Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sengketa berkepanjangan antara Palestina dan Israel sudah seperti film perang horor yang diputar berulang-ulang. Kisah panjang perseteruan dua negara di satu kawasan di Timur Tengah itu seakan-akan menjadi konflik permanen tanpa titik terang dari masa ke masa. Perang kembali berkobar, lagi-lagi dipicu karena kedua pihak sama-sama mengklaim bahwa lawanlah yang memulai serangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eskalasi konflik terjadi selama Ramadan hingga menjelang hari raya Idul Fitri lalu. Bermula dari upaya Israel menggusur warga Palestina yang bermukim di Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur, yang direspons dengan unjuk rasa warga Palestina. Ketegangan meningkat saat terjadi kericuhan di Masjid Al Aqsa, lalu ketika polisi Israel membubarkan warga Palestina yang sedang salat tarawih. Situasi semakin panas ketika pada Senin pekan lalu kelompok Hamas—salah satu faksi garis keras di Palestina selain Fatah—menembakkan roket ke arah Tel Aviv, kota pesisir yang menjadi ibu kota Israel, dan sejumlah wilayah lainnya. Hamas menyatakan aksi mereka merupakan pembelaan atas agresi dan terorisme Israel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampai di sini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan dunia internasional tidak bergerak sama sekali untuk meredam atau meminimalkan konflik berdarah yang akan terjadi. Benar saja, Israel membalas serangan roket Hamas dengan membombardir segala penjuru Jalur Gaza menggunakan jet tempur. Serangan Hamas seakan-akan menjadi alasan pembenar bagi Israel untuk beraksi secara brutal dan menyebut Hamas sebagai teroris. Dampaknya, serangan tersebut menghancurkan sejumlah bangunan, termasuk dua kantor berita internasional yang berbasis di sana. Selain itu, ratusan korban jiwa warga Palestina dan Israel berjatuhan akibat perang tersebut.
Dari banyak episode perang ini, warga sipil selalu menjadi korban. Sengketa sejak ratusan tahun silam itu tak kunjung menemukan solusi. Israel secara terus-menerus melakukan kekerasan yang menimbulkan ketidakadilan dan kesengsaraan bagi warga Palestina. Serangan Israel bisa dikatakan sebagai kolonialisme dan pelanggaran hukum internasional serta membunuh prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Serangan terhadap warga sipil, media, dan tempat ibadah tidak bisa dibenarkan sekalipun dalam perang. Alih-alih hanya mengecam tindakan Israel atau mencari solusi dengan merunut dan dalih sejarah, para pemimpin dunia sudah saatnya mendorong penggunaan diplomasi damai dan mengakhiri pertumpahan darah yang merenggut nyawa warga sipil. Pernyataan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres agar Israel dan Palestina mengakhiri pertumpahan darah dan kekerasan wajib ditindaklanjuti. PBB bisa melaksanakan resolusi yang sudah dibuat dengan mengatur batas negara Palestina dan Israel.
Jika hal ini tidak juga dilakukan, perang akan kembali berulang, tanpa kendali. Gerakan intifadah, perlawanan untuk merebut kembali tanah Palestina pra-Israel, akan semakin berkibar, yang disambut Israel dengan kembali secara leluasa menumpahkan peluru dan rudal mematikan. Lalu rakyat sipil bakal terus menjadi korban akibat konflik berkepanjangan ini. •
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo