seleksi yang berisi orang-orang yang tak diragukan integritasnya.
Pemilihan hakim agung semestinya bebas dari kepentingan apa pun. Karena itu, seharusnya pemilihan hakim agung bersih dari campur tangan lembaga politik, bersih dari lobi-lobi yang bisa mengikis atau mencederai integritas para hakim.
Karena itu, sudah saatnya undang-undang yang mengatur pemilihan hakim agung diamendemen. Peran DPR disingkirkan. Di sini peran terpenting adalah panitia seleksi di tingkat Komisi Yudisial, yang terdiri atas orang-orang yang kredibilitas dan integritasnya di bidang hukum tak diragukan. Mereka bisa terdiri atas mantan hakim agung, mantan pimpinan KPK, atau juga akademikus. Figur-figur yang integritasnya diakui oleh publik.